AMERTA ; Lara Yang Usai Seketika
Oleh: Nadya Putri
Suara rintik hujan menemaniku untuk malam ini, menjadi pengecoh kebisingan yang disebabkan oleh pertengkaran kedua orang tuaku. Suara penuh amarah itu seolah menjadi alunan musik pengantar tidur menuju mimpi buruk yang nyata.
Lidah ini kelu untuk berucap, air mata sudah habis terkuras sejak lama, sedangkan bibir ini memilih untuk tersenyum sepanjang waktu. terkadang aku merasa lelah karena telah membohongi diri sendiri untuk waktu yang cukup lama. Lelah untuk terlihat baik baik saja, dan lelah untuk menjadi manusia seperti yang mereka inginkan.
Suara ketukan pintu kamar memecah lamunanku, membuatku bangkit dari posisi tidur untuk membukakan pintu. Dan seseorang yang paling aku sayangi berada di hadapanku saat ini. Itu adalah bunda, sosok paling kuat dengan 1000 kebohongan di matanya.
Setelah melewati malam yang terasa panjang, aku kembali melakukan aktivitas seperti pelajar lainnya di pagi hari. Memakan sarapan yang terasa hambar di mulutku. Tidak ada suara pemecah keheningan untuk pagi ini, semuanya tetap saja terasa memuakkan.
Aku mencium tangan bunda dan berangkat menuju ke sekolah dengan ojek online yang sudah aku pesan. Udara pagi memang penenang terbaik dikala aku merasa sedih, dan aku juga suka hujan.
Ah tidak, pelajaran pertama pagi ini adalah fisika, dan aku benci ini. Seolah belum cukup, hal hal buruk kembali datang kepadaku. Salah satunya adalah kakak kelas menyebalkan yang sedang mengusikku sekarang.
“OH, INI ADKEL YANG NGGAK SOPAN ITU?!” ucap seorang gadis berambut pirang dengan penuh nada tinggi. Aku tau ucapan ini ditujukan untukku.
“Dih, sok nggak kedengeran,” Temannya ikut menyahuti dengan posisi berkacak pinggang, tepat berada di belakangku.
Aku menyaksikan perlakuan buruk itu melalui kaca yang berada dihadapanku. Ini semua terasa seperti drama kehidupan yang sangat sangat sangat menjengkelkan.
“Bahkan untuk berkaca di pagi hari rasanya susah sekali ya,” gumamku meratapi hal hal buruk pagi ini.
Aku berbalik badan, menatap empat perempuan menyebalkan ini. Belum sempat aku berucap untuk bertanya kesalahan apa yang telah aku perbuat hingga membuat mereka bersikap menyebalkan di pagi yang cerah ini, aku merasakan siraman air tepat di wajahku.
Lagi lagi aku menghela nafas jengah, jengah dengan hal hal konyol yang dilakukan oleh manusia.
Aku menunduk, menahan amarah yang terasa sesak di dada. Mencoba untuk tidak melakukan hal bodoh yang akan merugikan diriku nantinya. Tapi tanpa disangka, aku justru tertawa dengan lantang, membuat segerombolan perempuan dihadapanku menunjukkan raut wajah panik ketakutan. Aku tertawa sambil menangis sekarang, dan mulai berteriak layaknya orang kesetanan.
Aku memang membenci pelajaran fisika, tapi bukan berarti harus berakhir berada di ruang BK untuk melewatkan pelajaran yang tidak aku senangi.
Seorang guru perempuan berjalan ke arahku dengan membawa segelas teh hangat, aku rasa itu untukku.
“Diminum dulu nak teh nya,”
Aku menerima teh itu dengan senyuman hangat, kali ini senyuman tulus yang tidak dibuat buat.
“Kamu nggak papa nak? Ada masalah kah di sekolah?” ujar guru itu bertanya dengan nada khawatir.
“Saya nggak papa bu,”
“Kamu bukan pembohong yang baik nak. Cerita sama ibu ya kalau kamu sanggup, ibu nggak sanggup kalau lihat murid ibu seperti ini,”
Aku meremas kuat gelas teh hangat yang aku pegang saat ini, menyalurkan semua rasa gelisah yang aku pendam sejak lama. Serta menyalurkan rasa teramat lelah yang paling dalam dari diriku.
Alih alih bercerita, aku justru kembali menangis dengan lirih.
“Saya mungkin tidak bisa cerita semuanya bu, tapi inti dari segalanya adalah saya lelah dan muak dengan banyak hal di kehidupan ini… Saya lelah dan menyerah,”
Guru itu menarik tanganku dengan lembut, menyibak lengan panjang bajuku dan menampilkan goresan penuh kesedihan di lenganku dengan simbol titik koma di sampingnya. Guru itu menangis sambil memegang tanganku, membuatku bingung harus bersikap seperti apa dan bagaimana untuk menghadapinya.
“Nak, terimakasih ya sudah bertahan untuk waktu yang cukup lama. Kamu lelah dan ibu tau itu, tapi untuk menyerah, jangan ya nak… Kamu punya ibu disini untuk dijadikan teman bercerita… Kamu punya ibu disini untuk berkeluh kesah, dan kamu punya ibu disini untuk dijadikan teman di saat saat sulit. Tangan ini terlalu indah untuk kamu jadikan pelampiasan luka akibat hal-hal kejam di dunia, tubuh ini terlalu ringkih untuk kamu jadikan pelampiasan amarah, dan kamu itu indah di mata orang yang sayang dengan kamu. Jadi, jangan lakukan hal ini lagi ya?”
“Dan tolong bertahan sedikit lagi…” lanjut guru itu berucap dengan suara gemetar menahan tangis.
Air mataku sudah tidak terbendung sejak tadi, mengalir deras tanpa aku tahan sedikitpun.
Akhirnya, akhirnya untuk waktu yang cukup lama setidaknya aku berhasil menyalurkan perasaan ini. Setidaknya aku lega sekarang…
Bel pulang sekolah berbunyi, ojek yang aku pesan 10 menit yang lalu ternyata sudah sampai di parkiran sekolah. Entah dorongan darimana, aku dengan tiba tiba memeluk satu satunya sahabat yang aku miliki di sekolah. Memeluknya cukup lama hingga membuatnya merasa kesal.
“IH PELUK PELUK,” ujarnya protes dan aku hanya tertawa sebagai balasan.
“Aku pulang duluan ya, kamu hati hati. Makasih ya udah mau jadi sahabatku selama ini,”
Aku melihat sahabatku mengernyit bingung, mungkin heran dengan sikapku yang terlihat tidak seperti biasanya.
Aku menaiki ojek yang aku pesan dengan perasaan lega, dan juga senang. Selama di perjalanan, aku menggumamkan lirik lagu ‘This Is Me Trying’ milik Taylor swift yang sedang aku dengarkan melalui earphone yang aku pakai.
“I just wanted you to know
That this is me trying
I just wanted you to know
That this is me trying
At least I’m trying”
Tidak lama setelahnya, aku mendengar suara klakson mobil yang sangat lantang dibelakangku, dan mobil itu menuju ke arah ojek yang aku tumpangi saat ini dengan kecepatan tinggi. Hingga aku merasakan tubuhku melayang begitu saja, menghujam aspal dengan begitu kerasnya.
Aku amerta di hati orang yang memang sayang kepadaku sejak lama. Aku amerta di hati bunda, sahabatku, dan juga ibu guru yang telah mendengarkan ceritaku untuk terakhir kalinya. Dan pelukan terakhir itu adalah salam perpisahanku yang paling indah...
Amerta; abadi.