Oleh: Nabiel F.*

Opini – Turcham Media: Pagi itu aku bangun pukul lima pagi. Wudhu, sholat, doa, dan mandi kulakukan dengan sesingkat singkatnya. Seperti kebiasaan generasi Z di planet bumi, aku membuka gawai. Melihat cuplikan pertandingan Liga Inggris. Setelah puas dengan hasil Liverpool tadi malam, beralihlah dari Youtube ke Ig. Menikmati komen-komen netizen tentang kemenangan Liverpool. Sangat mengenyangkan.
Ku coba lihat jam sekilas, ternyata sudah jam 6.30, dan aku bergegas mengikuti doa pagi via zoom sebentar lalu mengemas makanan berisi sayur bening dan nasi ayam untuk di bawa ke sekolah. Ada beberapa urusan yang mengaruskan aku meluncur ke sekolah tercinta.
Ngeeng…. dan sampailah ke sekolah jam 7.10 dengan selamat jiwa dan raga. Telat sebenarnya, tapi untungnya orang Indonesia suka jam karet. Hanya ada satu anak yang datang terlebih dahulu. Seekor anak kelas 10 yang tidak pernah merasakan sekolah offline di Khadijah. Aku pun sudah menemui Bapak Penyair di markas barunya, ternyata beliau sudah datang jam 6 30.
Bergegas aku menelpon semua anggota lomba yang belum datang. Jam 8 pun tiba, satu demi satu kru lomba datang. Akhirnya Komplitlah kru anggota pada Jam 9. Luar Biasa, sedikit saran untuk pembaca. Jika janjian dengan teman, mundurkan waktu 2 jam sebelumnya saja.
Aku pun bergegas menyiapkan kamera dan properti lomba lainnya. Pak Yusuf pun akhirnya menyuruh anak anak yang ikut lomba untuk segera berangkat ke TKP. Mencoba bergegas mengambil take dan shoot untuk film.
Ternyata TKP harus dibersihkan dahulu. Lama tidak dihuni, pondok tercinta perlu sentuhan kasih dan sayang.
“Sapu sama dipel dulu nak” Ucap Pak Yusuf.
Ternyata semua ekspetasi tidak tercapai. Ternyata kita memulai take sesungguhnya jam 1 siang setelah sholat Dzuhur.
“Camera, Roll, Action” ujarku dengan gugup.
Maklum kali pertama menjadi sutradara. Terasa keren saat mengatakan itu, padahal tidak tahu makna dari “roll” itu sendiri. Take pun dimulai. Banyak kejadian abnormal terjadi, mulai dari ‘misteri motor Pak Haq’ yang susah sekali dinyalakan, padahal mau dipakai kru lomba untuk beli sesuatu. Sampai kejadian aktor yang sering menyebut kata-kata yang bisa berujung bui atau dicekal Komisi Penyiaran Indonesia.
Toleransi, itulah sebenarnya tema dari lomba kali ini. Lomba dakwah yang diadakan UINSA. Yang tujuannya mulia, yakni untuk memberi pesan lewat Video.
Akhirnya ‘Shooting’ pun selesai jam 14.20. Cukup cepat menurutku. Dan akhirnya proses editing pun harus langsung dilakukan. Mengingat deadline lomba tercatat 17 Maret (yang artinya keesokan harinya). Satu persatu teman yang berpartisipasi lomba pun pulang. Beberapa orang tersisa. Pak Yusuf memberikan selembar uang merah muda dan menyuruhku untuk membeli minum dan makan.
“Ah, aku sudah bawa bekal tadi, aku beli untuk yang lain aja.” Begitu pikirku. Pada akhirnya tersisa 4 orang dan masing masing mulai makan makanannya. Melihat seporsi nasi di bekal dan sayur bening, membuat asam lambung keluar.
“Kok agak kecut ya sayurnya.” Pikirku setelah mencoba mencicipi sayur yang sudah dicampur nasi. Tapi tak masalah, dengan lahap aku pun memakan sampai tinggal seperempat porsi.
Gawaiku pun bergetar, ternyata ada anak jauh datang dari Madura ke Surabaya mampir ke sekolah. Aku pun meninggalkan makananku sejenak. Mengobrollah aku dengan anak rantau itu. Di sela pembicaraan, Aku bertanya apakah sayur bening bisa basi kalau dari pagi?
“Ya sangat bisa” Katanya.
Aku pun mencoba bertanya ke Pak Yusuf.
“Loh.., Nak sayur bening itu menjad racun kalau sudah 6 jam.”
Melayang-layang diriku membayangkan racun di film-film. Akhirnya aku pun sedikit panik. Dan Pak Yusuf menyarankan untuk segera membeli kelapa muda untuk menetralkan racunnya. Tapi sayang, sepertinya rasa malasku untuk beli lebih besar daripada rasa takutku.
Perut mulai bereaksi, entah apakah itu dugaanku atau memang nyata adanya. Apapun yang terjadi aku tetap malas untuk mencari si ‘kelapa muda’ itu.
Aku pun memulai ngedit dengan salah satu temnku. Sebenarnya baru-baru ini saja aku kenal dekat dengan si ‘teman ini’. Tapi seperti apa kata Pembina Turchamku, ‘gak peduli’. Akhirnya aku pun tak memikirkan hal itu dan tetap melanjutkan ngedit.
Setelah sekian lama mengedit dan me’render’. Akhirnya 70% proses sudah selesai.
Aku membawa pulang hasil editan sementara untuk diedit lagi subtitelnya. Dan aku juga membawa sebuah sendok besi, yang entah bagaimana ada di plastik nasi padang yang kubeli tadi siang.
Akhirnya aku berniat untuk mengembalikannya langsung. Sesampainya di toko Nasi Padang Murah, aku mengembalikan sendok itu, dan si penjual hanya berkata demikian.
“Ohh iya”
Tanpa rasa terimakasih. Padahal aku sudah mengaharapkan semacam penghargaan Pembeli Terbaik hari itu. Tapi apa seperti kata Pak Penyair Amatir, ‘gak peduli’ maka aku abaikan hal itu.
Nggeeng…, Sampailah aku dengan motor kesayangan di rumah orangtua. Aku pun tidak merasa capek, karena aku sedikit menikmati kegiatan ini daripada ber jam-jam di depan gawai.
“Assalamualaikum.” Kataku sembari masuk rumah. Walau tidak ada yang menjawab (karena disengaja suara kecil). Aku pun masuk ke rumah. Tapi seperti kata Pak Shodiqin, ‘gak peduli’ tidak ada yang peduli ada tidaknya aku dirumah.
Itu cukup baik bagiku, dengan itu aku bebas. Tapi semenit setelah mendapati diriku tidak dipedulikan. Ibu menyuruhku mengajak main adik yang terakhir untuk main. Akhirnya bermainlah aku dengannya. Penasaran kami main apa? Ciee..
“He” Notif hp ku berbunyi.
Ada pesan dari Bapak tercinta, pesan yang berisi.
…
Yth.
Mas Nabil yang sempat
keracunan makanan
Berikut catatan anak buahmu waktu meliput pengambilan gambar film dakwah…..
Dan akhirnya aku pun menyampaikannya ke ‘anak buah’ ku. Lalu Beliau pun melanjutkan pesan (Ayo nulis Mas Nabil. Pendek2 saja. Tentang aktivitas hari ini. Nanti saya hujat. Kasih judul ya) dan yaa……
Ini dia Pak. Tulisan saya. Selamat menghujat!
Surabaya, 16/3/2021
Menunggu datangnya mimpi
*Penulis merupakan penggemar Liverpool tulen yang kini merumput di SMA Khadijah
Foto oleh: Ayesha TM