Oleh : Zaidan Ogmaja Wira Pradana
“Paman Jaden, apa aku boleh bermain dengan kucing itu?” Untuk kesekian kalinya aku tersenyum dan mengangguk padanya. Gadis itu, Jessica, lantas berlari kecil menghampiri kucing yang menarik atensinya. Terlihat senyuman bahagia terukir di bibirnya, membuatku ikut tersenyum bila menatapnya dari jauh.
Terkadang, aku cukup prihatin dengan kondisinya. Ia dibesarkan oleh orang tua yang gila kerja dan tempramental. Tak jarang aku mendengar jeritan tangisannya tiap malam hanya karena masalah yang sepele. Pernah suatu masa aku mendengar keluhan dari gadis berumur 7 tahun itu. Sungguh, aku tidak tega setelah bibir mungilnya berkata bahwa ia adalah anak yang tak diharapkan. Para tetangga juga pernah menegur kedua orang tuanya, namun reaksi sepasang suami istri itu jauh diluar kata positif.
“Aku lelah, paman Jaden. Bisakah kita pulang?” Jessica membangunkan lamunanku. Ia berkeringat, sepertinya ia sangat bersenang-senang hari ini.
Aku beranjak dari dudukku, “Baiklah, mari kita pulang. Lagipula, langit sudah mulai senja.”
“T-tapi paman… bolehkah aku…”
Aku yang memahami arti bibir yang dimanyunkan itu lantas terkekeh. “Kucing itu juga bisa ikut denganmu,”
Sorakan bahagia pun muncul dari Jessica. Ia memberi pelukan sekilas pada kucing itu lalu berkata, “Terima kasih, paman. Kau memang yang terbaik!”
……
Kami berjalan pelan menuju rumah. Menyusuri jalanan aspal yang sedang sepi pengendara. Sembari berjalan, Jessica sesekali bercerita tentang kehidupannya padaku. Tapi ia hanya menceritakan bagian terbaiknya saja. Hatiku serasa diiris saat gadis itu menceritakannya dengan gembira, seolah ia tak pernah mendapat kenangan buruk sama sekali. Dia adalah gadis yang baik, tapi Tuhan mengirimkannya pada orang yang salah.
“Aku memiliki satu sahabat di kelas. Ia sangat baik kepadaku. Bahkan ia pernah mengajakku bermain di rumahnya.” Sahutnya lagi. “Aku kira orang tuanya akan memarahinya karena membawa orang asing. Tapi ternyata, kedua orang tuanya juga ikut menyayangiku.”
Raut wajahnya mulai sendu. Aku pikir aku tahu cerita itu akan mengarah pada kesimpulan yang mana. Matanya berkaca-kaca dan pada akhirnya satu tetesan air mata terjatuh. Dan ya, tebakanku benar.
“Aku bahkan tidak merasakan kasih sayang yang seperti itu dari orang tuaku sendiri.” Lirihnya. Sungguh, aku benci saat melihatnya sedih seperti ini.
Langkah kami terhenti. Aku menggunakan lututku sebagai tumpuan agar dapat menyamai tinggi badannya. “Sudah cukup ceritanya, ya? Sudah cukup menjadi orang kuatnya, Jessica.”
“Paman, mereka selalu memukulku saat aku mendapat nilai jelek. Mereka tidak pernah memberikanku pelukan hangat. Aku dipaksa untuk membersihkan rumah dan memasakkan makanan untuk mereka, namun mereka tetap memarahiku karena makanan buatanku keasinan.” Tangisnya semakin deras. Membuatku semakin bertekad untuk segera membebaskannya dari ketidak-adilan ini.
“Kau tidak akan merasakan kesakitan seperti itu lagi, Jessica. Paman akan membawamu pergi!” Ucapku menenangkannya. Ia mengusap air matanya, “Apakah itu adalah taman bermain?”
Aku tersenyum kecil seraya menggeleng, “Lebih dari sekedar taman bermain. Kau juga akan mendapatkan perlakuan yang layak dibanding orang tua sialan itu, hehe.”
“Waaaahhh!!! Aku tidak sabar!! Kapan kita akan pergi paman?” Tanya Jessica. Dan aku pun menjawab, “Tentu saja sekarang!!”
Aku menggandengnya dan kami mulai berjalan lagi. Kali ini dengan langkah yang sedikit cepat. Eum, apa kau menanyakan kucing itu? Tenang saja, ia juga ikut bersama kami. Tak terasa, langkah kami mulai melewati rumah Jessica. Tidak! Aku tidak akan mengembalikannya pada mereka.
“E-eum, paman. Aku rasa aku melihat orang tuaku sedang menangis,” Celetuknya. “Apa yang ada dihadapan mereka, paman Jaden? Apakah itu sebuah guling?”
Namun aku hanya meresponnya dengan senyuman. Aku rasa sepasang kekasih itu memang tidak layak mendapatkan anak yang baik seperti Jessica. Mungkin karena hal itu, Tuhan mengirimku kemari.
*Penulis merupakan siswa kelas X di SMA Khadijah
Source: humairoh.com