Opini

Bodo Amat, Saya Mau Masuk ISI

Oleh: Krisnaiya Ramadhan

Masuk ISI itu bukan pilihan impulsif. Bukan juga karena “anaknya senian” banget yaa. Saya cuma merasa klik. Rasanya seperti: ya ini, tempat saya. Sejak SMP, saya sudah kebayang antara Jogja atau Solo. Nggak tahu kenapa, tapi kalau ditanya sekarang jawabannya tetap sama: saya nggak punya alasan logis, tapi saya punya rasa yakin.

Prosesnya jelas nggak semulus ekspektasi. Saya pikir, perjuangan masuk kampus ya tinggal belajar UTBK, isi biodata, terus nunggu pengumuman. Ternyata? Oh tentu tidak semudah itu, Ferguso. Beberapa jurusan di kampus seni, termasuk Film dan Televisi, minta portofolio.

Dan bukan portofolio ala-ala yang bisa dikarang bebas semau kita—ini ada temanya, ada templatenya, dan disesuaikan sama jurusan.

Lucunya, saya baru benar-benar revisi total portofolio itu H-7 sebelum penutupan pendaftaran. Mantap, kan?

Yang lain sudah finalisasi, saya malah masih ngerombak. Harus bikin deskripsi kegiatan kolektif, lalu bikin sinopsis yang secara garis besar… ya mirip-mirip juga. Tapi ya sudah.

Mewek? Nggak juga. Panik? Dikit. Tapi berhenti? Ya enggak lah. Saya hanya ikut bimbel intensif selama 1,5 bulan sebelum UTBK dimulai—di bulan puasa pula. Di tempat bimbel warna merah dan kuning yang cukup terkenal itu.

Nggak, saya nggak tiba-tiba jadi jenius. Tapi setidaknya saya jadi tahu seberapa “nggak bisa apa-apa”-nya saya. Try out dan latihan soal yang dikasih itu semacam wake-up call. Bukan buat bikin minder, tapi biar sadar: “Oh, ternyata saya beneran harus belajar.”

Kadang di kelas kayak balapan paham. Baru nyambung di nomor satu, eh tutornya udah di nomor empat. Tapi setidaknya saya jadi ngerasa: “Oke, saya nggak sendirian.” Dan itu cukup menenangkan. Nggak harus paham semuanya. Nggak harus jadi yang paling hebat. Cuma harus jalan terus.

Sampai akhirnya hari UTBK datang juga: 26 April. Hari pasrah nasional.

Nggak bisa ngapa-ngapain lagi selain ngisi soal, berdoa kepada Allah SWT, dan ya… berharap aja semesta ikut bantuin. Saya nggak punya ekspektasi tinggi. Tapi saya tahu saya udah berusaha.

Lalu datang hari pengumuman: 28 Mei. Saya cuma daftar satu kampus—ISI, tapi saya pecah jadi tiga pilihan:

  • S1 Film & Televisi – ISI Yogyakarta
  • S1 Film & Televisi – ISI Surakarta
  • D4 Produksi Film – ISI Yogyakarta

Sejak SMP, entah kenapa saya sudah merasa klik dengan Jogja atau Solo. Saat kelas 11, saya berkesempatan mengikut kampus tour ke ISI Surakarta. Rasanya seperti “Ya,ini tempatku”saya merasa ini tempat saya berkembang.

Dan ketika pengumuman datang, Alhamdulillah, saya diterima di ISI Surakarta.

Saya tidak pernah mendengar langsung orang-orang meremehkan pilihan saya kuliah di seni. Tapi saya tahu, dari proses, dari obrolan, dari lingkungan, bahwa stigma terhadap anak seni itu nyata. Katanya:

“Mau jadi apa kuliah di seni?”

“Anak seni itu hidupnya bebas banget, ntar jadi ngelantur.”

“Kerjanya pasti susah.”

Tapi orang tua saya justru berkata, “Kamu harus tahu semua itu. Dan kamu harus buktikan bahwa kamu bisa mematahkan stigma-stigma itu.” Dan itu yang bikin saya makin mantap.

Di situ ada suara, ada cerita, ada makna yang nggak bisa dijelaskan cuma lewat angka. Mau lewat gambar, film, musik, atau… buku—semuanya seni. Dan semua punya perannya masing-masing.

Saya tahu jalan yang saya pilih bukan yang paling gampang. Tapi juga bukan yang paling kacau. Seni bukan jalan pintas, tapi juga bukan jalan buntu.

Saya nggak janji jadi mahasiswa terbaik. Tapi saya janji akan tetap jadi diri saya. Mau bilang apa pun soal anak seni, silakan. Tapi saya sudah di sini. Dan saya akan bertahan.

“Seni bukan tentang dilihat, tapi tentang dirasa. Bukan tentang hasil, tapi tentang keberanian untuk tetap melangkah di jalan yang sering dianggap tidak biasa.”


Dan kalau ditanya, “Kenapa masuk ISI?”

Jawabannya cuma satu: karena saya mau. Dan saya nggak perlu alasan lain untuk itu.

Seni itu memang jalan sunyi. Tapi bukan berarti sendiri. Di balik karya yang terlihat indah, ada proses yang panjang dan kadang menyakitkan. Ada revisi yang mendadak. Ada try out yang menjatuhkan mental. Ada malam-malam ragu, dan hari-hari penuh tanya.

Tapi ketika hasilnya datang dan itu bukan soal diterima atau tidak, saya tahu saya sudah berani melangkah.

“Jika kamu percaya bahwa gambar, cerita, suara, dan buku bisa mengubah cara pandang dunia, maka kamu sudah berada di jalan yang tepat. Seni bukan cuma tentang dilihat, tapi tentang didengar—bahkan dalam diam.”

*Penulis merupakan warga distrik enclose yang bermigrasi melanjutkan mimpi di ISI SURAKARTA

Source pict

99 total views, 98 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *