Oleh: Mutia Bahalwan*
Pertama kali semenjak aku dilegalkan menjadi salah satu dari anak yang lahir di atas tanah Ibu Pertiwi, 2k20 adalah tahun yang berulang kali mencetak sejarah dunia dan berhak dinobatkan menjadi tahun yang paling legendaris.
Tahun yang mewujudkan sebagian besar cita-cita pelajar Indonesia untuk berdiam diri di rumah dan akhirnya berujung menjadi liburan musim panas yang sangat membosankan.
Virtual sana sini, daring tak kunjung selesai, hingga berakhir dengan merayakan HUT RI ke-75 secara virtual. Tentu tidak ada keramaian seperti tahun-tahun sebelumnya, karena protokol kesehatan ketat diterapkan pada perayaan kemerdekaan Indonesia kali ini.
Dua tahun yang lalu, mungkin aku masih bisa menikmati pemandangan pantai Tita dengan hilir mudik kapal laut di tengah Selat Sonegate yang membawa siswa-siswi dari luar pulau Neira untuk melihat secara langsung kenaikan Bendera Pusaka di depan gedung Istana Mini — bekas kantor pemerintahan VOC di Banda Naira yang juga ditempati oleh seorang Gubernur VOC, Jan Pieterszoon Coen, kala itu.
Atau tahun kemarin, di kota yang berbeda, aku dan teman satu angakatan lainnya, diutus oleh pihak sekolah untuk menyaksikan sebuah acara spektakuler, yaitu Pengibaran Bendera Super Besar di Mesjid Agung, Surabaya.
Dan pada tahun ini, tak ada cerita spesial untuk diceritakan. Siklusnya berputar di kata, online, online, dan online.
Mungkin untuk sekolah daring, sudah bukan menjadi rahasia publik kalau pelajar kurang merasa nyaman dengan berbagai keterbatasan. Tapi, pasal hari di mana 75 tahun yang lalu sang proklamator dengan lantang menegaskan bahwa INDONESIA BEBAS DARI PENJAJAHAN, bukan hal yang sepeleh untuk kami bisa berkeluh kesah.
2020 adalah tahun virtual. Maka, sensasi lain dari sisi virtual akan segara dihadirkan di negara ini. Ditik-detik menegangkan saat petugas pengibar bendera Sang Saka Merah Putih menaikkan bendera yang diikuti dengan nyanyian lagu Indonesia Raya oleh seluruh warga Indonesia secara virtual akan terjadi dalam waktu dekat.
Ini adalah sejarah baru dibalik wabah nasional yang menimpa Indonesia. Sejarah yang nantinya akan dikenang sebagai pelatih kesabaran dalam berbagai hal. Mulai dari kesabaran karena krisis pekerjaan, hingga berujung kepada nasib seluruh siswa dengan pembelajaran daringnya.
Tapi, mari berbalik arah. Krisis boleh krisis. karena keadaan yang menjadikannya seperti itu. Namun, jangan sampai yang mengaku Warga Negara Indonesia merasakan krisis kecintaan terhadap tanah air. Hanya karena pandemi yang tak kunjung selesai.
Ambil pelajaran dari wabah ini sebagai bentuk rasa syukur karena kita diberi musuh yang memang bisa dihindari dengan cara menerapkan protokol kesehatan. Tapi, coba lihat kembali musuh para pejuang bangsa yang tak bisa dihindari dengan cara apapun karena menganut sistem penindasan.
Oleh karena itu, menyongsong hari yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh warga Indonesia ini, mari menegakkan kaki kita sebagai penopang negara di kemudian hari. Mari menyahut lantang untuk negara yang sedang membutuhkan penerus generasi yang mampu membawa Indonesia di atas tanah keadilan. Mari menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 dengan seruan, MERDEKA!!!. (mut)
*Penulis merupakan siswa rantau asal Banda Neira (Maluku) kelas XI IPA 1 SMA Khadijah