Pulang

Dari Nasida Ria hingga Kelas Agustusan

Oleh: Penyair Amatir

Tiba-tiba saja sore itu saya ingin mendengarkan Nasida Ria. Band kasidah modern yang legendaris itu. Yang mengisi masa kecil saya (medio 90an) dengan syair-syair bernasnya: Kota Santri, Tahun 2000, Jilbab Putih, Nabi Muhammad Mataharinya Dunia, Bom Nuklir, Perdamaian, Rumahku Surgaku.

Tiba-tiba saja Najwa dan Nazifa membuyarkan fokus saya dari alunan “Rumahku Surgaku”. Secara bertele-tele (di depan pintu) keduanya menyampaikan sebuah informasi. Bahwa ia (Nazifa) mendapat tugas untuk menagih tulisan saya buat materi web Turcham.

“Apa yang harus saya tulis?”

Mereka kebingungan.

“Jadi apa yang harus saya tulis untuk Turcham?”

Setelah perbincangan yang tidak perlu saya ungkap di sini, mereka meninggalkan ruang seni. Saya kembali menyimak lirik-lirik penuh kenangan “Bom Nuklir”.

Tiba-tiba saja mereka kembali ke ruang seni. Di tempat yang sama dengan posisi sebelumnya. Di samping pintu.

Entah Najwa atau Nazifa, bilang jika sudah punya tema.

“Kabut asap di Jakarta saja Pak..”

Lalu saya tanggapi, jika konsep Pulang (rubrik website Turcham) itu merupakan refleksi saya tehadap lingkungan sekolah.

“Bagaimana saya harus kaitkan dengan sekolah?”

“Bagaimana kalau tentang pengundian jalan sehat kemarin Pak. Kan ada yang sudah dapat, tapi dapat lagi. Kan harusnya tidak begitu?” demikian kurang lebih inti tanggapan mereka.

Mereka kemudian menghilang. Sebelumnya dia berjanji akan mengirimkan tema apa yang harus saya tuliskan.

Ini dia tema yang diusulkan Nazifa via chat WA:

  • Guru dan Siswa
  • Bullying
  • Sikap Unggul
  • Bakat Siswa
  • Kesenjangan sosial

Sejatinya saya ingin tulis nomor 2. Tapi saya menunggu terang benderang dulu. Oleh karenanya, saya pilih “Guru dan Siswa”.


KELAS AGUSTUSAN

Saya selalu punya keinginan untuk merayakan kemerdekaan di kelas. Momennya tepat. Setelah hiruk pikuk lomba-lomba yang digagas OSIS, Kelas Agustusan berlangsung.

Saya memilih puisi sebagai mediumnya. Tentu saya sajikan puisi bertema kemerdekaan. Saya pilih dengan banyak pertimbangan: Karawang – Bekasi (Chairil Anwar), Kemerdekaan (Wiji Thukul), Pidato di Depan Rumah (Penyair Amatir 🙃).

Bagaimana tahapannya?

Pertama saya masuk kelas seperti biasanya. Heuehu. Salam berulang kali sampai semua benar-benar siap. Memberi pengantar tentang filosofi kelas agustusan.

Secara berjamaah, mereka membaca puisi-puisi tersebut. Lalu saya memberikan beberapa pertanyaan pemantik.

Kemudian, acara intinya. Secara berkelompok menyajikan teatrikal puisi “Karawang Bekasi” di LSBF.

Tentu saja mereka protes. Yang ndak paham, yang waktunya mendadak, yang bingung dan seterusnya. Seperti biasa saya punya alasan yang sungkan untuk mereka bantah. Heuheu.

Bagaiamana hasilnya?

Dengan persiapan 10-15 menit, kelompok-kelompok ini mampu menghidupkan puisi Chairil Anwar ini ke dalam bentuk teatrikal. Pentingnya menjaga warisan kemerdekaan atas darah dan nyawa pejuang kemerdekaan, sebagaimana lirik puisinya, berhasil tersampaikan.

Konsepnya juga bervariasi. Mulai yang standar (membaca bergantian dengan koreo minimalis) hingga militan (akrobatik).

Berikut bait pembuka “Karawang Bekasi”

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,terbayang kami maju dan mendegap hati?


Kelompok yang tampil, dengan segala keterbatasannya, tampil heroik mengisahkan perjuangan dan perlawanan “Kami” lirik.

Sesekali mereka juga menggugah kesadaran dari apa yang telah “kami” upayakan untuk pertiwi.


Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata


Sekaligus menggugat dan memberikan petunjuk untuk terus meneruskan perjuangan “kami”.


Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami


Wal akhiru, semoga kelas agustusan ini menjadi spirit anak-anak untuk senantiasa memperbaiki kualitas diri. Bukan saja manfaatnya untuk pribadi, tetapi lebih jauh memberi kemanfaatan untuk negeri ini. Alfatihah.

Sda, 25/8/2023 |Tanpa ampun terbatuk-batuk di depan secangkir kopi yang keburu dingin

*Penulis merupakan penyair yang mengisi waktu luangnya dengan mengajar Bahasa Indonesia di SMA Khadijah

660 total views, 6 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *