Pulang

Belajar dari Kisah Maryam

Oleh: Penyair Amatir

Entah apa yang merasuki saya, tiba-tiba saja saya seperti perlu melihat serial yang judulnya AlRawabi School for Girls (ASG). Di Netflix. Film yang berasal dari Jordania ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya “berhasil” saya tamatkan. Pencapaian yang perlu dirayakan dengan secangkir puisi. Heuehu.

Apa yang menarik dari serial enam episode ini?

Kali pertama, saya menempatkan diri sebagai seorang yang dekat dengan lingkungan sekolah. Sebelum menjadi pengajar, saya lebih dulu berposes menjadi siswa. Sehingga saya punya bekal untuk melahap konflik yang biasanya terjadi di lingkungan sekolah.

AlRawabi merupakan boarding school yang menjunjung etika. Kita bisa mencerna itu dari jingle yang dinyanyikan siswa di adegan pembuka. Mereka menyanyikan dengan semangat sebelum mengawali aktivitas pembelajaran.

Tetapi tentu saja bukan drama namanya jika pada kenyataannya, tindakan siswinya sejalan dengan citra di jinglenya.

Apakah konflik yang dimunculkan di serial ini?

Perundungan, ya itulah komplikasi yang menjadi isu besar dalam serial ini. Kalau kita bedah perundungan (bullying), akan nampak fakta berikut.

Akan selalu ada dua pihak yang berseteru. Pihak pertama yang “menindas”, pihak lawannya yang “ditindas”. Tentu saja motifnya banyak hal, tetapi umumnya berlaku hukum ~siapa yang memiliki kuasa berlebihan, cenderung melakukan penindasan.

Atas dasar apa penindasan di serial ASG?

Maryam, merupakan korban penindasan yang dilakukan Layan dan gengnya. Karakter Maryam, seorang siswi lembut yang berprestasi dan sangat mencintai buku.

Layan, tokoh antagonis yang berasal dari keluarga sangat terpandang. Sekaligus penyumbang dana terbesar sekolahnya. Sehingga, perbuatan negatifnya selalu mendapat perlakuan khusus dari kepala sekolah.

Perundungan yang diterima Maryam pada mulanya diterimanya sebagai sesuatu hal yang wajar. Ia memilih menghindar atau tidak mencari masalah yang lebih besar jika ia menyoalnya.

Tetapi ketika sudah sampai pada puncak dan mengancam masa depannya, bahkan karena itu ia diskors oleh pihak sekolah dengan pemutarbalikan fakta yang sempurna oleh penindas, Maryam melawan.

Setelah melewati masa sulit dalam hidupnya, dimusuhi keluarga sendiri dan lingkungan sekolah, ia memutuskan untuk tetap melanjutkan sekolah di AlRawabi. Apalagi kalau bukan balas dendam.

Dari karakter yang lemah lembut menjadi pribadi yang dipenuhi dendam kesumat. Maryam melawan dengan tenaga kebencian yang akut. Hingga titik darah penghabisan.

Saya pikir dalam beberapa hal, film ini memberikan gambaran kepada kita bahwa perundungan (bullying) merupakan sebuah tindakan niretika. Yang dampaknya tidak hanya luka fisik, tetapi juga menyerang mental. Bahkan mampu mengubah perilaku korban.

Satu hal penting lainnya yakni pentingnya keberanian mengungkap segala bentuk penindasan. Siapapun kamu, jika melihat perundungan nyata di depanmu, bertindaklah. Bersuaralah yang lantang. Jangan diam dan masa bodoh. Demikian salah satu ceramah teman saya terkait perundungan. Saya setuju.

Bagaimanakah sikap teman-teman Maryam? Atas dasar kalkulasi untuk keselamatan diri, mereka diam saja. Sehingga Maryam menjadi bulan-bulanan penilaian buruk pihak sekolah dan keluarganya ketika fakta diputarbalik pelaku. Sementara itu pihak sekolah juga oleh karena alasan ini itu, cenderung menutup mata.

Lalu apakabar pendidikan di negara tercinta? Apakah gambaran penindasan semacam AGS yang berlatar budaya Jordania juga terjadi di negara kita yang kita cintai ini?

Meminjam larik lagunya Ebiet, tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.

Sidoarjo, 27/8/21
~ Menghirup kebisingan di pinggiran kota

*Gambar oleh el-shai.com

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *