Oleh: Abdul Hadi*
TURCHAM.COM – Menangis adalah sesuatu yang sangat ku hindari. Di samping karena aku seorang laki-laki, juga karena itu pesan murabby-ku. “Jangan menangis karena urusan dunia, tapi sering lah menangis karena urusan akhirat” demikian kata murabby-ku itu yang ku kenang sejak beliau ucapkan sampai sekarang. Agak sayang memang, karena aku mendengar nasihat itu setelah aku berusia hampir 40 tahun. Saat kanak-kanak aku menangis karena mengikuti kakak perempuan ku menangis, di usia di atas 40 tahun pun aku pernah menangis karena merasakan kesedihan putra-putri ku.
Tangis pertama yang ku ingat, ketika aku duduk di bangku SMA 7 Banjarmasin. Saat SMA aku tinggal di sebuah kamar kos-kosan, bersama seniorku Udin. Mungkin kamar yang kami tempati lebih pantas disebut sebagai serambi karena kamar kami menempel pada rumah pemiliknya—sebuah keluarga dengan beberapa anak gadis dan cucu perempuan. Kami menyusuri gang sempit di antara serambi rumah-rumah lain menuju sekolah. Tapi itulah kos-kosan paling murah yang berada di sekitar sekolah kami.
Sewa kamar sebetulnya sangat murah bagi kebanyakan orang, apalagi sewanya kubayar bersama Udin. Tapi tidak murah bagiku, seorang pelajar dari kampung dengan penghasilan dari penjualan hasil sawah. Itu lah yang terjadi suatu hari di mana aku pulang kampung dengan harapan mendapatkan uang dari hasil sawah kami yang digarap kakak ku—seorang kakak wanita yang mengayomi kami bak ibu atau ayah kami. Aku tidak mendatangi ayah ku karena memang ayah ku tidak terlalu perduli dengan pendidikan kami. Aku juga tidak menemukan ibu ku karena ibuku tinggal di kampung lain karena menghindari ayahku.
Sebagaimana biasanya, kakak perempuanku ini selalu menyambut hangat kedatanganku di sela kesibukannya membuat aneka kue untuk dititipkan di warung sekitar rumahnya atau untuk disajikan di ruang guru sebuah SMP di mana kakak laki-laki ku menjadi guru.
Tapi kehangatannya mulai padam ketika kusampaikan bahwa aku perlu uang untuk membayar sewa kamar yang belum kubayar selama dua bulan. “Duit bulan lalu saya bayar kan uang organisasi, jadi kamar menunggak” terangku tanpa memperdulikan perubahan mimik mukanya. Kakakku menunduk, memandang lantai dari tempat duduknya di tepi dipan.
“Kue tidak terlalu laku selama musim hujan ini” balasnya dengan suara lirih.
“Padi yang bisa dijual tidak ada kecuali musim panen nanti tiba” jelasnya lagi dengan suara yang semakin redup.
Aku mulai menyadari bahwa mata kakak perempuan ku ini berlinang meski ia menunduk.
“Tapi sewa kamar harus di bayar” desak ku, karena merasa malu dengan putri pemilik kos-kosan jika tidak bisa melunasi sewa kamar.
“Iya ini kakak jalan dulu ke warung, semoga ada kue yang laku”, suaranya datar sambil berjalan meninggalkan aku.
Aku duduk di pinggir dipan menggantikan posisi yang ditinggalkannya. Perasaan sedih mulai pula merasuki ku. ‘Seorang kakak perempuan yang usianya baru genap 20 tahun, harus menggantikan peran ayah’ fikir ku saat melihat bahunya yang terlihat saat melintas pintu kamar menuju warung untuk menanyakan uang kue-nya. ‘Seorang tamatan SD yang harus putus sekolah karena konflik ayah-ibu’, uangkap batinku yang kemudian mendorong air mataku juga bergulir keluar dari kelopak mataku.
***
Aku tak tahu tangis kedua ini karena Allah atau karena nafsu. Itu terjadi di sebuah pondok pesantren di mana putriku belajar. Ketika itu aku bersama putraku yang gagal masuk pondok pesantren putra. Aku menangis setelah jeritan putriku “kenapa ayah berpisah dengan ibu”. Hati ku sebetulnya panas dan kecewa kenapa putra gagal masuk pesantren itu. Dan gagal bukan karena tidak lulus, melainkan karena tidak ikut tes membaca Alquran karena takut. Perjalanan panjang turun naik pesawat, silih berganti bus menuju pesantren itu sia-sia. Uang pun tentu tak sedikit terkuras untuk perjalanan ini, sampai-sampai aku berhutang kepada kakak ku.
Tapi aku berusaha fokus pada komplain putriku tadi, dan aku pun ikut menangis seraya menyampaikan maaf demi untuk mengurangi penderitaan mereka. Sambil mengusap kepala putra-putri ku, fikiran ku melayang kepada murabby yang mengizinkanku untuk menceraikan ibu mereka.
“Kalau selalu menyakiti hati, ceraikan saja” kata murabby itu meski sambil tersenyum simpul tanda bergurau.
‘Mungkin hikmah perceraian yang membuat putri ku bisa bersekolah di pesantren’ gumam ku dengan keyakinan bahwa murabby tidak mungkin menjerumuskan pengikutnya.
Tangisan ku ini kuyakini karena Allah karena aku menangis menyesali dosa-dosa yang ku perbuat di negeri kafir itu. Ya, dosa karena aku datang ke negeri itu selalu di musim semi di mana para wanita-wanita mulai membuka aurat mereka seolah lepas dari selimut musim dingin. Di dalam kereta, di jalan-jalan, di kampus wanita menggunakan rok yang pendek dan baju oblong yang tipis. ‘Tapi salah bukan pada masyakat Jepang ini, kesalahannya ada pada aku yang tidak bisa membawa isteri’. Ya, tidak bisa membawa isteri karena isteri ku tidak boleh meninggalkan pekerjaannya di Indonesia.
Sedikit terhibur kerna aku bisa menelpon putriku yang sekolah di sebuah madrasah islamiah. Dia kumasukkan di sekolah itu juga atas nasihat murabby ku.
“Dalam suatu rumah sebaiknya ada seseorang yang menguasai ilmu agama” kata sang murabby di suatu mejelis yang ku hadiri. Aku menelpon putriku untuk meminta bacakan buku Sifat Dua Puluh—buku yang digunakan oleh murabby ku dan juga ternyata diajarkan di sekolah putriku.
Tapi komunikasi dengan putriku tidak mampu mempertahankan masa tinggalku untuk program post-doktoral itu. Terlalu berat rasanya melewati musim panas di negeri sakura. Aku segera meminta izin pulang ketika mendengar ayahku sakit di kampung. Mengganggap ini sebagai kejadian luar biasa, dosen ku segera mengizinkan ku pulang—sikat empati terhadap musibah yang menimpa orang lain merupakan sisi baik orang Jepang.
***
Sejak pagi tadi aku ingin menangis setelah mendapati putri terkecilku menolak kuajak ke kebun.
‘Jangan menangis karena masih ada kakak-nya yang sudah bersedia menemanimu melalui komunikasi WA’ bisik batin ku seolah merayu air mata ku agar tak mengalir.
Aku pun menaiki mobil berisi bibit berbagai tanaman yang telahku siapkan sejak kemarin dan melaju menuju kebun yang letaknya sekitar 50 kilo meter dari rumahku. Selama menyetir aku tak mengecek WA karena harus menyetir mobil. Setelah dekat dengan posisi anakku yang SMA itu aku baru menelepon untuk memintanya bersiap. Betapa terkejut aku mendengan jawaban: “aku kan sudah bilang Ayah, aku akan mengunjungi teman ku jam segini”. Lenganku pun lemas. Setir mobil terasa lepas.
‘Jangan menangis, masih ada putramu yang pasti akan bisa cepat mendapatimu’ bisik bathin ku lagi, menepis perasaan putus asa.
Aku pun mulai menggeser-geser layar gawai mencari nomor kontak putra harapanku itu. Tak berdering lama, panggilan ku langsung tersambung. Aku pun mulai menyampaikan permohonan ku untuk ditemani karena akan memasuki kawasan di mana preman biasanya berkeliaran. Tapi kembali kekecewaan yang kudapati. Telepon memang bisa cepat tersambung, tapi dia terpisah puluhan kilometer dariku.
‘Aku tak akan hubungi putri sulung ku’ fikir ku frustrasi. Biarlah kutanam bibit-bibit ini tanpa putra-putri ku.
‘Semoga di lain waktu mereka bisa mengetahui bahwa pohon-pohon ini ditanam oleh ayah mereka’, sungut ku sambil membayangkan nabi Ya’kub yang menangis sampai buta matanya karena ulah anak-anaknya.
Teringat juga aku perlakuan ku terhadap ayahku yang menginginkanku menikahi wanita di kampung ku.
“Pilih yang dikampung ini, aku sudah tua” pintanya suatu hari saat aku mengunjunginya saat libur dari pekerjaan ku.
Aku tersenyum dan tak mendebatnya saat itu. Tapi ayah ku pasti faham bahwa aku akan menikahi wanita selain yang diusulkannya.
‘Ini lah karma’ teriak batin ku menggunakan istilah agama Hindu untuk hukum qishash.
‘Kau tak menuruti ayahmu, maka anakmu tak kan menurutimu’ gerutu bhatin lebih lanjut yang membuat ku lunglai.
‘Tidak, jangan menangis karena urusan dunia’ terdengar suara dari balik alam sadar ku seperti menirukan ekspresi murabby ku. ‘Tak kan terjadi sesuatu melainkan kehendak Allah’ teriaknya lagi menggetarkan dada ku.’ Aku kan selalu berdoa wajuriyyatina qurrata’ayun, tapi kenapa mereka tidak dapat ku pandang’ terdengar suara dari sisi lain bathin ku seolah protes dengan nasihat-nasihat murabby. ‘Pembangkangan ku terhadap ayah sudah impas ketika aku berpisah dengan wanita itu’ berontak batinku lagi.
Tenaga terasa kembali mengalir setelah aku teringat cerita murabby ku tentang pandangan orang-orang shalih terhadap doa-doa.
“Mereka akan gembira jika doa mereka segera dikabulkan, tapi mereka lebih gembira ketika Allah lambat mengabulkan doa mereka” cerita murabby itu sambil menjelaskan bahwa pahala akan diberikan Allah sepanjang masa antara doa dipanjatkan sampai doa itu dikabulkan. Aku pun menanam bibit-bibit itu semuanya, kecuali dua pohon yang tidak bisa ku angkut sendirian karena lokasi tanamnya jauh dari mobilku.