Cerpen

Cerpen: Panggil Saja Tata

Oleh: Penyair Amatir

source : pinterest

| 01

Siang itu, sebelas tahun yang lalu. Seorang perempuan mendatangi saya. Ia mengucapkan salam. Tersenyum. Duduk di bangku taman. Tepat di sebelah kanan saya.

Ia mengenalkan diri. Namanya Rosetta.

“Panggil saja Tata”

Tentu saya tak peduli. Saya tak ada urusan untuk mengingat nama panggilan orang yang tidak ada urusan dengan saya. Tetapi, atas nama sopan santun (yang menyebalkan) saya hanya bisa memaksakan senyum.

Perempuan itu mengatakan jika wajah saya seperti kekasihnya.

Saya pernah mendengar motif penipuan semacam ini. Mendatangi seseorang kemudian mengatakan hal serupa: kamu mirip kakak saya, kamu mirip kekasih saya, dll. Setelah akrab, biasanya mereka berulah. Operandi murahan.

Sekali lagi, sebagai orang yang harus menjunjung tinggi sopan santun (walau sekadar basa-basi) saya kembali tersenyum. Saya pikir jika perempuan itu peka, harusnya tahu jika senyum saya palsu.

Sepertinya perempuan itu tidak membutuhkan suara saya. Ia semakin menggebu menceritakan banyak hal yang membuat saya semakin terpojok.

| 02

Sore itu, sebelas tahun yang lalu itu, saya mampir ke taman untuk menenangkan diri. Tunangan saya yang ketika itu saya puja-puja selingkuh.

Sebenarnya sudah lama saya dengar isu semacam itu. Tetapi saya lebih percaya padanya. Barulah ketika saya melihat sendiri, hati saya hancur lebur.

“Selamat. Semoga pilihanmu terbaik”

Ucapan saya di malam itu. Sekaligus sebagai tanda bahwa kebersamaan yang saya banggakan itu sudah berakhir. Ia menangis.

Saya memilih untuk sementara meninggalkan kota S. Mengasingkan diri.

“Tak akan mudah menghapus cerita ini. Tetapi saya akan berusaha untuk secepatnya menguburnya. Biarlah perih. Biarlah pedih.” demikian saya bertekad.

Kota yang saya tuju tidaklah benar-benar asing. Sewaktu kecil saya kerap diajak Ibu ke sini. Mengunjungi satu-satunya saudara ibu yang masih tersisa. Di sanalah saya akan mengungsi untuk sementara.

Bibi memeluk saya. Ia menangis.

“Aku kangen Ibumu. Semoga Gusti Allah menerimanya di sisiNya.”

Ibu saya meninggal sehari setelah saya dan Adelia bertunangan. Semua begitu cepat. Padahal selama ini tak ada keluhan apapun terkait jantungnya. Tetapi dokter bilang jika faktor meninggal nya Ibu karena serangan jantung.

| 03

Rosetta menangis. Ia bercerita banyak hal. Tentang kekasihnya yang katanya mirip saya itu. Ia akan bertunangan. Tetapi maut lebih cepat menjemput kekasihnya. Tubuh kekasihnya itu dilumat kereta api.

“Aku tidak kuat mas. Aku pergi ke sini untuk melupakan itu. Tetapi sepertinya, ia masih hidup dal kepalaku.”

Sebagai orang yang baru ketemu, bagi saya sangatlah berlebihan jika sampai menceritakan kisah semacam itu. Sebagaimana Rosetta menceritakan kepada saya.

“Sabar Ros eh Tata. Saya tahu tidak mudah. Tetapi masih banyak yang harus kita perjuangkan untuk besok dan seterusnya. Dan entah apa.”

Saya kaget juga mendengar ucapan itu bisa keluar dari mulut saya.

Setelah reda tangisnya, ia memberikan gawainya.

“Lihat. Wajahmu dengan wajahnya..”

Saya terkejut bukan main. Wajahnya memang tak berlebihan jika dikatakan sama dengan wajah saya.

“Gmn? Aku tak bohong kan?” ujarnya.

Saya masih tak percaya dengan apa yang saya lihat.

“Saya juga tak bilang kamu bohong. Tetapi memang harus saya akui, wajah itu…”

Rosetta cerita bagaimana dia mulanya terkejut bukan main ketika kali pertama melihat saya di sini. Di bangku taman ini.

Saya tak tahu mengapa, taman ini memberi semacam ketenangan. Setiap hari saya selalu menyempatkan diri berlama-lama di bangku ini.

“Jadi, kamu mengintai saya sejak kapan?”

Rosetta tersenyum. Itu kali pertama saya menatapnya dengan saksama. Harus saya akui, senyumnya yang ia berikan kepadaku nuansanya begitu misterius. Seperti mengisi ruang yang kosong di dalam hati saya. Tetapi segera saya menepis pikiran tidak masuk akal itu. Bagaimanapun, bisa saja dia memanipulasi untuk memanfaatkan saya.

“Kamu membuatku tak bisa tidur berhari-hari. Butuh waktu untuk berjalan menujumu. Duduk di sebelahmu. Kemudian mengudar beban yang menggumpal di hati dan kepalaku. Maafkan aku bila mungkin terasa tidak masuk akal. Aku tahu. Ini pertemuan pertama kita. Tetapi aku malah bicara hal sentimentil”

Rosetta menarik napas panjang. Saya menjadi semakin kikuk saja. Sengaja atau tidak, kata-katanya tepat ke sasaran. Merontokkan pikiran saya tentang dirinya.

| 04

Pertemuan dengan Rosetta membuat kisah hidup saya lebih baik lagi. Maksudnya baik, saya merasa ada sesuatu yang saya temukan dari dirinya. Tetapi apakah kemudian saya memutuskan ini sebuah perasaan suka? Tentu tidak. Saya belum siap untuk itu. Luka di hati saya masih belum kering.

Perjumpaan berikutnya dan berikutnya seperti terencana dengan sempurna. Tetapi saya masih menganggapnya sebagai suatu risiko. Ya, kami hidup satu kota. Bukan suatu hal aneh bila kami sering berjumpa.

Ya, saya juga sepenuhnya sadar. Semakin banyak pembicaraan yang kami habiskan. Dan itu tak mungkin juga sebagai kebetulan. Terlalu naif. Sialnya saya tidak mengakui itu.

Ketika novel yang saya tulis sudah menemui jalan yang lebih bagus, saya kemudian kembali ke rumah.

“Jangan lari dari kenyataan. Kamu harus menghadapinya. Dengan itu lukamu akan terobati” demikian Rosetta memberikan saya wejangan.

| 05

Apa yang kamu lakukan ketika melihat suatu hal yang kamu yakini keberadaannya dan dikemudian hari menghianatimu sedemikian rupa?

Saya tak punya kalimat yang bisa mendeskripsikannya. Saya mematung menatap layar monitor itu. Benar-benar hilang akal.

Beberapa hari setelah berada di kota S, bibi menelpon saya. Tak berpikir panjang saya segera kembali ke sana. Saya tak mungkin menundanya.

“Kenalan bibi mengatakan jika ada hal yang susah untuk kujelaskan padamu. Maksud bibi, ini semacam…”

“Saya Ndak mengerti apa arah pembicaraan ini” ujar saya penasaran.

| 06

Di layar monitor itu, kami melihat rekaman cctv di taman itu. Saya, bibi, dan kenalan bibi – yang bekerja di taman itu.

Seperti orang tak waras, saya tertawa dan bicara sendiri di rekaman itu. Padahal saya mengalami kejadian itu tidak seperti yang kami lihat.

“Saya bicara dengan teman saya. Rosetta namanya. Tetapi…”

Di rekaman itu, saya hanya bicara dengan angin. Tak ada Rosetta. Bahkan dalam waktu yang lainnya. Saya hanya bicara sendiri. Tertawa sendiri. Termenung sendiri.

“Sebenarnya sudah lama aku akan menegur mu. Tetapi aku merasa jangan-jangan kamu latihan pementasan atau semacamnya. Tetapi setelah tahu jika Ningsih itu bibimu, akhirnya dengan pertimbangan tertentu, kuceritakan keganjilan itu.”

| 7

Mata saya masih menatap layar itu. Bagaimana bisa cctv taman tak bisa menangkap raga Rosetta. Sementara ingatan saya masih tajam. Bagaimana ia tertawa. Bagaimana ia sedih. Bagaimana ia menatap wajah saya.

Pertemuan yang singkat dengannya serta fakta yang saya temui, tak membuat saya melupakannya. Bertahun-tahun saya mengingatnya. Bahkan, hingga hari ini. Sebelas tahun dari waktu itu.

Istri saya meninggal karena covid-19. Hari-hari menjadi gelap. Saya merasa tak ada lagi gunanya untuk melanjutkan hidup. Tetapi ketika masa-masa kritis itu, ia muncul kembali di hapadan saya. Perempuan sebelas tahun lalu yang datang dan menghilang secara misterius.

Seperti sebelas tahun lalu, senyumnya menawan. Menebarkan debar-debar pada tubuh yang digerogoti kepedihan ini.


30/9/2020
Mencuci

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *