Opini

Hari Buku Yang Katanya Harinya Buku

Hari buku tentu diperingati setiap tahun. Tetapi saya yang sering mengaku penyuka buku malah khilaf, jika hari ini (17/5) merupakan hari buku. Begitu membuka twitter, saya baru ngeh. Beberapa unggahan membicarakan tentang hari buku. Juga ada tulisan menarik dari Gola Hong di rubrik opini Jawa Pos. Duta baca Indonesia tersebut mengutak beberapa persoalan tentang buku, khususnya darurat penulis (yang menurutnya kita kekurangan penulis yang benar-benar totalitas).

Baiklah, demikian pengantar yang kemudian menuntut saya untuk menulis ini. Beberapa hari ini saya disibukkan dengan buku koleksi saya. Karena pindah rumah, maka saya harus membongkar buku di rak. Mengepaknya kemudian membawanya ke tempat baru. Mudah betul secara teori. Tetapi setiap mengambil buku, saya menjadi emosional. Ada riwayat yang meminjam istilah Rocky Gedung, preteks, yang mengikat saya dengan buku-buku itu. Mulai dari proses mendapatkan, tentang romantisisme isinya, buku saya yang belum kembali dari masa peminjaman (yang meminjam juga tak lagi saya ingat), beberapa buku yang gagal saya dapatkan, bahkan beberapa koleksi masih tersegel plastik.

Saya mulai membeli buku saat kuliah. Yang kemudian tidak bisa saya tinggalkan hingga saat ini. Ketika saya pindah-pindah dari kos ke kos lainnya (berulang-ulang), ritual membawa buku menjadi hal yang paling membanggakan. Hingga setelah menikah dan kini pindah untuk kesekian kali bersama anak dan istri, membongkar buku dan mengepak serta membawanya sangat spesial bagi saya.

Jika hari buku nasional diperingati setahun sekali, tapi bagi saya membaca buku adalah hal mendasar yang tidak bisa dipisahkan keseharian hidup saya. Maka bolehlah saya anggap bahwa setiap hari merupakan hari buku. Lainnya lagi, dewasa ini tersedia buku non cetak. Yang seakan-akan mendekatkan buku dengan membludaknya pengguna gawai. Walau sepertinya (dugaan saya) masih jauh dari yang diharapkan. Tentang buku digital, tentu saja jika itu pilihan, maka saya masih berpihak pada buku cetak. Tentang sensasi aroma halaman buku, membuka lembar demi lembarnya , dan tentu memajangnya di rak.

Saya selalu memimpikan anak-anak saya di sekolah mencintai buku-buku. Meskipun saya paham betul bagaimana rintangan dari gempuran gawai saat ini. Oleh karena itu saya sangat gembira bila masih ada yang membicarakan, membeli, dan bahkan menenteng buku. Sepenuhnya saya sadar, belajar tak melulu tentang buku. Tetapi bagaimanapun membaca buku dalam konteks pendidikan formal sangat amat dibutuhkan oleh si pembelajar agar ilmunya “bermekaran” (istilah ini saya pinjam dari Dosen saya: Sunu Catur).

Menyoal keprihatinan Gola Gong terkait darurat penulis buku, saya punya jawaban sederhana. Saya punya program satu siswa satu buku. Agenda yang berdurasi satu semester ini sukses di tahun pertama. Setelah pandemi, ada jalan buntu yang membuat rencana saya tidak sesuai target. Ketika situasi normal saya bisa leluasa memeriksa serta memberikan masukan. Tetapi ketika masih belajar dari rumah, saya belum bisa mencari jalan keluar yang pas. Namun demikian, di luar jalan buntu saya menemukan beberapa anak memang punya potensi mumpuni untuk menjadi penulis. Yang tentu saja perlu waktu untuk bermekaran.

Selamat merayakan hari buku. Semoga buku-buku yang kamu miliki tidak menjadi kuburan. Ia harus menjadi pasar yang senantiasa kamu perbincangkan.

Penyair Amatir
| Meminjam akal
17.5.22

1,002 total views, 6 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *