Cerpen

Cerpen: Bercakap – Cakap dengan Pelangi

Oleh: Penyair Amatir*

Sumber gambar: pexel.com

Pelangi pagi itu tersenyum padaku. Mulanya aku menganggap ini semacam halusinasi. Tetapi ketika aku mengusap-usap mata dan beberapa kali mencubit tangan, aku yakin ini bukanlah mimpi. Bukan halusinasi.

Aku kemudian membalasnya dengan beberapa pertanyaan singkat.

“Hai, apa kabar?”
“Kemana saja kok baru muncul?”
“Kamu bisa mendengar aku?”

Sambil menunggu jawabannya, aku mengambil koran di meja. Menyesap teh yang telah dingin.

Istri bupati yang hendak maju meneruskan dua periode suaminya. Ada anak presiden dan beberapa pejabat tinggi ikut menyemarakan pilkada. Laporan harian covid-19 yang begitu-begitu saja. Pembunuhan dan pelecehan seksual, dengan motif yang semakin membuat merinding.

“kamu gmn kabar?”
“Kenapa kamu bertambah kurus?”
“Kamu merindukan aku?”

Aku tertegun. Kupikir itu suara tetangga. Tetapi tak ada orang berkeliaran sepagi itu.

“kamu gmn kabar?”
“Kenapa kamu bertambah kurus?”
“Kamu merindukan aku?”

Suara itu terdengar lagi. Ketika mataku menatap pelangi yang semburat di langit barat, aku yakin suara itu berasal darinya.

“Jika ia bisa tersenyum padaku, masuk akal jika ia juga bisa bicara padaku” batinku mencari beberapa pembenaran.

Aku tersenyum. Tapi ketika hendak mengucapkan beberapa jawaban, tak ada suara yang mampu keluar dari bibirku. Macet. Otakku memerintahkan sedemikian rupa, tetapi tak berhasil juga.

“Aku pergi dulu. Jangan sibukkan dirimu dengan hal-hal bodoh yang akan membuatmu semakin bodoh saja” ujarnya sembari tetap menawan senyumnya.

Tak berselang lama, pelangi itupun perlahan menghilang.

Sekali lagi, aku tertegun di beranda. Ini jelas bukan mimpi. Aku tengah mencangkung di beranda. Menghirup dan menyesap teh kesukaanku. Membaca berita-berita yang dihimpun redaksi koran. Lalu seperti biasa, menertawakannya.

Anakku membuyarkan lamunanku.

“Adi baru saja ketemu pelangi. Ia mengajakku bernyanyi dan main tebak-tebakan. Ia juga memberikan tips bagaimana cara memutihkan wajah” cerocosnya dengan gembira.

Tentu saja aku tertawa. Bagaimana mungkin pelangi bisa bernyanyi dan main tebak-tebakan. Apalagi memberi tips memutihkan wajah.

“Jangan halu Nak. Nanti berbahaya bagi negara lho” ucapku tersengal-sengal.

Aku tak tahu mulanya bagaimana. Tiba-tiba semua berjalan begitu cepat. Rasa panas segera menjalar di tubuhku. Dadaku terasa menyempit. Bernafas pun sakitnya minta ampun. Lalu semuanya menjadi gelap.

Ketika aku sadar, entah berapa lama kemudian, kulihat sekelilingku terasa asing. Kepalaku tiba-tiba kosong melompong.

“Aku siapa?” teriakku sekuat tenaga.

Tak ada jawaban. Aku berlari dan berlari di ruang asing itu dengan sekuat tenaga. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Bertahun-tahun. Ketika tubuhku ambruk, barulah aku menyadari satu hal. Tapi terlambat.

Sda, 12/8/20
Menghirup sesuatu

*Penulis berumah di penyair-amatir.id

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *