Oleh: Azzahratul Balqis
Ia berdiri, menunduk di atas besi dingin bandara Soekarno Hatta dengan arloji di tangannya. Hampir tengah malam. Berlawanan dengan ‘aturan’ bahwa tak baik jika seorang gadis keluyuran sendiri pada jam-jam ini.
Setiap ada suara langkah berdecit, ia menengadah, meskipun kekecewaan telah mengingatkannya untuk keseratus kalinya, bahwa tak mungkin orang yang datang tersebut adalah ayahnya.
Ayah yang ia rindukan selama dua tahun pergi jauh. Mencari nafkah, katanya. Nafkah apa yang ia dapatkan selama kurang lebih dua tahun tanpa siapapun di sisinya, kecuali nasi dan lauk secukupnya dari nenek dan kakeknya yang bahkan hampir lelah bekerja?
Tik, tok, tik, tok.
Jam penerbangan terakhir telah tiba. Ia menengadah untuk yang terakhir kalinya sebelum berniat untuk kembali ke rumah.
“Dita,”
Dua bulan yang lalu ia dipanggil seperti itu, suara tersebut hanya berasal dari tantenya yang menjemputnya pulang karena nenek dan kakeknya khawatir akan keberadaannya. Ia pun menghela nafas dalam dan berbalik, tak peduli siapa dan darimana suara itu berasal.
Dita menatap ponsel, hendak mencari lagu untuk ia putar di sepanjang jalan pulang.
“DITA?” Suara itu semakin mengeras dan bergema. Kali ini refleksnya membuatnya berbalik. Matanya terbelalak, jantungnya berdegup kencang.
“MAMA?”
Ia berlari menuju arah suara yang ternyata familier itu. Sedikit demi sedikit, rasa tak percaya merangkulnya. Ayahnya mengatakan bahwa ibunya telah tiada pada kali terakhir mereka masih dapat berkomunikasi, menghancurkan dirinya. Namun… apa ini?
“Mama?” Ia bingung, langkahnya memelan.
“Iya, ini mama, Dit,” Mamanya sampai di hadapannya, tak melewatkan sedetik untuk memeluknya. Lebih erat. Dita hanya terpatung disitu, merasakan hangatnya pelukan mamanya yang lebih ia rindukan. Namun, air matanya diam-diam menetes.
“Ayah bilang… ma-” Dita mulai sesenggukan, dadanya sakit.
“Sstt.. Sudah, sudah. Mama disini,”
“Kenapa ayah bilang…”
Ia menyaksikan seseorang berlari ke arah mereka, dengan jas hitam yang sama sekali tak ia kenali. Namun semakin dekat, ia semakin mengenali siapa orang ini. Orang yang sangat pernah ia kenal.
“Dita…” Ayahnya datang, berjongkok di dekat Dita, tak ikut memeluknya.
“Aku.. aku..” Dita membebaskan diri dari pelukan erat mamanya. “Kalian dari mana? Kenapa Ayah bohong? Mama kemana aja?” Ia berseru dengan derai air mata. “Dikira Dita nggak sakit hati apa?”
Ia berbalik, tak tahan dengan begitu banyak emosi dan fakta yang harus ia terima dan cerna dalam satu waktu sekaligus. Beberapa tahun hidup dalam kebingungan dan kesedihan yang mendalam, keinginannya memang terkabul. Orangtuanya kembali. Namun kemarahannya saat ini tak dapat ia tahan. Ia bahkan tak ingin jawaban dari pertanyaannya barusan, apapun dapat mereka katakan dan ia tak tahu dapat mempercayai mereka atau tidak.
Dita tetap berjalan, tak mengetahui orang tuanya itu mengikuti atau tidak, hingga melihat tantenya berdiri di ujung bagian lain bandara.
“Kok tante nggak bilang kalau mereka pulang? Kenapa cuma aku yang nggak tau apa-apa, sih?” Ia setengah berteriak, mengetahui tantenya yang menyebalkan ini akan hanya mendengus saja pada apapun yang ia katakan. “Oke, siap. Aku anak kecil, perempuan, gak perlu tahu urusan orang gede,”
“Masalahnya rumit,” Benar saja, ia mendengus. “Biar ayahmu aja yang jelasin,”
Di mobil, yang terdengar hanyalah suara ban mencium beton. Semuanya tertidur.
Keesokannya, Dita bangun dan tergesa-gesa bersiap untuk sekolah, tak ingin ada percakapan dengan mereka. Namun tepat sebelum ia pergi…
“Dita, hari ini nggak usah sekolah dulu, ya,”
Tepat setelah itu, mereka berdiskusi tentang apa yang telah terjadi selama mereka berpisah. Dita tak menatap ayahnya sekalipun. Bagaimana orangtuanya bangkrut, konflik dalam pernikahan, hingga.. mereka kembali baik-baik saja. “Ini juga demi Dita…”
“Terimakasih sudah menjelaskan semuanya. Tapi aku tetap tidak baik-baik saja,”
Ia berangkat ke sekolah. Terlambat.
Gambar oleh TrendHunter.com di Pinterest