Cerpen

Adam, Jangan Lari!

Oleh: Ketut Ghina

Inspired by: Marathon -Day6

Kota ini sedang dilanda hujan tatkala aku bertemu dengan pemuda bersuara indah itu.

Dia, sang pemilik netra legam yang ketika menatap, membuatku ingin menetap. Dia, pemilik lengkungan manis bak bulan sabit yang jika terpampang sempurna di sudut bibirnya, membuatku merasakan desiran euforia dengan mudahnya.

Perkenalkan, dia yang kumaksud di sini adalah Benjamin Adam. Rangkaian dua belas huruf itu terdengar  sangat dinamis, tak berlebihan juga jauh dari kata kekurangan. Benjamin Adam, terdengar artistik, cerdas, dan cekatan. Benjamin Adam, bukan seorang jenius seperti Benjamin Franklin, ilmuwan penemu lensa cembung dan lensa cekung yang kemudian dirangkai dalam kacamata bifokus. Lawakannya juga seringkali jayus, tak cukup lucu bila bersanding dengan mendiang komedian Benjamin Sueb. Namun ia Benjamin Adam, dan ia segagah namanya.

Seolah, eksistensinya dirancang semesta untuk membantuku menemukan akhir bahagia. Saat pertamakali bertemu pun, ia sudah menembus pertahananku secara membabi buta. Menurutku, Adam tak perlu mencoba lebih keras untuk menjadi sempurna.

Tapi belakangan ini ada yang aneh darinya.  Adam jadi gemar berlari, dan terus berlari. Hingga aku kesusahan untuk menyeimbangi. Ya, aku tahu bahwa hidup ini diselimuti banyak kompleksitas, aku juga tahu manusia dihadapi beragam realitas. Tapi, bukannya keterlaluan jika mengejar seperangkat hal-hal duniawi tanpa menikmati prosesnya terus-terusan?

“Dam, lihat aku,” ucapku kepadanya yang sedang sibuk berkutat dengan rumus duniawi.

Adam mengalihkan atensinya sebentar, tersenyum kepadaku, hanya tiga detik, setelah itu ia kembali fokus kepada laptop dan seperangkat alat tulisnya.

Jari-jariku menggamit tangan kurusnya, hangat, sangat hangat. Kemudian tanganku berpindah ke dahinya, betapa terkejutnya aku ketika merasakan permukaan kulitku menyentuh suhu panas dahi Adam. Sudah jelas dia sedang sakit.

“Dam,” panggilku sekali lagi.

“Iyaa, bentar yaa Isabella. Aku masih ngehitung ini bentar aja.”

Bentar aja.

Bentar yang dimaksud itu dua jam? Seratus dua puluh menit? Tujuh ribu dua ratus detik? Dia pikir aku ini apa? manekin mampang di pusat perbelanjaan?

“Udah jam delapan malam, Dam. Kamu dem—”

Belum rampung kalimat yang aku ucapkan, Adam menyela perkataanku, netranya membulat dengan sempurna. “Kamu kok gak ngingetin aku ke Kafe? Pasti Bos bakal protes karena aku datang telat.”

Adam memasukkan barang-barangnya ke ransel dengan tergesa, bahkan notebook yang kuberikan sebagai hadiah ulang tahun pun jatuh menyapa lantai.

Aku yang melihat kejadian tersebut hanya diam tak bergeming. Masalahnya, jangankan mengambil, ia tidak melirik sedikit pun benda berbentuk kotak itu. Entah karena terlalu tergesa, atau memang ia tak lagi membutuhkannya.

Rasanya luapan emosiku yang selama ini bersembunyi dan tak kasat mata sudah mendidih dengan sempurna. Tak tahan jika tak lekas dituangkan ke dalam cangkir kekecewaan.

Aku mengejarnya ke arah jam dua belas, menghampiri sosoknya yang sudah menaiki motor, kemudian menahan tangannya.

“Isabella, kamu apaan sih?” sulutnya dengan nada emosi.

“Dam, jangan perfeksionis kayak gini terus! Kamu pikir aku nggak capek lihat kamu selalu lari kesana kemari? Ini tuh hidup, Benjamin Adam. Bukan lajur balap yang ngebuat kamu kalap. Kalau seandainya kamu lari dan capek, ya berhenti. Jangan terus nyoba buat mendahului, semua orang punya jalan terbaiknya sendiri-sendiri. Udah selayaknya kita nikmatin setiap hal-hal kecil yang dikasih Tuhan,” ujarku.

Adam menatapku dengan heran, alisnya berkerut. “Justru karena ini hidup makanya aku harus berjuang, Sa. Gak ada yang mau lahir dalam keadaan susah kayak gini. Nanti aku ketinggalan sama yang lainnya. Aku juga gak bisa sama-sama kamu selamanya kalau aku gak berjuang dari sekarang. Jangan hiperbola, Isabella. Kamu harus terbiasa.”

Jangan hiperbola, Isabella. Kamu harus terbiasa.

Kalimat yang diucapkan Adam penuh dengan penekanan, terkesan memaksa. Mata teduh yang tadinya menjadi objek kesukaanku perlahan berubah, kini tampak tajam, seolah menunjukkan segala pesan tersirat yang tak dapat aku artikan. Napasnya menderu, menahan amarah. Keadaan terstagnan, tak ada yang mau mengalah.

“Sekencang-kencangnya orang lagi lomba marathon, pasti tetap ada suara piiip piip tanda berhenti,” balasku.

Adam menghela napas. “Tapi kalau berhentinya di waktu yang nggak tepat, aku kediskualifikasi.”

“Nggak ada kata diskualifikasi kalau kamu udah berhasil nyelesaiin perlombaannya. Ada waktu rehat sebentar buat recovery, senang-senang. Kalau kamu lari terus, justru ujungnya nggak maksimal, Dam.”

“Siapa yang bilang hal-hal yang aku perjuangin udah selesai, Sa? Banyak achievement yang belum aku raih, banyak harapan yang belum aku genggam.”

“Dam, kita udahan aja ya?” putusku. “Aku terlalu hiperbolis untuk kamu yang perfeksionis. Kayaknya kita sama-sama egois.”

“Isabella, gak bisa gini—“

“Ini hari Jumat, kamu libur kerja. Kamu juga demam,” kataku, membuka tas selempang yang kubawa kemudian menyerahkan satu bungkus obat kepadanya. “Ini ada paracetamol, pulang terus minum ya.”

Bersama desir angin malam dan langit telanjang yang tak dihiasi bintang maupun bulan, aku memutuskan untuk tidak lagi bersamanya. Namun, segala tentangnya masih kusimpan dalam rangkuman asa. Teruntuk pemuda yang pernah menjadi salah satu alasan bahagia, Benjamin Adam, semoga langkahmu selalu diiringi dengan kebaikan di mana saja, kapan saja.

Source pict: Diogo Correira on Pinterest

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *