Oleh: Zaqia Audrey Febriani
Sunyi malam menemaniku kala itu. Malam dimana 7 hari tepat Ayahku pergi. Tepat di malam itu aku masih terbaring lemah diatas ranjang rumah sakit. Aku tidak sendiri, aku ditemani surat yang selalu aku letakkan disebelah ranjangku. Itu surat terakhir dari Ayahku
Dulu semasa hidupnya, Ayah selalu mengatakan “Kau mirip sekali dengan Ibumu, Ayah merindukannya” Aku membenci perkataan itu, aku bahkan berfikir bahwa Ia sudah gila karena selalu menganggap bahwa aku adalah Almarhumah Ibu. Aku hanya ingin di lihat sebagaimananya diriku. Aku ini anaknya, bukan istrinya.
Dia memang baik. Sangat baik. Ayahku itu baik. Ia selalu mengantar jemputku saat sekolah, membuatkanku makanan, mmenemaniku belajar. Ayah memang bukan orang sibuk, ia sederhana sebagaimananya dia. Ia juga tak pernah menuntut apa-apa. Lalu mengapa aku sempat benci dengannya? Karena setiap Ia memberikan perhatiannya, Ia selalu mengatakan “Ayah ingin terus hidup agar bisa menjagamu seperti Ayah menjaga Ibumu dulu”. Lagi lagi Ia seolah menganggap aku ini mendiang Ibu.
Aku teringat pada hari dimana Aku berangkat sekolah tanpa Ayah. Ia mengatakan bahwa Ia ada urusan mendesak yang harus dibereskan. Raut wajahnya saat itu ketakutan. Tapi aku berusaha untuk berpikir positif. Aku berangkat dengan sepeda. Sepeda kesayangan pemberian Ayah. Di awal perjalanan semua sangat baik, bahkan aku sempat bersenandung sambil tersenyum di pagi itu. Kemudian satu tusukan berhasil menembus perutku. Aku kaget. Seketika aku terjatuh dari sepeda. Ku lihat darah segar mengalir dari perutku.
Saat itu aku tidak bisa berkata apa apa. Aku hanya diam melihat darah segar yang terus mengalir. Warga sekitar sedang mengerumuniku. Aku tidak dengar apa yang mereka katakan. Aku masih terbelenggu dengan apa yang terjadi pada saat itu.
Sirine ambulance terdengar nyaring. Mulai mendekat. Aku dibawa dengan ranjang pasien menuju ambulance. Tapi pandanganku tertuju dengan satu orang yang memperhatikanku dari jauh, Ia tersenyum serambi menatapku, aku tidak tahu arti tatapan tersebut. Setelah kufokuskan mataku, aku melihat bahwa Ia adalah Ayahku. Kemudian pengelihatanku memudar, dan aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu.
Aku kira aku tidak selamat, nyatanyaa aku masih hidup. Aku sadar dua hari setelah kejadian tersebut. Saat aku sadar dokter sudah ada disebelahku. Ia bilang bahwa aku tidak boleh banyak gerak karena takut jahitan pertuku sobek. Ia menitipkan surat, entah dari mana surat itu. Aku menanyakan dimana Ayahku, tetapi dokter tersebut tidak menjawab, Ia hanya menyodorkan sepucuk amplop, kemudian pergi.
Aku penasaran dengan isi amplop tersebut. Kubuka amplop tersebut, disana terdapat sepucuk surat.
“Dari siapa ini?” gumamku
Kemudian aku mulai membaca surat tersebut
“Hai putriku, bagaimana kabarmu? Ayah harap kamu sudah sadar. Surat ini Ayah tulis sehari sebelum kejadian itu. Maaf kalau selama ini Ayah belum bisa menjadi Ayah yang baik. Ayah tahu kamu merasa bahwa Ayah tidak pernah menganggapmu ada, tapi nyatanya tidak seperti itu. Kamu putri Ayah satu satunya. Rasa sayang Ayah itu besar untuk kamu, bukan sebagai Ibumu melainkan sebagai kamu, kamu anakku. Hari itu adalah senyuman terakhir yang Ayah persembahkan khusus untuk kamu. Hari itu adalah hari terakhir Ayahmu ini melihat Putrinya, setelah itu Ayah menjalankan tugas terakhir. Ayah menggantikan nyawamu. Agar kamu tetap hidup. Maaf kala itu Ayah tidak segera menyelamatkanmu. Mulai sekarang hiduplah dengan tenang. Simpan dalam-dalam senyuman terakhir dari Ayahmu ini. Sampai jumpa lagi Putriku”
Air mataku menetes tanpa aba-aba. Ayahku tiada. Ia dibunuh tepat pada saat aku tertusuk. Semuanya sudah direncakan, Ia merencanakan semuanya agar aku tetap hidup kala itu. Bagaimana bisa Ayah membiarkanku hidup sendiri? Bagaimana bisa Ia membohongiku? Ia mengatakan bahwa akan hidup selamanya.
Jikalau aku diberi kesempatan untuk melihatnya sekali lagi, akan kupastikan aku tersenyum lebar serambi memeluknya erat. Aku akan mengatakan bahwa aku menyayanginya. Tetapi kini semua sudah terlambat. Yang bisa kulakukan hanya menangis, menangis memeluk surat tersebut.
Penulis merupakan siswi di SMA Khadijah
Source: Pinterest