Oleh: Neina N.R.
Di tengah hamparan bunga tulip yang sedang bermekaran, datanglah seekor lebah kuning terbang membawa sepucuk surat yang berisikan tugas untuk menuliskan perjalanan kami, angkatan Fasvenje, dalam ziarah suci menyusuri jejak Walisongo. Sebuah perjalanan yang tak hanya membimbing kami, tetapi juga menguatkan hati di tengah kabut abu-abu yang menyelimuti, tanpa tahu warna apa yang akan menyambut diujung terowongan.
Perlahan, aku mencoba mengingat kembali setiap detail perjalanan yang kami lalui. Seperti memutar ulang film yang sudah kita saksikan sebelumnya. Dan perjalanan ini bermula dari niat, karena niat yang baik akan membimbing kita menuju akhir yang baik. Aku sering mengingatkan teman-temanku untuk menata kembali niat kami selama ziarah. Bukan untuk berdoa dan memohon pada gundukan makam, melainkan untuk menghormati dan meneladani para wali yang taat kepada Allah. Dengan begitu, kita akan meraih barokah dan pelajaran dari kesalehan mereka.
Ibaratnya, jika kita merawat dan menyayangi seekor kucing dengan tulus, maka kebaikan itu akan kembali kepada kita, bukan hanya karena kita memberi makan atau perhatian, tetapi karena kita meneladani kasih sayang dan keikhlasan yang dia tunjukkan. Begitu pula dengan ziarah ini, menghormati dan mengikuti jejak para wali yang penuh ketulusan, maka kita pun akan mendapat manfaat dari keberkahan mereka yang sudah terhubung langsung dengan Tuhan.
Dimulai dari peristirahatan terakhir Sunan Ampel dan diakhiri sholat ashar di Masjid Syekh Zayed yang megah, dengan ornamennya yang memukau. Setiap makam yang kami kunjungi memiliki kesan yang berbeda. Mesipun memiliki tujuan yang serupa, yaitu mendoakan beliau para wali dengan tahlil, namun setiap perjalanan menyuguhkan pengalaman yang unik.
Beberapa tempat yang membekas di hati adalah Makam Sunan Drajat, dengan gerbang pilar kokohnya yang terasa seperti menyambut kami menuju dunia lain. Lalu, Makam Sunan Kudus yang menyimpan kekentalan budaya yang khas. Dan terakhir, Makam Sunan Bayat dengan suasana pedesaan yang tenang, dan perjalanan melewati pintu-pintu pendek yang penuh filosofi (simbol penghormatan kepada tuan rumah) membuat kami merasa semakin dekat dengan makna perjalanan spiritual ini.
Namun, ziarah ke makam wali lainnya juga tak kalah menyenangkan. Kami melewati beribu tangga, menyusuri pasar yang riuh, naik ojek dengan kecepatan ugal-ugalan, dan menyusuri jalanan di sore yang indah dengan becak. Semuanya penuh warna dan cerita. Sayangnya, ziarah kami ke Sunan Muria harus tertunda, karena hujan deras yang datang begitu cepat, membuat perjalanan kami berisiko. Padahal kami semua tak sabar ziarah ke makam beliau, bahkan kami sudah berpakaian rapi, siap menerjang ojek racing itu.
Setelah mendapat tilang polisi, dan malam di Malioboro. Kemudian ditutup dengan lautan banjir di Surabaya, akhirnya perjalanan suci ini telah berakhir.
Aku hanya berharap semoga perjalanan kami mendapat hikmahnya, dan semua yang kami impikan dapat tercapai. Untuk angkatan selanjutnya perjalanan suci ini akan menanti kalian dengan sejuta warna dan misteri yang akan menyambut.
Jujur saja, aku dan beberapa temanku sempat merasa ragu dengan perasaan kami. Sepanjang perjalanan, ada yang terasa hampa, seperti kami berjalan tanpa arah, tak merasakan kehangatan atau cahaya apapun. Ditambah lagi, perjalanan yang melelahkan dan jadwal yang padat sebelum keberangkatan membuat hati kami dipenuhi kegundahan.
Apakah niat kami selama ini benar? Apakah kami menjalani semuanya dengan ikhlas? Ataukah kami telah melakukan kesalahan besar yang membuat hati kami terasa kosong, jauh dari Allah, tanpa ada getaran sedikitpun?
Namun, setelah mendengar nasehat bijak dari para guru kami, perlahan-lahan jawaban atas kegundahan itu mulai terungkap. Kami belajar bahwa kadang, sebuah perjalanan bukanlah tentang perasaan yang langsung datang begitu saja, tetapi tentang proses yang harus kami jalani dengan sabar, dengan hati yang penuh penyerahan.
Dari tilang polisi yang tak terduga, malam yang tak terlupakan di Malioboro, hingga badai banjir yang menyambut kami di Surabaya, akhirnya perjalanan suci ini mencapai ujungnya. Aku hanya bisa berharap semoga perjalanan ini memberi kami hikmah yang tak ternilai, dan semoga doa-doa yang kami panjatkan, serta impian-impian yang kami simpan dalam hati, suatu saat nanti akan terkabulkan.
Untuk angkatan berikutnya, perjalanan suci ini akan menanti kalian. Sejuta warna dan misteri siap menyambut langkah kalian, mengajarkan lebih banyak tentang kehidupan, kesabaran, dan kebesaran-Nya. Nikmatilah setiap detik perjalanan itu, karena setiap langkah yang kalian ambil adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar, yang hanya bisa dipahami setelah kalian melewatinya.
Ditengah kicauan ikan jangkrik Minggu, 29 Desember
– Penulis merupakan siswa yang menikmati liburannya lalu datang seekor lebah yang membawa sepucuk surat tugas ini.
99 total views, 3 views today