Opini

Perihal Kuliah: Narasi Yang Tak terungkap di Antaranya

Oleh: Juwita Wardah

Ketika membicarakan kegagalan, sepertinya terlalu naif jika hanya sekadar membicarakan penerimaan. Saya ingat betul hari-hari ketika semua orang sibuk dengan masa depan mereka, seolah masa depan letaknya hanya sejengkal di depan mata. Alih-alih berusaha, saya ingat betul juga kesan yang dihadirkan lingkungan akademik kelas dua belas saat itu cenderung seperti pemaksaan.

Membangkitkan lagi ambience lima tahun yang lalu bukan hal yang mudah, pun fungsinya bukan untuk menggurui pembaca sekalian, yang dewasa kini memiliki tantangan akademik yang berbeda. Namun, melalui tulisan ini, mari kita menerka-nerka ulang (dari pengalaman yang tidak seberapa ini), hal-hal yang harusnya diusahakan, dan hal-hal yang mestinya tidak dipaksakan.

Di SMA, saya menghabiskan waktu tiga tahun sebagai siswa IPA. Setiap hari bertemu dengan saintek, meskipun saya tahu betul bahwa saya lebih suka hal-hal yang sosial.

Dengan potensi yang pas-pasan, saya juga sangat yakin bahwa prestasi saya itu pincang untuk bisa menembus jalur undangan SNMPTN (sekarang menjadi SNBP). Maka dari itu, sejak kelas sebelas, saya langsung banting setir dengan membawa buku batako yang berisi latihan soal SBMPTN (sekarang menjadi SNBT) ke mana-mana untuk dikejarkan.

Sial-untungnya, saya menjadi satu yang terjaring di undangan. Peruntungan itu menjadi sesuatu yang membuat saya menciptakan peruntungan saya sendiri. Saya pernah uhuk menerbitkan novel, rajin dan rutin menang lomba menulis, dan prestasi-prestasi lainnya yang pokoknya bisa disombongkan dan diunggulkan-lah!

Dengan segenap materi sertifikat dan kemampuan saya di bidang bahasa, disertai dengan kepercayaan diri yang penuh, saya keukeuh untuk masuk Sastra Indonesia UGM. Langkah ini seperti menjalin satu peruntungan di antara ribuan kegagalan.

Namun, rasanya tidak pernah ada hari ketika saya begitu yakin, selain daripada hari ketika saya submit berkas waktu itu. Dengan berbekal doa, semangat dan ambisi, saya yakin akan diterima dan melepaskan buku batako yang bikin tas semakin berat itu.

Tapi ternyata saya gagal.

Sudah jatuh, terjerembab pula. Saya tidak memahami apa yang membuat prestasi-prestasi itu tidak membantu saya masuk ke Sastra Indonesia UGM. Rasanya seperti kegagalan yang mengkhianati usaha saya.

Narasi kemenangan bagi anak kelas dua belas melawan tes masuk kuliah ternyata begitu menyeramkan. Saya kembali hidup bersama buku batako, yang akhirnya punya lebih banyak, mengerjakan lebih sering, dan tentu tidur lebih sedikit. Les dengan lebih giat demi memahami apa yang tidak saya ketahui.

Saya menjadi lebih terkonsentrasi pada apa yang saya lakukan daripada sekadar terfokus pada keberhasilan semata. Di sinilah yang saya ingat betul: saya tidak pernah merasa begitu berserah dan pasrah.

Kepasrahan itu memberikan saya banyak ruang untuk terlepas dari ekspektasi dan paksaan saya atas tujuan perkuliahan.

Saya mulai melepaskan diri dari kengototan saya untuk menjawab orang-orang atas pertanyaan “lulusan sasindo jadi apa?”. Saya melepaskan diri dari ego saya yang merasa si paling sastra di kala itu. Saya juga melepaskan diri dari ambisi saya untuk sekedar “masuk UGM” dan mulai memahami alasan-alasan saya untuk terus mengejar mimpi melalui “masuk UGM”.

Aduh agak belibet, ya? Intinya, kepasrahan ini yang memberikan ruang untuk saya agar lebih ramah dengan kegagalan dan lebih menghargai proses. Namun, itu juga yang menjadi saya meyakini bahwa terlalu naif jika hanya membicarakan penerimaan saat membahas kegagalan.

Dari sanalah saya mulai menghidupkan narasi-narasi yang tidak sempat saya pikirkan ketika saya hanya berkutat pada ambisi untuk berhasil. Saya mulai menyadari pentingnya mengantisipasi kegagalan. Prinsip ini juga perlu ditanamkan, meski pelan, meski berjalan lambat, tetapi bagi saya kesadaran ini sangat penting. Istilah kerennya, “banyak jalan menuju roma”. Klise-klise begini, ternyata perlu.

Saya mulai membuka peluang dengan hal-hal yang mungkin mengantarkan saya pada tujuan. Setelah kegagalan jalur undangan dan meletakkan ekspektasi saya yang ketinggian saat itu, saya mencoba mencari jurusan Sastra Indonesia mana yang mungkin bisa menjadi opsi. Saya meyakini, luka atas kegagalan itu selalu didasari oleh ekspektasi.

Maka menjelang ujian tes masuk kuliah, saya menepikan ekspektasi itu dan memberikan saya kepercayaan penuh bahwa saya sudah berusaha sebaik mungkin. Tanpa pernah melepaskan mimpi utama saya, saya mulai melihat mimpi-mimpi baru yang mungkin tidak buruk.

Empat tahun berselang, saya lulus dari Sastra Indonesia UGM. Tidak lagi menjadi penulis/sastrawan seperti yang selalu menjadi jawaban saya atas pertanyaan “Sastra Indonesia mau jadi apa?”. Dan kini, melalui narasi narasi sederhana itu, saya menumbuhkan mimpi-mimpi baru, dan masih berusaha berdamai dengan segala kemungkinan gagal yang belum tersingkap.

Selamat berjuang. Mari kita terus bermimpi dan berproses.

Yogyakarta,
8 Mei 2023

Penulis merupakan lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia UGM yang aktif menjalankan reportase seni dan sastra serta review suka-suka di @antariksajourney.co dan @reviewgabut. Saat ini sedang aktif tergabung dalam program Asana Bina Seni Yayasan Biennale Yogyakarta sebagai Penulis/Kurator. Lebih dekat dengannya dan bersapa ria melalui instagram @juwitaju

Pict: Ambil gambar disini

230 total views, 2 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *