Opini

Cerita Ringan Tentang Makna Hijrah ke Tanah Jawa hingga Alasan Sahih untuk Berkuliah

Oleh: Mutia Bahalwan

Hallo.. basa basi sedikit, namaku Mutia, seseorang yang menghabiskan masa remaja hingga menuju dewasanya untuk mencari jawaban, “kenapa orangtuaku menyekolahkanku jauh-jauh ke tanah Jawa?” Bahkan kala itu, aku saja masih bingung, aku bisa bertahan atau tidak, ya? Tapi ternyata lebih dari bisa hehe..

– 

Sebelumnya aku berasal Banda Neira. Salah satu daerah terpencil di Maluku yang dicap 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Tiap kali aku perkenalkan diri sebagai seorang anak Banda, 2 kalimat yang selalu orang-orang lontarkan. Kompilasi kalimat pertama adalah “Aku pengen banget ke sana. wishlist aku bangett. Berapa harga tiket PP ke sana?” dan kalimat kedua, “Emang di sana pendidikan dan akses sulit, ya?”. Dua buah pertanyaan yang sudah bosan kujawab. 

Kujawab tipis-tipis pertanyaan kedua tentang pendidikan. Pendidikan di sana sebenarnya baik-baik saja. Kami punya sekolah untuk tiap jenjang dari paud sampai perguruan tinggi, hanya saja Banda Neira adalah kepulauan. Sulit untuk melakukan pemerataan. Pendidikan di Banda Neira lazimnya seperti pendidikan pada umumnya. Hanya fasilitas saja yang membedakan. 

Menulis ini aku sambil membayangkan cerita temanku ketika mau mendaftar SNMPTN dan SBMPTN (tes masuk perkuliahan di angkatanku), mereka harus mencari informasi dan mendaftar sendiri. Syukur-syukur bagi mereka yang antusias untuk kuliah, bagi yang tidak? Ya, mereka lebih memilih bekerja, tes PNS atau menjadi Abdi Negara. Ini bertentangan denganku yang bisa leluasa pamer, “Loh, SMA-ku malah dikawal sampai keterima jadi mahasiswa”. Sebuah perbedaan kecil yang menggambarkan segalanya. 

Aku adalah pegiat pengabdian masyarakat. Januari 2024 kemarin aku melakukan pengabdian ke desa Trunyan, salah satu desa yang masih sakral di Kintamani, Bali. Di sana hanya ada TK dan SD saja. Bagi yang mau melanjutkan pendidikan selanjutnya, mereka harus bersekolah ke Kintamani. Di mana jarak Trunyan ke Kintamani kurang lebih 30-40 menit dengan jalan yang penuh tanjakan.

Apa yang perlu aku jawab lagi dari pertanyaan, “kenapa orangtuaku menyekolahkanku jauh-jauh ke tanah Jawa?”. Syukur menghantam diriku. 

Dokumentasi ketika pengabdian di Desa Trunyan bersama anak-anak SD

Jujur selama SMA, ada sedikit penyesalan yang kurasakan karena ketidakmampuanku untuk membaurkan diri dengan lingkungan, ditambah COVID-19 menyerang.

Haduh. Buyar sudah. Jujur juga ketika itu aku masih menanyakan eksistensi, “Aku berjalan sejauh ini mau mencari apa?”. Menjadi manusia yang labil dan penuh overthinking akan masa depan. Mungkin juga teman-teman merasa sama sepertiku. Tapi, tidak apa-apa. Jiwa anak SMA konon masih seperti itu. Labil (Sumber: komentar tiktok) wkwk.

Tapi kelabilan yang tidak jelas itu akhirnya menjadi lumayan stabil seiring bertambahnya usia. Aku yang dulunya tidak suka berbaur, tidak bisa berkomunikasi, takut basa-basi, takut ketemu orang baru, sekarang malah excited parah.

Bahkan sampai dicap extra extra extra extrovert (walaupun sampai di kos lemas banget karena social energy habis). Yang dulunya overthinking parah menjadi, “yaudah itu hal kecil. Mending nugas (sambil melihat notion yang jarang ada space kosong)”. 

Kamu tau apa yang membuatku menjadi lebih stabil seperti itu? Karena aku kuliah dan ikut organisasi. Kata ‘stabil’ mungkin bervokal ambigu dan tidak ekuivalen dengan perkuliahan. Tapi, jujur kematangan berpikir kudapatkan karena sering bertemu orang-orang hebat di dunia perkuliahan dan organisasi. 

Di sini sekaligus membantah perkataan orang, “jangan ikut organisasi kampus. Hanya buang-buang waktu”. Sebenarnya semua itu keputusan tiap orang ya dengan pertimbangan masing-masing.

Hanya saja, apa yang kuputuskan ternyata berbuah emas. Semenjak aku ikut organisasi, tiba-tiba diriku otomatis bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak aku bisa. Khususnya masalah bersosialisasi dan berpikir cepat untuk mengatasi masalah.

Aku melihat perbedaan signifikan ketika diriku di semester 1 (sebelum masuk organisasi) dengan diriku di pertengahan semester 2-sekarang (setelah masuk organisasi).  Hanya saja, pilihlah organisasi yang positif, karena ada organisasi bodong yang hanya menyita waktu, uang, dan jangan sampai tergiring ke paham-paham fanatik. 

Kebayang tidak ketika aku tidak masuk kuliah? Mungkin diriku akan menemukan kelihaian bersosialisasi di tempat lain atau bisa jadi aku masih nge-stuck menjadi orang yang tidak bisa bersosialisasi seperti ketika aku SMA. Dua kemungkinan yang mungkin aku alami di dunia paralel lain (jika kalian percaya dunia paralel wkwk). 

Surabaya, 30 April 2024

Perantau Banda Neira ini merupakan Alumnus SMA Khadijah yang kini tengah menempuh studi di Unair.

Source pict

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *