Oleh: Penyair Amatir
Sore itu, ketika saya menatap wajahnya untuk kali kesekian, saya merasa apa yang saya rasakan bukan sebuah bayangan semu. Ada semacam getar yang merambat di dada. Rasa yang berpuluh-puluh tahun saya kubur dalam tubuh saya. Tak salah lagi, saya menyukai perempuan itu. Entah bagaimana tiba-tiba perasaan itu tumbuh dalam dada.
Berpuluh-puluh tahun silam, rasa itu kali pertama hinggap di jiwa. Tetapi karena satu dan lain hal, saya hanya bisa menyimpan perasaan itu sendirian. Merawatnya dalam jurang bernama sepi.
Lyvia, demikian nama itu masih ada dalam kepala. Saya hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Seperti ada kekuatan yang melumpuhkan tubuh saya ketika saya hendak mendekatinya. Ketika sudah mengatasi tubuh saya, lidah ini menolak untuk mengucapkan sepatah kata.
Dua tahun berlalu begitu saja. Sekalipun saya tak pernah punya keberanian untuk bercakap-cakap dengannya. Ah, bahkan bertatap muka saja saya tak mampu. Ketika berpapasan, saya selalu menatap ujung sepatunya. Detak jantung saya tak karuan rasanya.
Saya paham, itu katanya dikatakan sebagai rasa suka pada lawan jenis. Tak salah, saya menyukainya. Mungkin lebih tepat, saya mencintainya. Atau mungkin ada istilah lain yang lebih pas. Tapi, sedikitpun saya tak punya keberanian untuk berjuang lebih lagi. Bagi saya, menatapnya lamat-lamat dari kejauhan atau menatap ujung sepatunya (ketika berpapasan) sudah memberikan perasaan gembira tak terkira.
Waktu terus berjalan. Menggilas apa saja. Termasuk menggilas debar-debar dalam dada saya. Termasuk Lyvia, perempuan yang tumbuh sehat dalam dada saya. Saya membawa perasaan itu ke dalam kenangan yang tidak mudah. Saya meninggalkan kota, beberapa bulan ketika dirinya telah resmi dipersunting oleh lelaki itu.
Tentu saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Sepenuhnya saya menyadari jika saya hanya merawat rasa itu sendirian. Tidak membagikan kepada siapapun. Saya bahagia melihat senyumnya di hari bahagianya. Untuk itulah, saya meninggalkan kota. Saya ingin merawat rasa itu sendirian.
Ketika puluhan tahun berlalu dan saya sudah bisa menata debar-debar dalam jiwa, saya kembali menjumpai perasaan yang serupa. Berkali-kali saya membunuh pikiran itu. Tetapi ia selalu menolaknya. Ia menyeret saya kepada masa lalu. Rasa itu tumbuh tanpa bisa saya tolak.
“Apakah kamu akan menjadi pecundang?”
Demikian diri saya mengadili perasaan ini. Sementara kembali saya tak memiliki keberanian untuk membagi perasaan ini. Selama beberapa bulan saya tenggelamkan diri saya ke jurang kesibukan. Namun sia-sia saja. Tiap kali ketika wajahnya membentur mata saya, seketika itu pula dada saya bergetar hebat. Sehebat apapun saya menjauhinya, selalu ada jalan untuk dekat dengannya. Mungkin ada yang tak kasat mata mengikat saya dengannya.
“Apakah kamu menyukaiku?”
Suara itu tiba-tiba saja meruntuhkan banyak hal yang ingin saya ucapkan padanya. Malam itu, saya beranikan diri untuk menyapanya. Suara saya yang kacau balau membuat saya salah tingkah. Hingga tanpa saya duga, dengan senyum yang sulit untuk saya jelaskan dia balik menyerang saya.
“Apakah kamu menyukaiku?”
…
Sidoarjo
6.6.22
pict: rdk.fidkom.uinjkt.ac.id
1,209 total views, 3 views today