Cerpen

Hana, Senja sudah menjemput

Oleh: Alisyia Bilbina

Hari itu peringatan kemerdekaan RI tengah digelar di sekolah. Berbagai perlombaan diadakan, setiap kelas sibuk dengan persiapan masing-masing demi meraih kemenangan dari perlombaan yang sudah dipersiapkan oleh panitia osis dan sekolah. Hari itu, aku tak begitu bersemangat untuk melakukan apapun. Selama tiga hari belakangan, aku meriang dan tak bernafsu makan sama sekali.


“Makan, Al, wajahmu pucat sekali,” tegur Hana, sahabatku. Ia membawa sekotak sandwich telur dan susu coklat kesukaanku. “Kamu bisa mati, tahu!”


Aku spontan melotot. “Mulutmu!”


Hana hanya tunjukkan cengiran lebar. “Aku tak bohong, kamu itu mudah sakit, jadi dengarkan saja aku. Makan ini, setelah itu kita lihat pertunjukan band.”


Satu alisku naik, memandang bingung pada Hana. Sepertinya ketidakhadiranku selama beberapa hari membuatku melewatkan banyak hal. “Band?”


“Ya, band. Sekolah kita mengundang salah satu band lokal yang tengah hits itu, lho. Kita harus lihat,” ucap Hana, sepasang mata hitamnya berbinar-binar antusias. “Memang bukan The 1975 band favoritmu itu, sih, tapi pertunjukannya pasti seru!”


Aku mendengkus. “Heh, kenapa seyakin itu?”


“Soalnya gitaris band itu tampan!” Hana menyahut tak santai. “Yang lain juga! Duh, pokoknya kamu harus lihat. Vokalis mereka benar-benar berwujud seperti-“


“Oke, itu cukup,” potongku cepat. Jika tidak memotong ucapannya, aku tahu Hana aku terus membeo perihal anggota-anggota band yang baru saja ia banggakan. “Terima kasih sudah mengajakku. Tetapi, aku tak yakin untuk pergi. Kautahu, jalanku saja masih terpincang-pincang akibat kecelakaan tempo lalu.”


“Kalau begitu digendong saja, bagaimana?” tanya Hana tanpa berpikir.


“Pikirmu aku ringan?” Aku memandang tak terima padanya. Aku ini lelaki, perempuan semungil Hana mana mungkin sanggup menahan bobotku. “Tidak. Lebih baik aku berdiri dengan tongkat di samping kakiku.”


Hana cemberut. Bukan maksudku untuk bertingkah tak sopan pada Hana. Bagaimanapun, Hana benar-benar membantu banyak. Ia merupakan satu-satunya teman dekatku di sekolah. Selama nyaris tiga tahun belakangan, Hana sudah mengajarkanku banyak hal. Dulu, aku tak memiliki teman dan sulit bersosialisasi, tetapi semenjak Hana mengajakku berkenalan, aku mulai bisa terbuka dan belajar untuk bersosialisasi.


Hal luar biasa tentang Hana lainnya yaitu, ia adalah seseorang yang membuatku berhenti melakukan tindakan self-harm. Hana ajarkan aku tentang mencintai diri dan menghargai apapun yang kupunya. Meski aku membenci hidupku sekalipun, meski aku tak suka akan eksistensiku di semesta ini, aku harus tetap bertahan untuk diriku sendiri.


Aku harus bertahan demi hal-hal kecil yang kusuka, aku harus bertahan demi sandwich isi telur atau sekotak susu coklat yang sering dibawakan Hana. Selain itu, aku harus bertahan agar bisa terus berterima kasih kepada Hana, seseorang yang paling berarti saat masa-masa sekolahku. 
Maka dari itu, aku selalu kesulitan berkata tidak kepada Hana. “Baiklah, ayo pergi ke sana.”


Hana kontan bersorak girang. Gadis itu bahkan tak lupa menjejalkan makanan ke dalam mulutku sebelum pergi ke tempat tujuan kami. Meski lelah, hari itu aku merasa senang sebab dapat melihat Hana tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar. Acara selesai pada saat senja, tetapi Hana masih belum mau pergi dari sana.


“Aku ingin tinggal lebih lama bersamamu, tahu! Bagaimana kalau kita cari makan dulu?” tanya Hana. Aku tahu Hana lelah, oleh sebab itu, aku menolak ajakannya sebab tak mau perempuan favoritku ini kelelahan dan jatuh sakit.


“Tidak, Hana. Masih ada esok hari, kita bisa makan bersama besok.”
“Di seberang sekolah ada kedai kopi baru, Al, aku ingin mencobanya. Kumohon, ya? Sekali ini saja,” pinta Hana. Karena tak tega melihat wajah merajuknya, aku kemudian mengiyakan. Hana lagi-lagi bersorak gembira.


Tetapi, kegembiraan itu tak berlangsung lama. Sebab, selang beberapa detik kami keluar dari gerbang sekolah dan hendak menyeberang jalanan, sebuah mobil sedan berwarna putih melaju dengan kecepatan tinggi. Mobil itu tampaknya hilang kendali sehingga menabrak tubuh Hana yang tak sempat menghindar hingga terpental bermeter-meter.


Semua terjadi dalam sekejap mata. Sebelum aku sempat mencerna keadaan, aku sudah melihat Hana tergeletak di tengah jalan dengan darah bersimbah. Meski pertolongan cepat datang dan kami berhasil membawa Hana menuju rumah sakit, tetapi nyawa Hana tak terselamatkan. Hari itu, aku kehilangan Hana. Sosok yang menghiasi hari-hariku di sekolah.

Source: Dokumentasi pribadi

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *