Oleh: Putri Noor Shafia
Tidak terasa sudah 2 tahun lebih saya menempuh pendidikan SMA di sekolah ini, hingga kini tibalah waktunya bagi angkatan FASVENJE untuk memulai wisata SMA terakhirnya, yakni wisata religi Wali Songo. Awalnya, saya mengira kelas 12 akan lebih mudah fokus untuk belajar, namun siapa sangka jiwa gila organisasi malah mengantarkan saya ke titik yang tidak terduga. Semenjak ujian berakhir hingga H-2 wisata religi, saya dan panitia buku kenangan disibukkan dengan tugas kepanitiaan yang pastinya menguras waktu dan tenaga, bahkan hampir setiap hari kami harus pulang malam. Melelahkan memang, tapi saya tidak menyesal telah menerima ajakan untuk menjadi panitia buku kenangan.
Mengingat betapa hectic-nya jadwal saya sebelum wisata ini, saya tidak memiliki waktu untuk packing sama sekali sampai H-1. Bahkan, saat H-1 pikiran saya sempat kacau karena rata-rata yang turun 0,9 digit dan ranking yang turun 3 nomor.
Namun, peristiwa ini membantu saya untuk lebih termotivasi dalam perjalanan Wali Songo. Bukannya sebuah kegagalan tak bermakna, melainkan sebuah pertanda dari Allah untuk kembali pada-Nya dan meminta bantuan kepada-Nya. Kekacauan mental dan kegagalan yang saya alami mungkin saja merupakan peringatan Allah kepada hamba-Nya ini yang semakin lupa beribadah dan sedikit demi sedikit mulai kehilangan ketulusan dan kejujurannya dalam mencari ilmu. Dengan berbekal motivasi ini, saya siap untuk menapakkan langkah pertama dalam wisata religi Wali Songo.
Sehari sebelum keberangkatan, saya dan teman-teman banyak yang tidur kurang dari 5 jam, mengingat bahwa kami harus berangkat jam 5 pagi. Bad decision I admit, jika kami tahu bahwa 3-4 hari kedepannya kami hanya bisa tidur 1-2 jam perhari, kami pasti akan mengumpulkan energi sebelum berangkat. Walaupun lelah, namun anehnya kami tidak pernah kehilangan semangat selama perjalanan ini. Banyak sekali hal yang kami pelajari, banyak sekali memori yang kami ukir di setiap destinasinya. Despite banyaknya tantangan yang kami hadapi selama perjalanan, seperti kurangnya waktu tidur, hujan yang menghambat lancarnya rundown, hingga badan remuk karena 70% duduk dan 30% berjalan dan mendaki, tentunya tidak boleh melupakan tujuan utama kami menempuh perjalanan ini. Yakni untuk berdo’a kepada Allah dengan perantara Sembilan sunan yang kami kunjungi, dan diantara doa-doa kita, tidak ada salahnya untuk menyelipkan do’a untuk teman-teman kita juga.
Saya sempat merasa kurang khusyuk selama berziarah ke wali-wali tersebut, lantaran badan saya lelah dan lingkungan yang terkadang tidak mendukung. Sayapun bertanya kepada Pak Irfan, salah satu pendamping bis saya, “bagaimana caranya agar kita bisa fokus dan khusyuk, pak?”
Beliau memberikan jawaban yang diluar dugaan saya, jawaban yang mungkin menjadi solusi dari masalah-masalah lain yang saya alami.
“Jangan mengisi hati dengan hal duniawi, karena yang menghuni dan memiliki hati kita hanya satu, yakni Allah.”
Demikianlah jawaban beliau. Saya merasa disadarkan oleh beliau agar tidak memberatkan hal-hal yang sudah terjadi, untuk apa menyesali yang lalu?
Kita hanya bisa berdo’a kepada Allah dan beristikharah untuk yang akan kita hadapi.
Jika dipikir secara mendalam, banyak masalah yang dihadapi remaja seusia saya tercipta karena pikiran kita sendiri. Kebingungan, keraguan, penyesalan, entah itu karena masalah keluarga, nilai, pilihan kuliah, maupun hubungan sosial. Mungkin, kita lebih mengenalnya dengan istilah ‘overthinking’.
Jujur saja, saya sendiri masih berusaha dan mencari cara untuk ‘tidak memasukkan ke hati’, karena saya sendiri adalah orang yang mudah overthinking dan negative-thinking. Namun, dari perjalanan Wali Songo ini saya mulai belajar untuk ‘menerima apa adanya’. Dimulai dari hal kecil seperti kondisi fisik dan lingkungan, jika tidak terlalu dipikir hal negatifnya, everything will feel more bearable, if not enjoyable. “Loss dol aja,” Pak Irfan menambahkan.
Memang benar kata beliau, lebih baik kita menyesal telah melakukan sesuatu daripada menyesal karena tidak melakukan sesuatu. Barulah ketika kita belajar untuk ‘tidak memasukkan ke hati’, rasa penyesalan itu akan hilang sedikit demi sedikit.
Salah satu pengalaman yang paling memorable adalah ketika kami menikmati berbagai metode transportasi menuju pemakaman dari parkir bis. Pertama, ketika di Sunan Giri dan Sunan Kudus, kami mengendarai ojek. Ojek disana sudah teratur dan ada nomor antreannya, membuat proses perjalanan lebih kondusif. Untuk pertama kalinya sejak saya SD, saya mencoba ‘bonceng tiga’ dengan teman saya, dan wow, siapa sangka ternyata bapak ojeknya ngebut banget? Apalagi saat di sunan Giri, jalannya banyak belok dan menanjaknya, saya merasa seakan dibawa angin haha. Namun, justru seru-nya disana, ketika kami berteriak (karena seru), berpegangan dengan teman (karena sungkan mau pegangan ke bapak ojeknya), hingga sempat-sempatnya membuat vlog ‘bonceng tiga’ yang akhirnya gagal.
Sunan Bonang merupakan satu-satunya pemakaman Wali Songo dimana kita bisa mencoba alat transportasi becak. Saya sudah pernah mengunjungi Sunan Bonang saat Wali Lima (kelas 6 SD), jadi saya sudah menanti-nanti keseruan di Wali ini. Memang harganya cukup mahal, tapi it’s worth the fun.
Naik becak di Sunan Bonang rasanya cukup berbeda dengan naik becak di Surabaya. Saat becaknya keluar dari antrean, akan ada fotografer yang memotret kita secara tiba-tiba dan nantinya foto kita akan dipajang untuk dijual, oleh karena itu, untuk angkatan yang tahun depan akan wisata religi, saya sarankan untuk stand by dengan senyum terbaikmu (biar nggak aib mata merem seperti saya). Selain itu, becak disini agak balapan, jadi rasanya seolah kita juga balapan dengan teman kita haha. Sekali lagi, saya dan pasangan satu becak saya mencoba untuk membuat vlog, namun dikacaukan oleh angin yang mengacak-acak kerudung kami. But, who cares? Video vlog gagal kami kelak akan menjadi wadah untuk mengabadikan memori yang hanya kami alami sekali seumur hidup.
Hal lain yang paling saya ingat adalah kejadian di Sunan Gunung Jati. Sebelum memulai wisata religi ini, guru-guru sudah mengingatkan untuk berhati-hati di SGUJA, lantaran banyaknya pengemis yang cukup agresif dan memaksa. Kami tiba di pemakaman ini saat dini hari. Barisan sudah diatur sedimikian rupa agar siswa putra membentuk ‘pagar’ untuk melindungi siswa putri di tengahnya. Namun apesnya, saya terletak di barisan belakang, dimana barisan putra sudah habis. Alhasil, saya dan beberapa teman saya sempat menjadi target pemaksaan, bahkan hingga dicubit dan dihalang-halangi. Saran saya untuk Angkatan selanjutnya, walaupun jumlah siswa putra lebih sedikit, tolong barisan putri yang di belakang juga dijaga yaa 🙂
Perjalanan favorit saya adalah ketika mengunjungi makam Sunan Bayat. Awalnya, saya sedikit khawatir karena katanya kami akan mendaki, ternyata yang dimaksud adalah menaiki tangga yang tinggi dan banyak jumlahnya. Banyak teman saya yang memilih untuk menaiki ojek, namun saya dan beberapa teman memilih untuk jalan kaki hingga ke puncak. I must say, jalan kaki sejauh itu benar-benar worth the exhaustion, selain karena serunya ‘mendaki’ Bersama teman, kami juga disuguhi dengan pemandangan yang subhanAllah indahnya saat tiba di puncak. Saya mengambil banyak foto bersama teman-teman saya di sana, birunya langit pagi dengan cahaya hangat dari matahari membuat memori di Sunan Bayat terukir dalam di memori saya.
Perjalanan 4 hari 3 malam ini mengajarkan saya banyak hal. Mulai dari menerima situasi apa adanya, mengambil sisi positifnya apapun yang terjadi, berusaha semaksimal mungkin dan menyerahkan hasilnya kepada Allah, dan yang terpenting, melibatkan Allah dalam setiap Keputusan penting yang kita ambil. Memori-memori penting bersama orang-orang berharga dan perjalanan terakhir FASVENJE ini akan saya jaga baik-baik dalam ingatan saya.
Akhir kata, saya ingin megucapkan terimakasih dari lubuk hati terdalam untuk Angkatan FASVENJE, terimakasih sudah mau berpartisipasi dan membuat wisata religi ini lebih berarti. Semoga doa-doa yang sudah kita panjatkan, baik untuk diri kita maupun orang lain, akan dikabulkan oleh Allah. Semoga perjalanan Wali Songo ini dapat menjadi bekal untuk perjalanan kita di masa mendatang. Aku akan menanti kabarmu dan berdo’a untuk kesuksesanmu, so have some courage and faith for the future, okay? Selamat bertemu lagi di jenjang selanjutnya, FASVENJE!
– Penulis merupakan siswa kelas XII-7 yang dikejar banyak deadline
105 total views, 3 views today