Oleh: Nailal Fariha
Tak ada satupun kata yang bisa keluar jika ditanya seperti halnya konten turcham—3 kata tentang Bali yang menjelaskan bagaimana rasanya 3 hari dalam perjalanan panjang dan penuh kegopohan. Tepat nya sehari selepas ujian akhir semester (sudah berganti menjadi ASAS alias Asesmen Sumatif Akhir Semester).
Aku harus bangun dengan jiwa yang belum sepenuhnya sadar, raga yang masih merasa remuk ga karuan sebab efek samping duduk berlama lama dan menunduk saat ujian, ditambah lagi dengan dinginnya pagi itu yang membuatku bermalas-malasan.
Bisa dibilang, semua perasaan berubah ketika di hari H keberangkatan. Awalnya aku adalah bagian orang yang terus menerus menghitung waktu, kapan dan kapan aku akan segera pulang. Kebetulan, aku adalah anak rantau dari pulau Dewata yang menjadi tujuan kami tahun ini (turun temurun sebenarnya).
Sudah jelas jam 06.00 menjadi jam 08.00 Waktu Indonesia Barat bagi para remaja jompo ini. Ditambah lagi keriweuhan harus membuat opening untuk konten turcham. Kami resmi menghabiskan waktu 17 jam dengan segala rupa jalanan yang dirasakan, ada yang mulus dengan pemandangan sawah dan pengunungan, ada yang geronjal dengan rumah rumah lawas penuh kehangatan, bahkan berbelok belok seperti dalam labirin mencari jalan keluar.
Dari perjalanan ini aku pun belajar untuk menerima keadaan dengan apapun situasinya. Yang paling membekas bagiku adalah drama mencari masjid ternyaman untuk sholat jama’ dan makan malam atau dinner yang bukan lagi terbilang malam tapi tengah malam menuju pagi hari.
Setelah melihat lampu jalanan yang sudah persatu redup, barulah terlihat letak hotel kami yang berada di pinggir jalan itu. Pukul 02.00 WITA dengan segala drama perhotelan yang baru selesai juga. Tak ada yang namanya istirahat tidur, sebab aku dan teman sekamar memutuskan untuk bercengkrama sambil berbagi life update istilahnya. Kangen, iya, inilah kata yang berhasil menerobos masuk dalam pikiran ketika mengingat momen ini.
Pagi hari selepas sarapan, fasvenje dan huru haranya harus segera meninggalkan hotel untuk destinasi pertama yang jujur saja sudah terprediksi akan membosankan. Tempatnya yang kecil dan harus berdesakan dengan teman teman, ditambah lagi suara pemandu nya yang tak terdengar jelas padahal aku berada di barisan depan, tak lupa bumbu panas dari matahari yang rasanya bersentuhan dengan kulit ini.
Cukup singkat sebab destinasi kedua sebenarnya masih satu naungan dengan tempat pertama ini. Setelah ± 1,5 jam tibalah kami dengan titik kumpul yang lebih padat lagi. Perbedaannya hanya karena parkir nya lebih luas, tapi sama saja harus berbagi dengan bus dari agenda perjalanan sekolah lain, sesak napas jika dibayangkan!
Kami melihat proses pembuatan pie susu yang jujur saja sangat amat singkat, padat, jelas. Selepas itu digiring seperti anak bebek masuk ke dalam bangunan untuk bertemu dengan owner perusahaan ini, Kadek Imawati dengan secercah perjalanan hidupnya.
Makan siang dan suara cuitan godaan dari pengunjung di bus seberang terbilang muak, aku ingin cepat pulang. Akhirnya, tibalah kami di tempat yang jauh sangat amat padat lagi. Iya, pantai Tanjung Benoa yang harusnya menjadi tempat menghirup udara ketenangan dengan suara deburan ombak yang tak begitu besar. Namun teman teman fasvenje nampak cukup terbayarkan dengan watersport yang disediakan (walaupun aku tak mencoba sama sekali).
Jika ditanya hal yang paling aku rindukan, Pentas Seni akan menjadi list nomor dua nya. Jujur tak menyangka jika tahun ini semua berantusias dan berhasil memberikan validasi akan kerja kerasnya mempersiapkan atraksi dan sebagainya di sela waktu ujian.
Kalau di kelas ku sendiri yang bernotabene 99% perempuan, kami lumayan kewalahan mengatur waktu dan mood untuk latihan (namanya juga perempuan). Intinya, semua keluh kesah selama latihan terbayarkan dengan penampilan yang mendapat pujian nomor dua terbaik di panggung kebahagiaan malam itu.
Sudah waktunya pulang ya teman teman, semua tentang Bali itu penuh kegopohan. Tak ada namanya tidur (bagi kamar 337) karena pagi harinya kami sudah harus check-out hotel untuk meratapi kenyataan bahwa hari terakhir itu adalah hari ini.
Cekit-cekit sengatan siang hari di Tanah Lot mungkin tak akan mau aku ulang lagi. Cukup sekali harus berpanas panasan untuk mengambil foto di pura suci. Tapi aku akui experience membasuh muka dan mabija (menempelkan biji beras di dahi) adalah bagian sakral dan terserunya.
Hampir 95% populasi fasvenje ini tercengang ketika berada di destinasi terakhir yang 360° berbalik dengan keadaan sebelumnya. Dingin dan sunyi memadu utuh atmosfer di siang menuju sore hari. Ulun Danu Beratan menjadi saksi perjalanan terakhir kami disini. Bagiku suasana sore itu tak seramai biasanya. Kami masih dapat merasakan ketenangan walaupun berdampingan dengan teriakan teman teman yang perlahan hilang karena mengitari danau yang luas itu (eksperimen speedboat).
Rasanya berat untuk berpisah sementara dengan teman teman dan selamanya dengan kenangan.
Iya, sebab aku tak kembali melanjutkan perjalanan ke Surabaya namun dijemput oleh keluarga yang sudah setengah tahun lamanya tak berjumpa.
Kembali dalam topik yang aku rindukan, inilah yang menjadi list nomor satunya. Bukan hanya perasaan diatas speedboat, terlepas dari itu, kesadaran bahwa ini juga menjadi akhir cerita dari fasvenje berkelana di tahun kedua di SMA punya rasa tersendiri.
Meskipun tahun depan (insyaAllah) masih ada kesempatan untuk Walisongo bersama, tapi aku rasa tak akan seseru perjalanan bercanda di akhir tahun 2023.
Untuk Fasvenje, terimakasih telah menyempatkan waktu dan semuanya untuk bisa berkunjung kesini ya. Senang bisa memiliki pengalaman pulang diantar dengan teman seangkatan, kapan lagi kan? Semoga sehat selalu agar dapat melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir kita nanti di kelas 12!
301223| di rumah, di tengah sarapan, di jalan
*Penulis merupakan siswa kelas XI 2 yang sedang menghitung waktu menuju perayaan tambah usia nya
867 total views, 6 views today