Oleh: Penyair Amatir
Beberapa waktu lalu dua perempuan memanggil saya dari lantai satu sekolah tercinta. Otomatis dong jika namamu dipanggil, tidak mungkin pura-pura tidak dengar. Sebagai orang “baik” saya mengeluarkan jurus lewat lambaian tangan.
Jurus itu maksud saya begini jika diartikan.
“Halo juga. Siapa ya di sana. Saya tidak bisa mendeteksi wajahmu looo?”
Di rezim masker ini, semakin menyulitkan untuk mengenali wajah orang. Tipikal saya begitu. Saya lebih mudah mengenali wajah ketimbang nama. Jadi pernah saya ngobrol panjang kali lebar dengan seseorang yang saya kenal, tetapi lupa namanya siapa.
Nah, kembali ke masalah jurus lambaian tangan itu. Seketika juga, saya memilih untuk masuk ruangan seni. Sembari berharap dua perempuan yang memanggil saya itu tidak menemui saya.
Kadang memang apa yang kita harapkan tidak melulu bisa kita nikmati. Seperti halnya beberapa lomba di SMA Awards tahun ini. Banyak talenta anak-anak yang saya pikir bisa mendapat satu tempat di malam penghargaan. Tetapi justru kenyataan lain yang didapat.
Misal lainnya nih. Nilaimu semester ini tidak sesuai harapan dan impian orang tuamu. Ya bagaimanapun kan sudah terjadi. Jika kamu bersedih, itu menandakan ada tanggung jawab dalam dirimu. Tetapi seperlunya saja bersedih itu. Ambil momentum untuk berbenah.
Walau tidak menyenangkan, tetapi harus diterima dengan lapang. Setidaknya harapan untuk menjadi yang terbaik tetap terpelihara. Sebagai semacam penyemangat sekaligus penguat di waktu yang akan datang.
Tentang harapan, saya menyukai pernyataan Giri Suprapdiono (eks KPK yang telah dipecat itu) dalam tulisannya di Jawa Pos. “Kita bisa puasa makan dan minum, tapi kita tidak bisa hidup tanpa harapan.”
Kembali ke laptop!
Akhirnya, dua perempuan yang saya ceritakan menemukan saya meringkuk di ruang seni. Saya sedang membaca novel Murakami ketika itu. Terkejut pastinya mendengar keributan yang mereka timbulkan.
“Jahat ini Bapaknya. Disapa malah kabur dan sembunyi”
Saya langsung tertawa. Menanyakan kabar dua perempuan di depan saya itu.
“Memang saya siapa Pak?”
“Masya Allah, wali kelasmu parah-parah. Lupa sama anaknya sendiri”
Begitulah kira-kira serangan siang itu. Saya hanya tertawa dan sekuat tenaga mengenali siapa mereka. Kemudian menanyakan hal-hal umum.
“Ih. Bapaknya lho aneh banget. Biasanya ndak baik begini. Ini pasti lupa dengan “awak dewe”. Padahal dulu jahatnya minta ampun. Ndak jelas juga. Ditanya ini jawabnya itu”
Kami tertawa terbahak-bahak. Obrolan mengalir begitu saja.
Akhirnya saya ingat beberapa hal. Satu anak saya dari klan Famsco. Namanya Sara Iriana. Yang rapornya belum diambil-ambil itu.
“Payah Bapaknya” ujar satu siswa yang namanya masih tidak saya ingat.
“Saya tahu. Kamu anak IPS. Anaknya Pak Galuh. Temannya Sugeng.”
Selanjutnya obrolan mengalir tanpa tujuan. Hingga di ujung perjumpaan dia memberi tahu namanya. Itupun setelah saya ancam paksa.
“Ida Bapak. Yang sering menjahili Bapak sama Dewanti itu lho. Puas!!”
“Dewanti yang suaranya seperti petir itu?”
“Lho sama Dewanti ingat…”
Ya begitulah. Kami merayakan pertemuan tak terduga itu dengan gembira. Maksudnya, saya yang gembira.
(Semoga dua anak saya yang masih ingat dengan gurunya ini juga gembira. Diberikan kemudahan dalam menuntut ilmu. Rajin menabung dan tetap rajin mengaji. Amiin.)
12/12/2021
| Pemerhati media sosial yang suka menulis puisi
Gambar: https://pixabay.com/images/id-5178095/