Cerpen

Cerpen: Asha dan Rahasianya

Oleh : Elana

Aku selalu bertanya-tanya soal seperti apa bagaimana rasanya menjalani hidup normal tanpa mengkhawatirkan apapun, tapi jawaban itu tidak bisa aku rasakan karena aku berbeda dengan mereka. Tunggu, tidak. Aku bahkan tidak bisa menjadi mereka.

“Asha, kamu mimisan lagi?!”

Diok berteriak di depanku dengan panik. Ia buru-buru memberikan tisu dan meletakkannya di hidungku untuk menahan cairan kemerahan itu agar tidak jatuh kemana-mana.

“Halah, mimisan doang.”

Aku menjawab dengan nada becanda untuk meredam kepanikan laki-laki di depanku. Aku merasa sebentar lagi tubuhku akan tumbang. Kepalaku seperti bergerak dengan cepat, dan samar-samar kedua mataku hendak menutup.

“Doang kamu bilang?!”

Diok memarahiku karena merasa aku menyepelekan masalah ini. Padahal aku hanya tidak mau separuh orang di lapangan menatap kehehohan yang kita buat.

“Aku bakal telfon Tante Rania buat ke sini.”

Mendengar nama itu disebutkan, aku buru-buru mencegahnya.

“Nggak, jangan! Kita ke UKS aja, jadi nggak perlu telepon orang rumah.”

“Sha, tapi kamu nggak dalam kondisi baik.”

“Diok, please.”

Aku memasang puppy eyes agar Diok percaya.

“I’m okay. Ini cuma kurang tidur aja kok, karena aku maksain buat begadang 3 hari ini,” kilahku.

“Jangan bohong deh, Sha.”

Diok masih jengkel karena aku tidak berkata yang sebenarnya.

“I’m not lying.”

Aku kembali tersenyum meyakinkan. I’m just not telling you the truth.

Terbiasa memendam semuanya sendiri, membuatku tidak mudah menceritakan banyak hal ke orang yang baru aku temui. Diok adalah satu-satunya sahabat di SMA. Mungkin kalau bukan dia yang mendatangiku, aku nggak akan punya sahabat seperti dia. Sudah dua tahun ini aku merasakan perubahan pada kondisi tubuhku. Sedikit-sedikit merasa sakit dan nyeri, bahkan mimisan yang tidak bisa ditebak kapan datangnya.

Aku belum pernah menceritakan soal kondisiku pada keluarga. Selama ini aku merasa kalau aku adalah beban mereka, padahal kalau dipikir-pikir anak adalah tanggung jawab orang tua. Tapi, entah kenapa aku tidak ingin mereka tau. Kehidupan sibuk mama dan papa membuatku merasa selama ini masih bisa ku atasi sendiri, aku tidak akan merepotkan mereka.

Memiliki keluarga utuh yang jarang berkumpul membuatku tetap merasa sendirian. Berada di dalam kenyamanan fasilitas rumah dan hidup berkecukupan tidak membuat aku merasa betah. Aku ingin merasakan kebahagian seperti orang lain. Selama ini mereka hanya sibuk mementingkan pekerjaan dan bertukar sapa hanya untuk memastikan aku masih ada suaranya. Mereka tidak pernah peduli.

“Kamu terlalu banyak berpikir Asha. Penyebab mimisan yang kamu alami tadi pagi karena stress yang dibuat oleh pikiran kamu.”

“Dokter bisa resepkan saya obat lagi? Kepala saya memang terasa berat akhir-akhir ini”

Dokter Farhan hanya bisa menghela napas berat.

“Saya bisa menambah dosisnya, tapi saya tidak mau karena akan ada efek samping buat kamu. Saya sarankan kamu ajak orang tua kamu untuk ke sini untuk konsultasi berikutnya. Ini demi kebaikan kamu.”

“Dok, tapi selama ini saya bisa, kan berobat sendiri, Kenapa tiba-tiba harus ada orang tua?”

“Selama ini saya berpikir kalau ini masalah biasa. Tapi tetap saja, kita perlu melakukan diagnosa lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada yang salah dari kondisi fisik kamu. Maka dari itu, saya perlu persetujuan orang tua kamu.”

Aku tidak bisa mencerna semua kalimat itu, yang pasti Dokter Farhan memintaku membawa Mama besok dan aku tidak tau harus seperti apa

“Asha, ini semua demi kebaikan kamu. Kamu butuh dukungan orang tua dan juga lingkungan untuk bisa sembuh.”

“Tapi, Dok…”

“Sudah dua tahun Asha. Kamu masih belum cerita ke mereka soal ini?”

“Mereka nggak akan peduli, Dok.”

Aku menatap dinding kosong dengan perasaan sedih.

“Kenapa kamu berpikir begitu? Kamu bahkan belum coba sama sekali buat cerita.”

Dokter Andi mungkin mengira ini masalah biasa yang bisa dibicarakan baik-baik. Tapi aku merasa kalau itu akan sia-sia.

“Karena … saya merasa mereka emang nggak sayang sama saya, Dok. Mereka cuma peduli soal pekerjaan, bukan peduli soal saya atau kesehatan saya. Dan daripada menelan kecewa mendengar jawaban mereka, lebih baik saya melakukan ini sendirian.”

Tidak terasa aku menangis sesenggukan.

“Halo, Ibu Rania.”

Mataku membelalak kaget mendengar nama itu. Kontan aku menyadari situasi yang terjadi.

“Dokter sedari tadi telefon mama saya?!”

“Asha, mama minta maaf karena nggak pernah tanya soal kamu selama ini. Mama nggak tau kalau selama ini kamu sering ke rumah sakit untuk konsultasi.”

Aku bisa mendengar Mama menangis dari sebrang telefon.

Aku tidak tau harus menjawab apa selain berkata,

“Ma, aku gapapa.”

“Mama lagi diperjalanan ke rumah sakit ya, Sayang. Mama akan mengusahakan yang terbaik demi kesehatan kamu. Kita berjuang sama-sama ya.”

“Ma, aku gapapa. Nggak perlu ke sini.”

Aku masih mempertahankan ego dengan meminta Mama tidak perlu datang. Tapi yang sebenarnya terjadi, memang itu yang aku inginkan. Diperhatikan oleh keluarga dan diyakinkan kalau aku tidak sendirian.

“Asha, Sayang. Kamu percaya sama Mama, kan?”

“Ma, aku…”

Suaraku tertahan dan tangisku semakin kencang.

“Tolong percaya sama Mama. Kalau kamu nggak akan merasa sendiri lagi.”

Aku tersenyum tipis mendengar kalimat tersebut, sebelum akhinya menjawab,

“Asha percaya sama Mama.”

Mungkin kebahagianku tidak bisa seperti orang lain yang hidup normal tanpa bergantung pada pengobatan dan berbagai macam obat. Tapi setidaknya sekarang aku tidak merasa sendiri. Aku masih punya Mama, dan itu sudah lebih dari cukup karena aku percaya hal baik akan datang satu-satu, dan ini adalah salah satu hal baiknya.

Penulis merupakan seorang siswi SMA Khadijah yang tengah berkelana dalam ekskul jurnalistik dan di fase ingin membahagiakan diri.

500 total views, 1 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *