Cerpen

Terlahir Sebagai Perintis

Oleh: Putri Listya Rahani

Herlin dan Henza merupakan anak kembar. Mereka berdua serupa, seperti kloningan turunan dari mama.

Awalnya sih hidup di satu atap yang sama, tapi itu semua berakhir ketika ayah dan mama memutuskan untuk bercerai. Ini terjadi disaat mereka masih remaja, tepat di umur 13. Ucapan yang sangat keramat dan sangat dibenci semua anak itu terucap dari mulut mama yang tiba-tiba datang ke kamar di waktu Herlin sedang asik menonton drama.

“HERLIN, MULAI BESOK KAMU IKUT BAPAKMU! OM HENDRO ITU! JANGAN SEKALI KAU MUNCUL MINTA-MINTA KE AKU. HENZA ADIKMU IKUT MAMA. GAK USAH CARI DIA LAGI!!.”

BRAKKK. Pintu kamar terbanting keras, hingga kusen jendela bergetar. Herlin ikut gemetar. Bingung apa yang baru saja terjadi, dia masih belum mencernanya. Ada apa ini?

Ia ingin bertanya, dan menemui Henza di kamar sebelah. Belum saja sampai di ambang pintu, Herlin telah mendapati 2 koper berjejer di depan lemari. Dengan lemas Herlin bertanya, “Loh Hen, mau kemana? Ini sudah malam.”

“Mau ikut mama, katanya udah gak tahan lagi sama om.”

“Om?”

“Ya kan itu bapak tiri kita, aku disuruh panggil om sama mama, ahh sudah sana aku mau tidur!” Laki laki itu mengusir Herlin lalu menutup pintu.

Herlin memandang pintu yang telah tertutup itu sembari bengong, bulir air mata mulai menetes membasahi pipinya. Kenapa ini terjadi secara tiba tiba? 

Esok lusa setelah malam itu. Benar saja, mama langsung memutuskan surat perceraian ke pengadilan. Bapak dengan cepat dan segera menandatangani surat tanpa basa basi dan bersalaman dengan mama yang kini telah menjadi mantan istrinya. Setelah sidang berakhir, bapak langsung melengos pergi, bersikap acuh tak acuh pada mantan istrinya, mama pun bertindak sama. 

Mereka sah menjadi mantan suami istri. Herlin memilih menunggu di dalam mobil, peristiwa ini sudah kedua kalinya terjadi. Dia kehilangan satu persatu anggota keluarganya. Ayah kandungnya telah meninggal saat dia masih berumur 9 tahun. Dan tepat di hari ini, ia akan hilang kontak dengan ibu kandung dan saudara kembarnya. Perlahan cairan bening mulai melintasi pipinya. 

Bapak membawanya entah kemana. Hingga pada akhirnya, mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah. Merasa telah sampai ditujuan, Herlin bangun dan mengerjapkan matanya yang sedari tadi tertidur selama perjalanan. Bapak tidak mengucapkan sepatah kata pun, langsung mencopot seat belt dan membuka bagasi belakang. Dengan segera Herlin langsung beranjak dari duduknya ikut membantu menurunkan koper dan kardus, lalu memindahkannya ke dalam rumah.

Dua hari di rumah itu, ia masih bersama bapaknya. Namun tiba di hari ke tiga, bapak tidak pulang. Izinnya mau melamar pekerjaan jadi satpam. Tapi ini sudah hampir tiga hari Herlin tak berjumpa dengan pria tersebut. Panik bukan main. Gadis tersebut dengan segera mencari sosok pria yang ia sebut bapak itu. Dengan kalang kabut, dia mencari bapak layaknya duit yang tiba-tiba menghilang. 

Di sepanjang jalan, dengan mengelap peluh keringat yang mulai mengucur membasahi kerah seragam putihnya, Herlin menggerutu kenapa dia lebih memilih bapak dari pada mama? Bukannya surga dibawah telapak kaki ibu? Harusnya dia hidup bersama mama! Bukan, harusnya mama juga mengajak dirinya!

Herlin putus asa, hari kelima dalam pencarian bapak tirinya itu, Hendro, tidak mendapatkan titik terang sama sekali. Herlin sudah menanyakan kepada seluruh penjuru pedagang kaki lima di bibir jalan raya. Namun jawabannya sama, mereka tidak melihat bapak tirinya.

Kembali ke rumah kontrakan kecil itu, Herlin menghempaskan dirinya di atas kasur kapuk keras. Memandangi langit-langit kontrakan yang redup sembari merenungi hidupnya. Dia mulai teringat kepada keluarganya, terkhusus kembarannya yang beruntung itu.

Henza? Enak sekali anak itu. Mengingatnya, Herlin tidak menangis, ia hanya meratapi nasibnya yang berubah seperti ini. Kemanakah tujuannya setelah ini? Herlin sebenarnya sudah memutuskan ingin pergi ke rumah nenek dari ayah kandungnya. Sudah lama tak berjumpa karena tidak diperbolehkan mama. Tidak tau apa masalahnya, sebagai anak ia hanya menurut saja.

Letih usai mencari bapak tirinya dan ditambah pikirannya yang kemana-mana. Herlin memutuskan menutup matanya, tidur mengunjungi alam mimpi. Agar rasa lapar dan iri tak menghantuinya. 

Genap 1 bulan kini Om Hendro menghilang seperti ditelan bumi. Herlin mulai mengganti panggilannya disaat hari dimana ia ditinggalkan sendiri, tak sudi memanggilnya bapak lagi.

Herlin tinggal sementara di rumah nenek. Ia disambut baik olehnya. Nenek tinggal seorang diri, meskipun begitu beliau masih kuat bekerja sebagai pembuat tape tetel lalu menjualnya di pasar. Herlin tidak hanya diam melihat kondisi neneknya, ia harus membuat perubahan. Dia masih mempunyai gawai untuk mencari informasi. Masih mempunyai skill untuk dikembangkan. “Jangan sampai membuat nenek keberatan.”

Seiring berjalannya waktu, Herlin menemukan bidang yang sangat dia sukai, yakni desain grafis. Ketertarikannya ini muncul saat melihat-lihat daftar ekstrakurikuler di sekolah. Bermodal kreativitas dan kemauannya dalam belajar, Herlin terus berusaha. Bahkan dia mencari lomba desain untuk diikuti. Berbulan-bulan ia mempelajari bagaimana layout yang pas dan sesuai untuk tema yang diperintahkan, berulang kali revisi dan revisi, disamping itu dia juga tidak lupa untuk belajar dan membantu nenek. Herlin benar benar mengatur waktunya dengan baik. 

Selang dua minggu, pengumuman pemenang pun mulai disampaikan di akun medsos penyelenggara lomba. Herlin sudah harap-harap cemas, perlahan ia menggulir postingan itu. Dan… ADA, namanya tercantum sebagai lima besar dari lomba itu.

Herlin melangkah ke aula dengan rasa gugup, namun juga antusias. Setelah perjuangan panjang, akhirnya ia berhasil menjadi salah satu pemenang dalam lomba desain grafis. Ini adalah momen yang seharusnya membanggakan. Namun, suasana hatinya goyah ketika ia melihat Henza, saudara kembarnya, berdiri di sudut aula.

Henza masih tampak sama, persis tak berubah semenjak mereka berpisah. Setelah acara selesai, Herlin mengumpulkan keberanian untuk mendekati Henza. Kegugupan memenuhi dirinya, namun dia berharap bisa meredam jarak yang tercipta di antara mereka.

“Henza…” Herlin menyapa, suaranya penuh keraguan.

Henza menoleh perlahan, menatap Herlin dengan sinis. “Oh, jadi kamu benar-benar berhasil, ya? Hebat juga kamu sekarang,” katanya dengan nada mengejek.

“Terima kasih, aku masih mulai mencoba hal ini. Ngomong-ngomong udah lama kita nggak ketemu, gimana kabar mu dan mama?” ujar Herlin, mencoba membuka percakapan dengan hati-hati.

Henza menghela nafas, sejenak terlihat ingin mengatakan sesuatu yang tajam. Namun, dia hanya mendengus kecil. “Aku sibuk dengan hidupku, Lin. Kamu juga harusnya nggak usah repot-repot peduli sama hidupku dan mama lagi.” katanya, namun nadanya goyah, tak sekeras yang diharapkan.

Mereka berdiri di sana, di tengah-tengah keramaian aula. Namun keheningan yang hadir diantara mereka begitu berat, tak ada kata yang cukup untuk menyatukan kembali apa yang sudah hancur. Mereka adalah dua orang yang pernah begitu dekat, tapi kini terasa jauh.

“Aku sering memikirkan kamu, Hen… tapi semuanya sudah terlalu rumit. Hidup kita sudah terpisah jauh,” Herlin akhirnya berkata, suaranya bergetar. Henza terus menatap lantai marmer yang menunjukkan pantulan dirinya, “Dengar, Lin. Aku nggak butuh kamu lagi. Dan lebih baik kamu juga belajar buat nggak butuh aku.” Nafas Herlin tercekat, ia mencoba menahan air mata yang sudah muncul di pelupuk matanya.

“Mungkin ini takdir kita. Kamu punya jalanmu sendiri, aku juga punya jalanku” sambung Henza. Tak ada kata selamat tinggal, tak ada pelukan perpisahan. Mereka hanya berdiri, saling menatap untuk terakhir kalinya sebelum Henza berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Herlin di sana dengan piala di tangannya, mata yang berkaca-kaca, dan luka yang tertinggal di hati.

-Penulis merupakan seorang siswi kelas X yang aktif di ekstra Turcham Media

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *