Opini

Para Pendosa Tanda Baca

Oleh: Aqila Viki F. R.

“Aku mau makan Ibu”

Bukan, ini bukan cerita terkait kanibalisme. Kalimat ini tidak sengaja muncul ketika saya sedang membaca cuitan seorang pengguna di aplikasi X. Para netizen di bawahnya mulai bertarung dengan mosi

“Seberapa penting tanda baca, agar tidak membuat pembaca salah paham?”

Jariku tergelitik menilik kolom komentar, sembari introspeksi diri: apakah saya juga salah satu pendosa yang ikut terlibat? Iya, saya pribadi ternyata tidak luput dari kesilapan dalam meletakkan mereka.

Bagi para generasi Z, menulis dengan tanda baca merupakan hal sunnah. Ketika kamu melakukannya dalam bertukar pesan atau mengunggah sesuatu di media sosial menggunakan EYD (Ejaan yang Disempurnakan), mereka akan mulai menebak umurmu sebaya dengan boomers. Bahkan, adikku yang bagian dari generasi alfa juga mengakui bahwa menulis dengan tanda baca di sosmed merupakan hal yang merepotkan.

Ini cukup memprihatinkan, bagaimana para generasi muda lebih memilih mengabaikan kaidah ejaan yang telah ditetapkan. Walau bahasa bersifat dinamis dan mengikuti zaman. Penggunaan yang tepat dan benar akan mampu menghindari kita dari makna ambigu dan kesalahan informasi. Tanda baca mungkin pernah menyelamatkan Bung Karno pada hari paling bersejarah bangsa ini. Bayangkan jika Sayuti Melik tidak sempat merevisi teks rancangan proklamasi; Bung Karno bisa saja terengah-engah membaca, lalu menunda kemerdekaan demi merevisi ulang teks tersebut. Memang, ini hanya intermezo. Tapi satu hal pasti: revisi Sayuti Melik adalah fakta, dan tanda baca hari itu, ikut menjaga sejarah tetap berjalan tepat waktu.

Tanda baca juga penyelamat bagi para pewara dan reporter dalam menyampaikan informasi kepada para pendengar. Juga menentukan intonasi ketika dibacakan. Jadi ketika chatting, intonasi lahir bukan dari huruf besar atau kecil tapi tanda baca. Huruf kecil memang memberikan kesan yang lemah lembut dan santai. Tapi bukan berarti bisa selalu bisa digunakan dalam kondisi apapun. Dalam menghubungi guru, dosen, atau orang asing, akan lebih sopan jika menggunakan ejaan yang benar. Hal yang sama berlaku untuk proposal, makalah, atau tugas. Akan sangat disayangkan jika nilai berkurang hanya karena terjadi ambiguitas akibat hilangnya tanda baca.

Sering kali, kita memang lebih sering melewatkan tanda baca karena rasanya kurang penting atau membuat typing menjadi kurang estetik. Faktanya, malah sebaliknya. Tanpa tanda baca, pesan kita malah bisa jadi rancu dan membingungkan. Kita sudah lebih dari 80 tahun merdeka. Jangan sampai bahasa kita, terutama dalam tulisan, malah “dijajah” oleh kebiasaan malas memakai tanda baca.

Merdeka itu artinya bebas menyuarakan tentang apa saja. Tapi kalau mau benar-benar merdeka, kita juga harus memberi kebebasan kepada pembaca untuk memahami maksud kita. Dan itu hanya bisa terjadi kalau tanda baca kita jelas.

Mulai sekarang, anggap tanda baca seperti bendera Merah Putih di teks kita: kecil, tetapi penuh makna. Kita tentu tidak mau bendera itu terbalik, bukan? Nah, begitu pula dengan tanda baca; jangan sampai terbalik, apalagi hilang sama sekali.

Karena bahasa yang merdeka bukanlah bahasa yang asal bebas, melainkan bahasa yang membuat semua orang memahami maksud kita.

-15/08/25

Sedang bersiap membungkus kado lomba Agustusan.

– Penulis merupakan warga yang gemar ikut lomba Agustusan

Editor: Nirbita

55 total views, 3 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *