Oleh: Nariswari Cleophila Anoraga
Mama menangis.
Ia baru saja bercerita panjang lebar kepada kami. Mama mengusap air mata yang jatuh di pipinya dengan perlahan.
Disini, aku dan kedua kakakku menyimak cerita mama yang menguras air mata ini. Namun, tidak ada yang menangis selain mama. Aku dan kedua kakakku dari tadi hanya bisa bungkam tak berkata sepatah kata pun.
Mama mulai beranjak dari duduknya setelah mengusap air mata yang turun dari kedua matanya, kembali sibuk melipat baju yang baru saja di setrika nya. Kakakku yang pertama juga ikut beranjak pergi ke kamar, begitupun dengan kakak keduaku.
Disini tinggal aku sendiri, yang tak lama juga ikut pergi ke kamar. Aku mengunci pintu kamar, lalu berbaring di ranjang. Mulai memikirkan cerita mama barusan. Tak lama air mataku terjatuh.
Selama 15 tahun aku hidup, aku tidak pernah bertemu dengan kakekku. Aku hanya pernah melihat fotonya saat aku masih berumur 2,5 tahun. Tentunya aku sudah lupa bagaimana wajahnya, apalagi foto itu rupanya sudah hilang entah kemana.
Aku sering mendengar cerita tentang kakek. Bahkan sangat sering. Setiap orang yang menceritakan kakekku, inti dari ceritanya adalah kekaguman kepadanya. Mereka bilang, kakekku adalah orang yang sangat hebat.
Dan tebak, apa yang baru saja mamaku ceritakan? Ya, tentang kehebatan kakekku lagi.
Lalu apa yang membuat mamaku menangis saat sedang menceritakannya?
“Kalian tau? Bagi mama, Abah adalah satu-satunya orang yang paling berjasa dalam hidup mama.” Begitu kata mama saat sedang bercerita tadi.
Mama biasa memanggilnya “Abah” sejak kakekku berhasil menunaikan ibadah haji.
Sewaktu abah baru tamat SMA, abah diberi sebuah amanah dari almarhum ayahnya untuk menjaga ke 6 adiknya. Ibaratnya diturunkan sebuah tanggung jawab yang besar dari seorang ayah kepada anak laki-laki tertuanya.
Kakek benar-benar berperan sebagai ayah bagi adik-adiknya sendiri. Abah langsung mendaftar menjadi pegawai negeri setelah mendapat amanah dari sang ayah. Beruntung setelah mengikuti tes, abah diterima sebagai pegawai negeri sipil.
Abah bekerja sambil kuliah. Gajinya yang pada zaman itu sudah lumayan besar digunakan untuk membiayai kuliahnya dan sekolah adik-adiknya.
Meskipun sudah menikah, kakek tetap mengutamakan adik-adiknya. Abah membiayai sekolah ke 6 adiknya hingga semua berhasil mendapat gelar sarjana. Sekarang semua adiknya menjadi orang yang sukses.
Setelah tanggung jawabnya terpenuhi, abah mulai fokus pada istri dan anaknya. Abah mulai menabung untuk membelikan ketiga anaknya rumah, merenovasi rumah yang dulu ditinggalinya bersama anak dan istrinya.
Tidak cukup sampai disana, abah juga berhasil membawa ibu mertuanya dan juga istrinya ke tanah suci untuk menunaikan rukun islam terakhir. Abah juga membantu adik iparnya menjadi seorang pegawai negeri seperti dirinya.
Ah sepertinya tidak akan ada habisnya menceritakan kebaikan-kebaikan abah sewaktu masih hidup. Namun yang membuat mama menangis bukan semua yang tadi ku sebutkan, yang ini lebih dari itu semua.
Mamaku dulu memiliki riwayat penyakit jantung. Penyakit itu hampir membuat mamaku tiada, semua bingung bercampur sedih.
Lalu saat dokter mengatakan tidak ada pendonor jantung yang tepat, abah mendonorkan jantungnya untuk mamaku.
Tangis ku pecah saat mengingat apa yang dikatakan beliau sebelum memberikan hidupnya untuk mamaku.
Mama bilang kata-kata yang abah ucapkan waktu itu hanya singkat,
“Lanjutkan hidup Abah, nak. Lanjutkan sampai umurmu benar-benar habis. Sampai kau tak mampu lagi untuk bernafas. Tetapi, jangan pernah menyerah, nak. Abah akan selalu ada dalam dirimu.”
Titik terbesar sebuah pengorbanan adalah saat kau memberikan nyawamu untuk menyelamatkan nyawa orang lain.
Abah adalah pahlawan. Pahlawan bagi mama, bagi ayahku, bagi kakak pertamaku, bagi kakak keduaku, dan tentu saja bagiku, serta semua orang yang pernah mendapatkan hasil kerja kerasnya selama ini.
Tanpa pengorbanannya, aku tidak akan pernah lahir. Tanpa rumah pemberiannya, aku tidak akan pernah merasakan hangatnya selimut saat hujan menerjang bumi. Tanpa kerja kerasnya, aku tidak akan bisa merasakan hidup dengan layak dan menikmati masa-masa remajaku dengan bahagia.
Karena semua berkat pemberian Abah. Ayahku hanyalah seorang cleaning service di sebuah kantor yang sudah lama di PHK, tidaklah mungkin untuk membelikan rumah bagi istri dan ketiga anaknya.
Mungkin aku tidak akan pernah bisa bertemu dengannya, namun aku akan selalu memanjatkan ucapan syukur dan terimakasih serta mendoakannya setiap saat, dari sini untuknya yang disana.
Penulis adalah seorang siswi di SMPN 26 Surabaya