Opini

Bukan Bunglon

Oleh: Zhafira Hanina

Khadijah sangat berbeda dari yang kubayangkan. Maksudku itu tidak berarti buruk. Hanya berbeda saja. Aku merasakannya ketika memasuki ruang tes, ada atmosfer aneh yang dibarengi dengan tatapan heran yang merujuk ke arahku. Mungkin karena pakaianku –jubah dan jilbab syar’i, juga masker dan kaos kaki- yang sangat berbeda dengan anak lain yang memakai celana ketat dan jilbab sedada. Tapi aku cuek saja mengerjakan soal tes.

Dua pulau yang ratusan kilometer jaraknya, justru aneh jika hanya sama saja. Ditambah lagi dengan budaya Indonesia yang sangat beragam, salah satunya bahasa, yang membuatku kerap kali meminta lawan bicara mengulangi kaimatnya.

Atau hanya mengangguk sambil tersenyum, pura-pura mengerti padahal kalimatnya hanya berhenti di daun telinga. Terkadang beberapa guru juga memakai istilah jawa yang tidak kumengerti. Tidak terlalu penting memang, hanya saja ketika seluruh orang tertawa, aku hanya mengangkat alis tidak paham.

Di samping bahasa, orang-orang di sini sangat unik. Karakter mereka membuatku terkesan dan tidak jarang geleng-geleng kepala.

Sekitar 2 tahun yang lalu, aku naik ojol untuk kembali ke kos. Drivernya mengajak berbincang basa-basi, aku harus bergeser sedikit untuk bisa mendengar lebih baik. Beliau bertanya aku kuliah di mana, aku yang masih SMA dan sangat baru di kota ini tidak merasa nyaman berbagi informasi bahwa aku masih di bawah umur. Aku sebut saja salah satu universitas dekat kos.

“Ohh sudah penerimaan ya? Bukannya masih lama?” katanya, aku tertegun, tidak tahu menahu tentang dunia perkuliahan. Lalu ku jawab saja sekenanya. Ku bilang aku masuk jalur undangan. Pak driver itu hanya membalas dengan ”oohh” saja, seperti mengiyakan kebohonganku. Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk berterus terang saja.

Ketika demo ekskul, aku memborong semua ekskul kesukaanku, drama, padus, paskibra, dan juga OSIS. Lalu malamnya aku melihat instagram story turcham media buka pendaftaran, dan aku iseng ikut. H-4 diklat OSIS, aku diberi wejangan bahwa Turcham dan OSIS berjalan berbarengan tapi tidak bisa bersama, dan aku harus melepas salah satunya.

Aku merasa Turcham sedikit lebih keren, dan aku merasa lebih dekat dengan anggotanya, karena sudah beberapa kali rapat. Aku merelakan OSIS untuk sebuah keisengan. Tapi aku tidak menyesal, di Turcham aku belajar banyak hal. Terlebih ketika orang hanya duduk menikmati acara, kami berkeliling sambil memegang kamera.

Belum genap 1 semester, aku diminta untuk melayout majalah, dengan skill yang seadanya ini aku mengiyakan. Dan setelah itu aku jarang sekali melihat matahari ketika pulang. Anggota turcham bergiliran menemaniku ‘lembur’, kami juga diberi uang saku untuk makan malam. Juga ketika jam kosong di kelas, aku sering menyelinap ke ruang seni untuk melanjutkan pekerjaan. Mungkin aku menyukainya lebih dari pelajaran di kelas. Atau sekadar pelarian dari hectic-nya kehidupan sekolah.

Sore itu aku menuliskan jawaban latihan kimia yang harus dikumpulkan besok di papan tulis kelas, dan juga diskusi untuk jawaban yang belum jelas.

Aku meminta anak kelas untuk tidak memotret jawabannya, “kalo mau silahkan tulis, tapi jangan difoto” kataku tegas, sekarang aku merasa diriku menyebalkan sekali. Setelah selesai aku bergegas ke ruang seni, hari itu ada rapat, dan lagi kami pulang ketika bulan muncul.

Aku dikenal sebagai anak pintar, walaupun aku tidak merasa seperti itu karena aku sendiri bukan orang yang suka pelajaran sekolah, standar saja dan mengikuti arus.

Kadang juga dipusingkan dengan matematika, apalagi fisika. Tapi mungkin aura yang kubangun adalah anak yang aktif, sehingga aku termasuk anak yang menonjol di kelas. Aku masih ingat ketika guru fisikaku kecewa karena nilai ulanganku jelek. Aku hanya bisa meminta maaf karena aku sendiri tidak mengharapkan nilai tinggi dari hasil tidak belajar. Aku juga bagian dari tim berangkat pagi untuk mengerjakan pr, menyontek jawaban teman di kelas.

Sekali lagi, di samping perbedaan bahasa, tidak sulit untuk mengikuti arus. Manusia di mana-mana tetap sama. Suka barang bagus dan keren. Cukup mudah karena hanya ada satu tujuan, tapi tidak menjadi salah satunya juga sebuah pilihan.

Lambat laun, kita akan berbaur dengan lingkungan sekitar, walaupun tidak sempurna seperti bunglon, daripada menyamar sebagai orang lain, sangat penting untuk punya pijakan sendiri, mengikuti arus bukan berarti hanyut terbawa arus.

*Penulis (perantau dari Pulau Borneo) merupakan siswa SMA Khadijah kelas XII yang juga merupakan klan jurnalis muda – Turcham Media

Gambar oleh lil_foot_ dari Pixabay

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *