Cerpen

Dia dan Jiwanya

Oleh: Penyair Amatir

Beberapa waktu lalu, seorang perempuan menemui saya. Katanya, hanya saya yang mampu menyelamatkan jiwanya. Tentu saya berusaha untuk memahami apa yang dia katakan.

Namun sampai perempuan itu menghilang dari wajah saya, tak ada titik terang yang menerangi kepala. Perempuan itu mengaku bernama Melinda. Entah memang namanya Melinda atau bukan, juga masih menjadi pertanyaan menggantung.

“Bagaimana kamu bisa mengenal saya?”

Melinda atau namanya siapalah dia, menjawab pertanyaan saya dengan berbelit-belit. Ia malah mengutip beberapa puisi saya. Tentu kaget. Bagaimana dia bisa menghafal puisi itu. Bahkan saya sendiri tak pernah hafal dengan puisi yang saya tulis.

Jika saya simpulkan, Meilinda tak mau menjawab pertanyaan saya dengan gamblang. Ia hanya membicarakan puisi saya. Lalu mengomentari tentang betapa pilihan kata dalam puisi yang di hafal itu sangat menyentuh jiwanya.

“Apa yang bisa saya lakukan untuk menyelamatkan jiwamu?”

Perempuan itu berpikir cukup lama. Saya menunggu dengan perasaan tak menentu. Sedikitpun saya tak bisa menebak arah dari jawabannya.

Melinda atau siapalah nama asli perempuan itu, menyatakan jika jiwanya bukan miliknya. Ia menambahkan, bahwa ada yang asing dalam dirinya. Ia menduga bahwa ada yang salah dengan jiwanya. Sampai kemudian dia yakin bahwa jiwanya telah tertukar.

“Lalu hubungannya dengan pertolongan yang kamu butuhkan dari saya?”

Melinda memandang wajah saya. Saya jengah juga dipandangi perempuan. Apalagi ini tidak saya kenal. Maka saya membuang pandangan. Saya berpikir perempuan di depan saya itu tengah mencari sesuatu dalam diri saya. Apa itu, saya jiga tidak tahu.

Perempuan itu lalu mengatakan dengan tekanan yang berat, bahwa jiwa saya ini sebenarnya adalah jiwanya. Saya terperangah. Apakah perempuan di hadapan saya ini sakit jiwa? Itulah pertanyaan yang langsung menancap di kepala saya.

“Jika begitu, apa selanjut?”

Kali ini Melinda dengan cepat menjawab pertanyaannya saya. Ia ingin meminta jiwanya. Caranya ia sendiri tidak tahu. Ia berjanji akan segera memberi tahu secepatnya.

Perempuan itu langsung ngeloyor pergi. Tanpa sedikitpun meminta pendapat saya tentang hal-hal bodoh yang dia katakan.

Segera saya melupakan peristiwa itu. Saya menjalani hidup seperti biasa. Menyelesaikan tugas bertumpuk-tumpuk dari kantor. Menulis beberapa puisi tentang senja. Berkenalan dengan beberapa temannya teman yang membuat hidup saya bertambah rumit. Dan banyak lagi yang tidak pantas saya ceritakan.


Seminggu ini, aku merasa jiwa yang kumiliki bukan jiwaku. Maksudnya, jiwa yang kukenal selama ini. Aku tidak tahu bagaimana menceritakannya dengan tepat kepadamu.

Sebuah pesan yang mau tidak mau membuat saya mengingat Melinda. Saya tidak menanggapinya. Tetapi orang yang entah siapa itu terus mengabari saya lewat WA. Foto profilnya seekor babi di tengah persawahan. Tidak jelas juga apakah foto itu merupakan foto yang diambil di internet atau hasil jepretannya.

Saya penasaran. Mungkin orang itu memang menginginkan demikian. Saya telfon. Berharap itu memang Melinda. Atau siapapun yang memiliki identitas. Tapi, beberapa kali saya menelpon tak pernah diangkat.

Orang itu (jika memang orang) bilang ingin bertemu dengan saya. Makanya ia tidak mau menerima telpon saya. Alasan tersebut memang terkesan mengada-ada dan tidak masuk akal. Karena saya penasaran, akhirnya saya ajak dia ketemu. Dan sialnya, dia menyanggupinya.

Sebagai persiapan, saya membaca banyak hal terkait jiwa. Menyusun banyak pertanyaan. Cukup orang bernama Melinda yang telah meninggalkan lubang pada hidup saya. Bahkan, saya sempatkan diskusi dengan teman saya yang mengajar psikologi di sebuah kampus.

Apakah bisa jiwa tertukar?

Pertanyaan itu merupakan dasar dari kebingungan saya. Teman saya yang dosen itu mengatakan secara abu-abu. Bisa sekaligus tidak bisa. Ia menjelaskan dengan panjang lebar. Tapi menjadi bertele-tele di telinga saya. Membuat saya pura-pura paham. Kasihan teman saya jika saya jujur mengatakan bahwa saya tak sedikitpun mengerti yang dia bicarakan.

Saya meluncur ke tujuan sore itu. Cuacanya tidak begitu bagus. Sejam yang lalu hujan lebat dan disertai turunnya es. Sebuah fenomena alam yang kemudian menjadi perbincangan di media sosial.

Ketika tiba di parkiran kafe itu, tempat ini orang itu yang menentukan, saya dilanda keraguan nan hebat. Apakah keputusan saya menemui orang itu sudah tepat atau belum. Atau jangan-jangan ini menjadi semacam operandi untuk menjatuhkan saya. Walaupun dari sisi manapun, orang semacam saya tidak memenuhi kriteria untuk dijegal.

Saya turun dari mobil. Dengan canggung melangkah menuju pintu. Sementara itu pikiran-pikiran saya menjadi tak menentu. Dengan beberapa pertimbangan saya memutuskan berbalik menuju mobil. Sebuah suara dari arah belakang membuat kaki saya berhenti seketika. Kecemasan menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh. Terjadilah apa yang harus terjadi, demikian saya memberikan energi pada tubuh saya ketika berbalik menatap sumber suara.

Mengasingkan diri
22/2/22

~Penulis merupakan pengajar di SMAKH

Source: pinterest

1,252 total views, 2 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *