Oleh: Fatimah Zahra Hariyadi
“Koyo banyu mili saka sumber, kudu ngalir liwat kali lan jurang sadurunge tekan segara.”
Sebelum memulai tulisan ini, aku ketik prompt text di Chat GPT untuk memberi ide perumpamaan tentang menuntut ilmu di perantauan. Di antara puluhan opsi, itulah yang paling mak jleb di hati.
Walaupun aku lahir di Surabaya, sudah 12 tahun aku dan orang tua tinggal di Bojonegoro. Karena aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMA Khadijah Surabaya, mau tidak mau harus merantau sendiri.
Singkatnya, saat menduduki bangku kelas X dan XI, aku tinggal di pondok putri NU milik Yayasan Khadijah. Namun, di kelas XII ada banyak kegiatan yang mengharuskan untuk keluar dari pondok dan pindah ke sebuah kos. Disitulah petualangan kelas XII ku dimulai.
Setelah melalui semua dan melihat lagi ke belakang, sebenarnya kelas XII tidak seseram yang kubayangkan ketika aku masih kelas XI. Yaaa… ada benarnya juga sih stereotipe di luar sana.
Di kelas XII ini, dengan banyaknya hal yang harus dikorbankan, hanya ada satu tujuan utama, yaitu melanjutkan pendidikan di tempat impian.
Aku bisa sampai di titik ini juga setelah kehilangan beberapa hal. Keputusan keluar dari pondok dan tinggal sendiri di kos mengharuskanku hidup mandiri, menghadapi dan memutuskan berbagai hal sendiri. Sempat ditemani pacar di beberapa bulan awal nge-kos (namanya juga anak SMA, pasti udah kenal cinta-cintaan hehe). Seperti kisah cinta anak SMA pada umumnya, banyak pertengkaran terjadi. Aku pun memutuskan untuk menyudahi hubungan karena tidak ingin apapun mengganggu fokusku dalam tujuan jangka panjang.
Aku juga sempat khawatir namaku tidak bisa masuk daftar siswa eligible karena sempat cuti satu tahun untuk pertukaran pelajar. Setelah beberapa minggu melalui tahap-tahap konfirmasi dan memasukkan data-data penting, akhirnya nama Fatimah Zahra Hariyadi bisa bertengger di daftar siswa eligible.
Tidak sampai di situ saja, ternyata aku mendapatkan warna cinta, merah, dari pengumuman SNBP. Awalnya tidak terlalu sakit hati karena memang belum ada alumni SMA Khadijah di universitas yang aku tuju. Namun, saat melihat beberapa teman lain sudah upload instastory, jujur aku langsung nge-down. Bahkan aku sempat menghapus seluruh media sosial agar tidak terdistraksi.
Tidak ingin menyia-nyiakan waktu sedikitpun, sejak itu aku setiap hari masuk les (walaupun tidak ada jadwal, tetapi kalau di GO bisa masuk ke kelas lainnya). Di tahap ini, aku sempat tergoda dengan malas. Dalam kelas bimbel sudah agak sepi, semangat agak menurun, dan teman yang biasanya membersamaiku juga sudah tidak pernah terlihat.
Memang benar, tidak ada yang bertanggung jawab atas kesuksesan kita selain diri kita sendiri. Bahkan terkadang aku merasa sendiri secara harfiah. Aku merasa kurang disemangati oleh temanku, mungkin karena dia sibuk daftar ulang SNBP, mungkin dia sedang menikmati kemenangan, atau mungkin dia lupa (semoga bukan yang terakhir ya, terdengar melas wkwk). Walaupun rasa sedihnya jarang terasa karena harus belajar mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi, tapi rasa gagal move on selalu muncul sebelum memejamkan mata di malam hari.
Untuk tetap menjaga stamina semangat dalam diri sendiri, aku menjelajah setiap sudut kota Surabaya. Menikmati keindahan dan keberagamannya dari berbagai sisi. Aku mengunjungi berbagai perpustakaan, beberapa taman, dan cafe yang tidak bisa disebut satu-satu. Terbersit dalam pikiranku setiap kali mengunjungi tempat bagus, “Kenapa gak dari dulu aku kesini?” Setiap hari aku keluar dari kamar kos untuk mencari suasana baru dan fresh, dengan syarat di tempat destinasi dengan satu tujuan, yaitu belajar.
Bisa sebelum atau sesudah les, starterpack ku selama sebulan lebih yang tidak boleh dilupakan diantaranya buku-buku latihan soal dan catatan, alat tulis, dan earphone beserta tablet untuk melihat video penjelasan. Aku bisa berjam-jam di tempat tersebut, menikmati fokus di tengah lingkungan yang kondusif. Semua itu kulakukan sampai h-1 UTBK karena disarankan untuk istirahat dan menenangkan pikiran.
Jujur, perjalanan menuju UTBK ini menguras energi dan mental juga. Namun semua itu worth-it, apalagi jika terbayarkan dengan mantra “Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SNBT SNPMB 2025” di hari sakral pada tanggal 28 Mei. Alhamdulillah.
Memaknai peribahasa yang aku tulis di atas, air dari sumber harus mengalir melalui sungai hingga jurang sebelum sampai ke samudra, yang mana samudra adalah suatu tempat yang lebih luas dan memiliki lebih banyak wawasan, tetapi juga penuh dengan rintangan.
*Penulis novel Kepakan Sayap Lila sekaligus Penerima SNBT 2025 di FK Unej
source pict
90 total views, 3 views today