Opini

Jejak Wali Songo: Menyulam Hikmah di Jalan Terakhir Bersama Fasvenje

Oleh: Nailal Fariha

Sepertinya sudah menjadi takdir dalam hidup, bahwa liburan yang terpangkas oleh wisata religi ini bukan lagi menjadi waktu yang tepat untuk sekadar santai tanpa memikirkan hal apapun. Pagi ini contohnya. Aku mendapat pesan yang sudah diduga akan datang dari rekan Turcham Media, sebut saja Bita. Dan benar saja, ia menanyakan progress menulis ku yang setelah dipikir kembali, aku pun sebagai penulis merasa belum mendapat arahan resmi dari Bapak (Pak Shodiq).

Sepertinya memang. Menulis itu sudah menjadi gerakan refleks yang terjadi dalam diriku. Jadi, di situasi agak genting ini, aku menyingkirkan segala agenda yang sudah tersusun hari ini dan meluangkannya untuk hal yang sudah terlanjur aku sayang, Turcham Media.

Baik, aku akan memulainya di sini. Semoga tulisan yang sempat aku tulis dalam ruang tunggu sebelum menaiki pesawat, di meja makan, ruang tamu, dan kamar, cukup untuk menggambarkan rentetan kejadian dalam rihlah klan FASVENJE (Family of Seventy One Dije) tahun ini.

Dulu, skenario perjalanan ini hanyalah sebuah angan dari pemikiran ku kala duduk di kelas sepuluh. Rasanya masih jauh dan terlalu riuh dengan hanya melihat agenda yang terangkum dalam video 60 detik milik Turcham Media. Namun, kemarin, hal itu baru saja usai dalam hidupku sebagai siswa kelas 12. Aneh saja, pikirku. Ada banyak pernyataan “Baru kemarin ke Yogya, Bali, dan inilah itulah,” yang keluar tanpa permisi dalam celotehan kami (terutama penumpang bus 3), yang sudah mendapat gelar alumni dalam perjalanan wisata SMA Khadijah.

Tak ada yang bilang juga padaku, bahwa nantinya, kumpulan manusia di pukul lima pagi itu bukan hanya sekadar menjadi rekan perjalanan, namun juga keluarga untuk empat hari kedepan. Begitupun dengan perbincangan sesaat yang merambat pada candaan tentang kedai bakso urat di daerah Ampel, milik sosok yang namanya serupa dengan salah satu anak angkatan kami, adalah pembuka rihlah ini.

Mungkin, jika diminta bernostalgia, rihlah wali songo ini tak hanya sekadar kenyang menikmati hiruk pikuk tiap-tiap tempat, pening yang mendominasi gupuhnya langkah orang-orang berpakaian santri–layaknya kami, tempat duduk yang diusahakan walaupun sudah berada di ujung tanduk, alas alias ubin berselimut tikar yang tak lagi terasa ketika kami mengunjur di penginapan, hingga cuaca yang seenaknya berubah-ubah dalam kisaran waktu yang tak pasti. Selebihnya, hal ini, sedikit banyak membuka kedua mata kami yang sama-sama berjuang untuk selalu terjaga saat Ustaz Rofi’ dan Ifan mulai mengucapkan salam.

Tentu, perihal kedua mata kami yang terbuka, hati dan pikiran pun turut mengiringi dengan lapang dada setiap makna yang berusaha didapat dengan situasi duduk yang kian mepet dan napas yang masih berusaha diatur setelah dipaksa ugal-ugalan dengan situasi chaos-nya jalanan, sesaknya pasar dengan tas yang wajib diselempangkan ke depan, ratusan anak tangga yang tak beraturan jaraknya sebelum memasuki area makam.

Namun, wali songo berhasil membiasakan kami dengan bumbu-bumbu kesederhanaan, kesabaran, ketawadhuan, dan ketawazunan. Ada banyak pelajaran hidup yang datang dari kejadian sesederhana mungkin. Rihlah ini tak hanya mengajarkan, tetapi juga sebagai perantara yang mengantarkan kami kembali dekat kepada-Nya.

Berbicara sebagai orang yang pertama kali berziarah wali songo, aku cukup mengambil banyak detail-detail kecil selama mengikuti agenda ini. Kebetulan, aku berkesempatan untuk mengobrol dengan beberapa orang yang aku temui atau sebut saja warlok (warga lokal) dengan kesehariannya. Pertama, agenda menelusuri jalan pulang dengan bapak ojek di daerah Sunan Kudus. Pengalaman beliau dengan pekerjaan hariannya yang begitu mulia, cukup memberikan jeda dalam benak pikirku. Ternyata, ada banyak cara untuk melihat dan mencoba rupa-rupa jalanan (re: jalan hidup) sebagai pengalaman yang berujung pada sumber keberkahan. Kedua, tak lain dan tak bukan, penjual ronde di daerah Sunan Kalijaga yang tampak berbahagia melayani dan sigap menuntaskan pekerjaan, yang mungkin menjadi bagian syukur atas hidupnya hari ini. “Laris manis, berkah.” ucapnya.

Kedua momen ini membawaku larut dalam menghargai keberkahan dalam kesederhanaan dan syukur sebagai kunci kebahagiaan. Hal ini menyadarkan bahwa setiap peran yang diemban dan terjadi dalam kehidupan, entah kecil atau dianggap remeh oleh kebanyakan orang, sudah sepatutnya tetap diterima dengan penuh lapang. Karena belum tentu, sesuatu yang kecil juga menghasilkan hal yang kecil. Seperti halnya tuturan yang sempat sekelibat terdengar saat menuju makam Sunan Bonang, “Biasanya, kalau ziarah, orang-orang berhenti untuk beli-beli (aku simpulkan membeli dagangan di area makam) walaupun itu cuma 2000an, yang penting barokah nya, insyaAllah luas,” jelas suara yang tertangkap dalam pendengaranku.

Terlepas dari makna rihlah ini, ada banyak cerita-cerita berkesan yang terjadi. Mulai dari pengalaman naik becak di Sunan Bonang yang meninggalkan jejak dokumentasi terbaik sejauh ini, ratusan anak tangga dalam perjalanan di Sunan Giri, Gunung pring, dan Pandanaran, hingga batalnya agenda ziarah Sunan Muria karena jalan berbelok-belok itu dirasa licin selepas hujan semalaman. Ditambah dengan cuaca dingin yang menyeruak dan memaksa kami untuk bersih diri, serta lekas berkumpul untuk doa dan tahlil di dalam penginapan.

Kalau di deskripsikan, mungkin tangan ini pun bisa sampai meronta-ronta untuk segera usai mengetik.

Warga Smadijah dan semua pembaca, perlu diketahui bahwa ini adalah wisata terakhir kami sebagai siswa SMA Khadijah. Jadi, dari Surabaya sampai Cirebon dan agenda menilik Yogyakarta-Solo merupakan saksi bisu dari cerita-cerita kami. Wajar saja, rasanya begitu berat untuk sekadar melepas huru-haranya.

Seperti halnya postingan yang di unggah Turcham Media pagi ini dengan backsound milik Hindia. Wali songo ini adalah wujud nyata dari lagu “Ramai Sepi Bersama”. Dalam bait reff, jelas tertulis bahwa

Saat semua tak jelas arahnya 
Kita hanya punya bersama 
Lewati curam terjalnya dunia 
Ramai sepi ini milik bersama 

Seperti halnya yang berkali-kali disampaikan Bu Musyarofah yang kebetulan turut menjadi pendamping bus 3,

“Perjalanan ini sama-sama kita niatkan untuk nggolek barokah e ya nak, ditata pokoknya, sebisa mungkin apapun itu diterima, ikhlas karena Allah Swt.” tutur beliau.

Pesan itu sangat dirasa melekat, selain yang sudah aku sampaikan sebelumnya, tujuan kedua kami mengikuti ini, tentu sebagai sarana ikhtiar untuk memanjatkan hajat-hajat yang tampak cenderung mengarah pada harapan masa depan dan keberlanjutan selepas mengemban pendidikan di tempat yang penuh manfaat ini (re: SMA Khadijah).

Semoga setelah ini, klan Fasvenje diberikan kesehatan dan umur panjang agar dapat sampai pada tujuan-tujuan yang disemogakan. Semoga semuanya dapat diperlancar urusannya, diberkahi segala jalan yang akan ditempuh nantinya, dan tetap menjadi anak nya Bapak Ibu guru yang menjaga adab dan kehormatan dimana pun berada.

Penutup dari cerita rihlah ini, semoga nantinya, hal ini dapat menjadi kenangan yang dapat terulang di masa depan, walaupun dengan title ‘Ziarah Bersama Alumni Angkatan 71’.

Sukses bareng ya, Fasvenje!

Ucapan terima kasih yang aku khususkan untuk seluruh penumpang bus 3, Encofour yang sudah mengabadikan momen bersama, dan para penjual pentol dan ronde yang mengatasi rasa laparku.

– Penulis merupakan siswi XII-2 yang sedang menghitung hari menuju ulang tahunnya

123 total views, 6 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *