Oleh: Penyair Amatir*
Setelah menuntaskan koreksi tugas anak-anak tercinta, yang membuat mata dan paketan saya drop (heuehu), saya mendapat kejutan. Tentu saja ini bukan kejutan ulang tahun. Kejutan bedah rumah. Kejutan uang kaget. Kejutan saya diangkat jadi komisaris BUMN. Bukan, sama sekali bukan.
Yang pasti, kejutan ini lebih spesial. Apakah itu?
Sang Wira Bahasa, demikian label kejutan itu. Sebuah puisi dari kawan saya yang jago silat. Saya biasanya memanggil dengan Mister Hamzah. Kadangkala Master Hamzah. Juga pastinya, Pak Hamzah. Sesekali manggil Bro sih. Tapi belum pernah manggil “Sis”, dan tidak ada rencana untuk itu. Takut digebuk. Heuehu
Sepertinya sudah lama saya tidak membaca puisi Mister Hamzah. Dulu, sewaktu saya bekerja di Ruang Guru (bukan nama bimbel lho ya), intens kami berdiskusi tentang puisi. Mungkin pembicaraan ini menurut saya paling menarik. Ketimbang hal-hal lainnya. Waktu itu.
Sampai akhirnya, dari puisi-puisi yang kami bicarakan menjadi manuskrip. Satu buku puisi. Judulnya: Cinta yang Azali. Puisi-puisi Mister Hamzah, baik yang berbahasa Indonesia maupun Inggris.
Selepas saya geser tempat kerja, kami hanya berjumpa sambil lalu. Berpapasan di koridor. Bersimuka di parkiran. Lihat-lihatan di depan ruang TU (ini didramatisir sih, heuehu).
Pembicaraan juga itu-itu saja.
“Bro..”
“Halo Mister..”
“Eh, anakmu siapa itu ndak pernah ikut pelajaran saya..”
“Siip”
Setelah sekian lama, barulah saya kembali menemui Hamzah Fauzi lebih dekat lewat kejutan itu, Sang Wira Bahasa. Kalau kita cari di kamus, “wira” berarti “pahlawan”. Secara harfiah, makna puisi kejutan itu “Sang Pahlawan Bahasa”. Berikut saya kutipkan utuh.
SANG WIRA BAHASA
Wira bahasa
Bagiku engkau laksana tukang ukir
Yang menukang pada masa yg gelap hingga terbit surya yang benderang
Dari masa yang cadas hingga menuai azas
Wira bahasa
Tanganmu cekal mengukir frasa
Menyambung kata per kata
Membentuk madah penuh makna
Pegangan generasi berhikmah nyata
Wira bahasa
Kau ajarkan pada kami memilah diksi
Menautkan klausa klausa dalam sepi
Hingga kini ramai makna kusemai
Untuk ibunda pertiwi agar insan berbudi
Wira bahasa
Kini kutahu apa itu personifikasi
Apa itu metafora yang maknawi
Yang terangkum dalam berjuta puisi
Yang akan kuwariskan pada anak negeri
Wira bahasa
Dalam pedang literasi ku harap bangsa berbenah diri..
Agar tahu dan mengerti apa yang pasti
Dari sekumpulan dera halusinasi
Oleh: Hamzah Fauzi
Sang Wira Bahasa, secara estetika masih pada jalur puisi-puisi Hamzah Fauzi terdahulu. Jalur itu bernama pujangga baru. Apa tandanya? Kesetiaan penyair pada rima, pilihan diksi yang indah, ekspresi yang romantik, muatan pesannya. Tetapi, bagi saya pilihan jalur pada penulisan puisi bukan masalah serius. Maksudnya, tidak seperti bagaimana Chairil Anwar menyoalnya.
Pertanyaan selanjutnya, dunia macam apa yang dapat kita tafsirkan dalam puisi tersebut?
Secara harfiah, Sang Wira Bahasa berarti Pahlawan Bahasa. Dalam lingkup itu, bisa saja berarti: guru yang mengajarkan bahasa, pegiat literasi, atau mungkin saja guru secara umum. Kita bebas memaknai apapun. Karena ketika teks sudah di tangan pembaca, saat itu pula otoritas penulis menjadi hilang. Sederhananya, ini tafsiran pembaca. Tidak ada kaitannya denga apa sebenarnya yang dimaui penulis.
Nah dalam puisi ini, si aku (dalam puisi ini) menjelaskan/mengapresiasi (penghormatan) betapa heroiknya Sang Wira Bahasa itu bagi dirinya.
Bagiku engkau laksana tukang ukir / Yang menukang pada masa yg gelap hingga terbit surya yang benderang (bait 1)
Baris tersebut merupakan potret bagaimana aku menggambarkan Sang Wira Bahasa (selanjutnya SWB) ini dalam berjuang di bidangnya. Yakni mencerahkan. Membawa kepada situasi yang lebih baik dari sebelumnya.
Kau ajarkan pada kami memilah diksi / Menautkan klausa klausa dalam sepi / Hingga kini ramai makna kusemai / Untuk ibunda pertiwi agar insan berbudi (bait 3)
Tujuan akhir dari perjuangan SWB dijelaskan di baris terakhir bait 3 yakni agar insan berbudi, agar ada sumbangsih bagi negeri. Sebagai seorang yang mendapat pengaruh langsung dalam hubungan itu (baca: guru dan murid), aku lirik menyadari sepenuhnya betapa pentingnya ilmu yang diperoleh bagi hidupnya.
Secara tidak langsung, puisi ini hendak membicarakan bagaimana adab seorang murid pada gurunya. Betapa rasa hormat itu begitu tinggi ia junjung pada orang yang memberi ilmu. Kini kutahu apa itu personifikasi /Apa itu metafora yang maknawi/ Yang terangkum dalam berjuta puisi / Yang akan kuwariskan pada anak negeri (bait 4)
Puisi ini ditutup dengan harapan aku lirik (saya lebih menyukai ini sebagai kritik) tentang bagaimana ilmu yang diperolehnya membawa kemanfaatan untuk situasi saat ini.
Dalam pedang literasi ku harap bangsa berbenah diri.. / Agar tahu dan mengerti apa yang pasti / Dari sekumpulan dera halusinasi (bait 5)
Dalam arus informasi yang meluap saat ini, kecakapan literasi saya pikir harus menjadi alat yang mampu mengatasi “halusinasi” itu. Apakah halusinasi dalam kasus ini? Yakni maraknya informasi yang palsu, tetapi sudah bulat-bulat kita percayai sebagai sebuah kebenaran. Bukankah ini berbahaya?
Sang Wira Bahasa (siapapun itu) harus mengantisipasi apa yang dimaksud Hamzah Fauzi dengan “dera halusinasi” itu. Tanpa itu, jika hanya sekadar menuntaskan hafalan semata, maka bangsa ini tak akan pernah berbenah diri.
Jika saya menulis puisi sebagai sebuah terapi mengatasi kesumpekan hidup, saya membayangkan Mister Hamzah ini beda lagi. Sepertinya (saya tidak minta maaf jika salah), menulis puisi baginya merupakan ruang (kelas) meditasi dalam mendaraskan kondisi sosial budaya yang dihadapinya. []
Pemerhati puisi yang tidak tinggi hati – Meringkuk di depan buku, 8/8/2021
Gambar oleh Patrizia08 dari Pixabay