Cerpen

Cerpen: Berdikari

Oleh: Azzahratul Humaira Balqis

Ting!

Pintu lift terbuka, menyajikan koridor panjang dengan penerangan yang tampak seperti tidak diganti selama belasan tahun. Suara langkah sol sepatu hak menggema ketika aku berjalan keluar dari lift dan berhenti di depan pintu rumahku. Apartemen yang penuh sejarah dengan orang tua dan saudara-saudaraku—dulu, tentu saja. Sebelum mereka semua pindah ke luar kota, meninggalkanku tanpa uang sepeserpun hanya dengan adik tiriku, Sofia. Dan tidak disangka, datanglah sebuah wabah.

Samar-samar terdengar kegaduhan lalu lintas, jauh di bawah sana. Virus ini tetap tidak menyingkirkan suara kemacetan Jakarta yang harus kutempuh pagi dan malam untuk makan kami sehari-hari. Perbedaannya hanyalah semua orang memakai masker dan pelindung muka, itu saja.

Angin malam dari jendela di ujung lorong menyisir lembut rambutku. Lampu di tempatku berdiri berkedip beberapa kali, tanganku pelan-pelan memasukkan kode kunci—yaitu tanggal lahir Sofia dan dia sendiri yang memintaku untuk menggantinya—ke pintu.

Kehidupan kerja baruku sangatlah menyedihkan, ditambah lagi dengan situasi yang mengharuskan aku membawa sebagian pekerjaanku ke rumah yang bahkan tidak terasa seperti rumah. Lebih cocok disebut “tempat aku tidur, bekerja, dan melayani nyonya kecil manjaku.”

Pintu terbuka. Aku berhenti sejenak, mengingat adik terkecilku ini pasti sudah tidur. Aku melamun sejenak. Egoku tiba-tiba meroket, ide yang berdasar dari kegeraman tahu-tahu muncul. Apakah aku benar-benar harus pulang? Aku sangat lelah, tetapi aku tetap memiliki hak untuk berbahagia. Arlojiku memang menunjukkan pukul 11 lebih, namun sekarang, umur dan waktu sudah tidak jadi masalah.

Angin berhembus dengan kuat ketika aku menggenggam gagang pintu, membuat bulu kudukku berdiri.

Aku tidak pernah memilih untuk menjadi ‘pengasuh’ Sofia.

Hawa dingin pendingin ruangan yang sedikit berlebihan seperti menembus tubuhku ketika pintu terdorong ke dalam. Aku hanya perlu mengganti pakaian dan tasku tanpa membangunkannya, lalu pergi tanpa membuat kegaduhan.

Gelap, tidak ada sumber cahaya sama sekali kecuali lampu jingga kecil dari alat penanak nasi di ujung dapur. Sepi, hanya suara dengungan kesunyian yang memenuhi telinga. Memang sudah seperti seharusnya, meskipun aku tahu sepatu hakku yang tadi kulepaskan telah hilang ditelan hitam legam. Berjalan di tengah kegelapan ternyata tidak terlalu buruk, tetapi ketika kamar Sofia terlewati, sesuatu seperti mengenai kakiku.

Garpu? Itu sebuah garpu. Entah mengapa keberadaan garpu di tempat yang sangat tidak biasa ini tak mengalihkan perhatianku dari tujuan utamaku kembali ke dalam rumah.

Menghembuskan napas lega sambil melepaskan masker, aku akhirnya dapat meraih gagang pintu kamarku dan segera membukanya. Celah kecil di tirai jendela membuat sebuah garis cahaya di meja kerja, memperlihatkan… kertas? Tanganku menekan saklar lampu secepat kilat.

“Yang bener aja?!” Kubanting tas selempangku ke kasur.

Aku setengah berlari ke kamar Sofia, hanya untuk menemukan ruangan kosong yang rapi, beberapa barangnya hilang. Bagai bumi dan langit, kamarku acak-acakan seolah telah terhantam angin puting beliung. Alat tulis dan kertas-kertas—yang ternyata adalah berkas-berkas penting dan sudah ku tata urutannya kemarin—bertebaran di lantai dan ranjangku, tempat sampah kering kecil di mejaku tumpah beserta isinya, baju-baju di lemariku… astaga, aku bahkan tidak dapat mendeskripsikannya.

Emosi yang dari tadi kutahan akhirnya lepas menjadi jeritan hebat, membiarkannya memenuhi kamar Sofia. Tanganku memukul-mukul pintu.

“SOFIA KEPARAT! DIMANA KAMU?”

Aku benar-benar mencari keberadaannya, ingin menyumpahi dan memakinya hingga ia menangis seperti ketika ia meminta ponsel baru hanya untuk menyerupai teman-temannya beberapa waktu lalu, meskipun ponselnya yang sekarang masih cukup untuk digunakan sekolah secara daring. Apa dia sudah gila? Apakah dia tidak sadar dengan apa yang sudah ia lakukan?

Aku hanya ingin istirahat sejenak, menikmati awal umur berkepala duaku layaknya orang lain yang baru saja lulus SMA, melanjutkan studi tanpa memikirkan uang untuk menafkahi anak 13 tahun keras kepala yang dengan terpaksa kurawat. Sekarang ia malah kembali melakukan hal bodoh yang membuatku semakin muak dengannya.

Kutendang garpu yang kutemui di lantai tadi, lalu berjalan keluar kamar untuk menyalakan lampu ruang tengah.

Semua kata kutukan yang kuingat keluar dari mulutku segera setelah lampu menyala. Di depan mataku, tidak ada barang yang berada pada tempatnya. Bantal, karpet, panci, gelas, buku, semua bercampur aduk menjadi pemandangan yang sangat tidak sedap untuk dipandang. Kakiku lemas, menjatuhkan diri ke sofa di sebelah cangkir yang aku sadari terletak di tepi. Wajahku terbenam ke sebuah bantal. Menangis tidak akan cukup untuk menggambarkan perasaanku sekarang. Sofa pun kupukul-pukuli.

DUG. “ADUH!”

Aku terperanjat dan membuat rengekan. Sambil meringis, tanganku refleks menggenggam jempol kakiku yang baru saja terlindas cangkir itu. Namun, sebuah selipan selembar kertas terlihat begitu mencolok di antara benda-benda di depanku. Aku meraihnya. Tulisan pensil yang amat berantakan, tetapi kertasnya seperti belum pernah disentuh. Jelas memang sengaja diletakkan disitu.

KAK ARI.

Aku bahkan sudah tidak perlu menebak siapa penulisnya.

Aku sudah nggak sudi denganmu mengabaikan SATU saja keinginanku untuk mengeluarkan sedikit uang untuk hp sialan itu.

Lebih tepatnya, AKU yang sangat tidak sudi dengannya. Dasar anak tidak tahu keadaan dan serakah.

Aku akan tinggal dengan temanku yang baik hati dan tidak sombong, dan bekerja untuknya. Aku bisa cari uang sendiri lho? Covid itu hoax. Toh sampai sekarang aku masih hidup.

Dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya. Aku sama sekali tidak mengerti bagaimana cara otaknya bekerja. Mengingat ketika sekolah, aku tidak pernah senakal dan sekeras kepala ini.

Aku bisa urus diri sendiri. Jangan cari aku sampai beberapa minggu lagi ok 😉

Punggungku tersandar ke sofa, kepala mendongak ke langit-langit ruangan. Merenungi satu kalimat ini. Kalimat yang mengumumkan arti kebebasan untukku, meskipun hanya sementara. Kalimat yang baru saja menyadarkan bahwa sebenarnya selama ini hidupku sebegitu dikontrol olehnya. Nyeri di jempol kakiku sudah tidak terasa lagi.

Semangat ya rapihin rumahnya XD

Aku kembali menegakkan punggung, menyadari bahwa panorama di depan wajahku masih timbunan barang-barang yang nyaris terlihat seperti tumpukan sampah. Meskipun demikian, senyum lebar tetap dapat menghias rupaku.

Aku benar-benar tidak peduli bagaimana ia akan hidup diluar sana, ia akan bertanggungjawab dengan pilihannya sendiri. Tidak masalah malam ini kuhabiskan untuk membereskan kekacauan “kecil” yang ia buat, mengetahui bahwa malam-malam setelahnya aku tidak perlu repot-repot memasak dan membeli makanan untuknya, ataupun mencuci bajunya.

Berlari ke kamar, aku mengambil ponsel sambil berjalan menuju kamar Sofia. Mengecek apakah ia masih memblokir kontakku, dan jawabannya sudah seperti dugaanku.

Aku melemparkan diri ke kasur, menutup mata dan menghela napas sedalam mungkin.

Pandemi ini akan segera berakhir. []

*Penulis merupakan siswa baru SMA Khadijah

Gambar oleh blj.co.id

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *