Opini

Ketika Waktu Kala Sesaat

Oleh: Azzahratul Balqis

Tiga tahun lalu, mungkin jika disuruh berhitung hingga waktu kelulusanku, aku akan merasa terjebak di lingkaran waktu yang tak ada habisnya. Tiga tahun yang lalu pula aku menumpahkan keluh kesahku tentang betapa ganjilnya dipaksa untuk hidup di dunia yang tengah mati kala itu, terutama sebagai penghuni baru SMA Khadijah. Bacalah di sini.

Terlalu klise untuk disebut sebagai suatu hal yang luar biasa, tapi menjadi bagian dari almamater ini tentu adalah pembuka mataku kepada dunia. Jika bisa dibilang, semua ‘kali pertama’-ku ada pada masa ini.

Pertama kali memperhatikan, mendengarkan, merasakan, mencintai, hingga membenci. Pertama kali menjadi ketua kelas dan menjadi bagian dari suatu organisasi (hingga memimpinnya?!), pengalaman pertama bertemu dengan orang-orang yang tak pernah kubayangkan akan ada dunia ini, hingga menemukan versi diriku yang tak pernah aku sendiri temui. Bahkan mungkin juga kali pertamaku menyadari bahwa aku benar-benar akan menjadi sesuatu.

Andai dapat menemukan celah cacatnya konsep waktu, aku akan bertemu dengan Balqis di masa lalu dan mencegah ekspektasinya padaku di saat ini. Ekspektasi bahwa ketika usia terus bertambah hingga terdengar lebih serius, maka sikap dan pikiran akan ikut lebih siap menghadapi dunia. Padahal nyatanya tidak. Padahal belajar tak akan pernah ada hentinya.

Diriku yang kala itu masih berusia 15 tahun, pasti tak akan pernah percaya bahwa hari dimana aku akan mengenakan medali kelulusan sudah bisa dihitung dengan seluruh jemarinya. Ia juga akan menolak percaya bahwa kini aku telah menginjak ambang ketidakpastian. Tidak tahu apa yang ingin dituju, ke mana, bagaimana, dan mengapa. Yang sudah pasti hanyalah ke-lulus-an yang seperti tak berarti ini ketika tanpa mengetahui kemana kaki akan melangkah.

Kesadaran akan habisnya waktu dan kesempatanku di sekolah ini tak langsung datang lalu pergi. Dilema itu menetap dan menggerogoti jiwa sedikit demi sedikit. Menjelaskannya di sini lebih rumit daripada hanya merasakannya. Mungkin semacam menunggangi mesin waktu. Semua memori yang di suatu waktu pernah menjadi realita terputar kembali sembari memberikan sekecap rasa, aroma, dan suara yang melekat bersamanya.

Kini, seragam putih-abuku telah kusimpan di lemari terdalam bersama dengan coretan dan sobekan kecil di sekujur kainnya. Buku-buku yang telah diambil isinya sudah siap untuk diberikan kepada generasi selanjutnya. Komputer dan ponselku sudah gemuk setelah menyelesaikan perannya dalam memungut dan menyimpan bukti dari setiap apapun yang kulalui di sekolah ini.

Mungkin ini adalah akhir dari novel non-fiksiku yang tertulis bersama dengan berjalannya waktu. Yang bermekar bunga ataupun lembab lantaran air mata di setiap halamannya. Yang tak semua bagian nyaman untuk di baca.

*Penulis merupakan alumni SMA Khadijah yang telah selesai dengan urusan waktu dan kenangan di era sekolah menengahnya.

489 total views, 6 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *