Opini

Tilik Lasem

Oleh: Bang Irsyad

Malam itu (24/5) sekitar pukul 22.30, kami (aku, ayah, om, dan sopir) melakukan perjalanan religi. Perjalanan tersebut adalah perjalanan yang aku inginkan setelah hampir dua tahun tidak mengunjungi tempat itu. Lasem adalah wisata yang terindah bagiku, meskipun hanya sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang banyak sekali kenangan di setiap generasinya. Sejak mbah kung yang pertama kali mengukirkan cerita sejak tahun 1950-an di Lasem dengan menutut ilmu dengan metode mondok inilah cerita pun berawal, bahkan sudah generasi cucu.

Ini adalah perjalanan ketiga ku menuju Lasem. Rasa kangenku kepada tempat itu tidak bisa terbendung bahkan lebih kangen daripada sosok perempuan yang pernah aku sukai.

Alasan kami sepakat melakukan perjalanan malam dikarenakan itu sebuah tradisi yang sudah dilakukan sejak mbah kung masih hidup hingga saat ini. Perjalanan dimulai di Gresik terlebih dahulu, dikarenakan harus menjemput om. Dalam perjalanan yang kupikirkan hanya dua saja yaitu ziarah ke kyai Lasem termasuk gurunya Mbah Kung dan ikut ngaji subuh di pondok An-Nur, salah satu pondok dimana Mbah Kung pernah menimba ilmu disitu.

Mungkin aku tidak ada kenangan atau cerita selama perjalanan karena saat itu aku tidur hehehe. Meskipun begitu, ada satu keunikan yang sejak awal pertama kali ke Lasem sampai saat ini. Disaat 2 km menuju salah satu pondok yang terkenal dengan kyainya yang tawadhu dan alim yaitu pondok Al-Anwar Sarang, pondok dari Alm. KH. Maimun Zubair. Pasti dengan sendirinya aku terbangun, seakan-akan sudah disambut oleh daerah sarang, bahkan jika aku melewati daerah tersebut pasti aku merasa sedih karena teringat dengan Mbah moen atau KH. Maimoen. Itulah yang membuat beda jika melakukan perjalanan jauh di daerah manapun.

Mungkin selama 50 menit perjalanan dari Sarang ke Lasem pasti hati terasa tenang, tidak tau apa yang terjadi mungkin daerah tersebut memiliki energi positif yang membuat terasa beda. Bahkan tidak terasa selama perjalanan tersebut aku sudah tiba ditempat yang menjadi pusat ikonik dari Lasem yaitu masjid Jami’ Lasem dan alun alun.

Tepat pada hari kamis jam 02.10 pagi tiba di masjid jami’ Lasem. Keluar dari mobil aku hirup udara pagi sambil mengenang kenangan Lasem dari sebelumnya. Kulihat sekitar Lasem ternyata sudah berubah yang sebelumnya alun-alun masih proses rekonstruksi sekarang sudah lebih baik bahkan lebih indah. Masjid Jami’ Lasem bahkan terlihat indah jika malam hari. Sambil mengucapkan ya Allah Lasem yang terkenal dengan ulama sekarang sudah lebih baik tempatnya bahkan sudah dilihat pemerintah.

Kemudian aku pun berkeliling disekitar alun-alun dan daerah setempat meskipun udaranya saat itu dingin tidak membuat rasa rinduku yang terlalu dingin menjadi sebuah kehangatan, sambil keliling inilah aku tidak lupa mengabadikan momen dengan beberapa spot foto. Setelah berkeliling sekitar 30 menit, kemudian aku menuju sebuah warung yang menjadi tempat singgah keluargaku sambil menunggu waktu subuh.

Sambil menunggu waktu subuh, kami semua sedang mengobrol bersama membahas keadaan Lasem saat ini, bahkan om ku cerita bahwa saat mbah kung masih hidup pasti sering ke Lasem untuk silaturahmi ke kyainya selama mondok di Lasem. Di sela-sela obrolan tersebut kami juga tidak lupa pesan minuman hangat sekaligus jajanan ringan untuk mengganjal perut. Seperti biasa aku pesan minuman favorit ku yaitu jahe susu. Mengapa tidak kopi, karena aku tidak seberapa suka kopi atau bisa dikatakan aku minum disaat kurang mood saja.

Bahkan tak terasa obrolan panjang kami sampai di waktu adzan subuh, lantas kami bersih diri dan shalat subuh berjamaah di masjid Jami’ Lasem. Setelah shalat pun aku merasa sedih dan senang bisa shalat di masjid ini, karena ini adalah anugerah yang luar biasa, masjid yang dulunya sebagai tempat berkumpulnya puluhan kyai untuk acara haul Lasem, energi positif yang berupa barokah seakan bisa dirasakan.

Seperti sebelumnya setelah shalat aku pun langsung ziarah ke makam guru-gurunya mbah kung yang berada sebelah di masjid. Di makam itupun seperti biasa ku lantunkan doa-doa khusus yang pernah diajarkan oleh kyai ku, disela-sela doa tersebut aku menangis seakan-akan kyai tersebut hadir di ruangan makam tersebut. Meskipun belum pernah berjumpa hati terasa ingin sekali berjumpa kepada kyai tersebut. Tidak lupa juga aku pun ziarah ke makam KH. Mansur Kholil, makam seorang kyai alim, ayah dari Gus Qoyyum, kyai yang akan kami datangi setelah ziarah.

Setelah ziarah pun kami menuju warung yang tidak jauh dari masjid Jami’ untuk minum hangat sebelum kami berangkat menuju rumah dan pondok Gus Qoyyum. Disela minum aku ngobrol dengan om ku. “Om gimana kok ikut ngaji ke Gus Qoyyum aku pingin melok”. Om ku pun sempat berpikir terlebih dahulu, karena dia dengan sopirnya pernah ke Lasem dan ikut pengajian Gus Qoyyum, beliau tiba-tiba dipanggil oleh Gus Qoyyum saat ngaji dan seketika itu om ku sungkan dengan para jamaah, tapi akhirnya om ku mau untuk ikut ngaji subuh asal mendengarkan dari jauh.

Langsung saja kami pun berangkat untuk mengikuti pengajian Gus Qoyyum. Saat itu aku pun mendengarkan secara jauh, akan tetapi masih terdengar suara beliau.

Beliau saat ngaji menceritakan bahwa banyak sekali ulama dulu, khususnya ulama Indonesia menuntut ilmu sambil kerja. Bahkan ada seorang ulama yang dulunya saat mondok tidak punya apa-apa, tetapi pulang dari pondok beliau jadi kyai besar dan kaya raya bahkan punya usaha ditempat ia tinggal. Beliau juga cerita bahwa gurunya mbahnya beliau Mbah kyai Kholil saat mondok di syekh Mahfudz Tremas juga menuntut ilmu sambil dagang, bahkan saat boyong pun jadi santri yang kaya secara duniawi dan ilmu. Jadi intinya beliau menceritakan bagaimana ulama dulu tetap kerja tapi juga menuntut ilmu bahkan itu dibolehkan.

Beliau juga menceritakan bahwa ulama dulu terkenal keras dalam menentukan hukum, kenapa bisa begitu? karena ulama dulu hati-hati dalam makanan yang dimana tidak sembarang makanan masuk, tidak seperti kebanyakan orang sekarang. Oleh sebab itu beliau dawuh agar selalu menjaga makanan kita, karena dapat mempengaruhi kita dalam melakukan kebaikan.

Mungkin selama 30 menit ikut pengajian beliau tidak terasa sudah berakhir. Aku, ayah, dan om ku pun segera menuju rumah beliau yang tidak jauh dari pondoknya. Kemudian tidak ada 2 menit beliau pun sudah sampai dengan dibonceng oleh santri beliau, kemudian beliau dawuh “saking Manyar, keluarga haji Pi’i”. Kemudian omku bilang “nggeh Gus” langsung Gus Qoyyum pun menyuruh kami untuk masuk, seketika itu kami menunggu beliau diruang tamunya. Kemudian Gus Qoyyum pun mengajak kami ngobrol mengenai keadaan pondok yang terjadi di Jawa Timur.

Beliau menceritakan bahwa saat ini pondok yang berada di Jawa Timur sedang banyak masalah mengenai tongkat estafet kepemimpinan pondok. Dalam ceritanya beliau memberikan contoh salah pondok yang terkenal bahkan jadi rujukan pondok yang ada di Jawa timur disaat kyainya wafat dan kepemimpinan pondok pun berubah, sempat terjadi konflik mengenai pondok tersebut. Bahkan Gus Qoyyum bilang untuk pemilihannya saja sudah seperti pemilu yang sebentar lagi kita lakukan. Meskipun begitu tetap pondok tersebut masih melakukan musyawarah keluarga yang dimana hasil pemilihan pemangku pondok pun bisa berjalan dengan lancar.

Dari ceritanya beliau berpesan, apa yang kita lakukan saat ini bisa jadi ada campur tangan Mbah kita. Yang saya ingat dari dawuh beliau,

“kalau mbah²nya sae pasti anak turunnya juga sae, kok mbahnya ahli shodaqoh pasti ahli turunnya juga ahli shodaqoh, kok mbahnya wirai insyaallah anak turunnya juga wirai”

dari inilah Gus Qoyyum mengajarkan jika kita ingin mempunyai keturunan yang baik maka kita lah yang harus memulai dalam melakukan kebaikan meskipun itu kecil, juga jika kita bisa melakukan kebaikan yang orang belum tentu bisa jadi mbah-mbah kita pernah melakukan tersebut.

Setelah itu kami pun akhirnya berpamitan untuk pulang. Sebelum aku berpamitan aku sedikit bicara pada Gus Qoyyum untuk minta doanya agar dimudahkan saat kuliah. Beliau pun bertanya “sakniki kuliah Ten pundi” aku pun menjawab “Ten UNESA kyai” kemudian beliau bertanya lagi UNESA Niki riyen namine IKIP” aku pun menjawab “nggeh yai” kemudian beliau mendoakan ku sambil mengucapkan barokah 3x. Aku pun akhirnya salaman pada Gus Qoyyum dan berpamitan pulang.

Di akhir perjalanan inilah ada sekali ilmu yang diberikan meskipun hanya sejam dari ngaji subuh dan juga sowan ke rumah beliau. Meskipun begitu ada dawuh beliau yang menjadi catatan penting dalam hidupku dan juga mungkin buat orang lain

Dari pertemuan dan kunjungan ke Lasem inilah aku berharap semoga orang lain pun bisa berkunjung ke satu kecamatan ini. Karena Lasem inilah banyak ulama yang belajar disini, bahkan ulama yang terkenal di Jawa Timur pasti lahir dan belajar disana.

Lasem terimakasih banyak, semoga aku bisa berkunjung lagi dan Lasem selamanya ada dalam hatiku….

31/05/23
Ngelom | nunggu toko
*Penulis merupakan alumnus SMA Khadijah 2023 sekaligus penerima SNBP Unesa – Ekonomi Islam

Editor: Nailal Fariha

sumber gambar disini

461 total views, 1 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *