Pulang

Menafsir Cerita dari Secangkir Kopi

Oleh: Penyair Amatir

Disini aku duduk /Mendengar cerita secangkir kopi/ Penuh keluh yang tersaji /Bercampur tawa dibalut paksa

Demikian sebuah puisi (atau penulisnya entah menyebut apa) terkirim di gawai saya. Pengirimnya ini sebelumnya tidak punya riwayat mengirim puisi pada saya. Tapi untuk memudahkan penyebutan, saya sebut saja puisi.

Kebetulan satu pekan ini saya menjajakan dagangan bernama majas di kelas. Yang jika dihubungkan dengan puisi sangat amat terhubung.

Mendengar cerita secangkir kopi/Penuh keluh kesah yang tersaji/Bercampur tawa dibalut paksa/

Jika Felix saya suruh baca di depan kelas larik itu, lalu saya menyuruh anak-anak yang lain menebak kandungan majas dalam penggalan puisi itu, saya yakin akan ada yang menjawab: personifikasi.

Kenapa? Karena yang dapat kita dengar ceritanya ya manusia. Bukan secangkir kopi. Nah, dalam majas atau gaya bahasa itu dinamakan mode personifikasi. Secara rumit bisa saya simpulkan yaitu sifat “kemanusiaan” yang dilekatkan pada benda selain manusia.

Itu kalau penggalan puisi yang dikirim sahabat saya ini, Pak Zulfa, diteropong dari gaya bahasa. Lalu apakah ada cara lain untuk menafsirkannya? Oh ada, tenang saja.

Apakah hanya Pak Zulfa (penulis) saja yang paling benar dalam menafsirkan maksudnya?

Aha, pertanyaan bagus. Bikin pusing. Heuehu.

Saya mengikuti aliran yang meyakini bahwa puisi yang bagus itu yang memiliki banyak sisi penafsiran. Ketika karya itu sudah di lempar ke publik, maka pembaca memiliki kapasitas yang setara untuk membedah motifnya. Kendati itu berlainan dengan maksud penulisnya.

Di sini aku duduk/Mendengar cerita secangkir kopi/Penuh keluh kesah yang tersaji/Bercampur tawa dibalut paksa

Cerita dan keluh kesah, demikian saya memberi penekanan pada dua larik tersebut. Yang jamak kita jumpai di media sosial. Baik grup WA, story IG, yang berumur biasanya menemukannya di beranda fesbuk.

Di tengah hiruk pikuknya produksi keluh kesah (bantuan teknologi membuat semakin masif), ternyata masih ada yang mengambil jalan hidup sebagai “pemerhati”. Yang memberikan semacam catatan kaki dari keluh kesah itu. Menyusunnya sebagai pelajaran hidup.

Kesetiaan yang ia tampakkan/Berbalas kesedihan rasa kesepian/

Kesetiaan berbalas kesedihan. Kondisi ini hanya terjadi pada orang-orang yang terpinggirkan (dari sistem kuasa). “Kesetiaan” merupakan harta yang sangat berharga, yang kemudian menjadi persoalan serius ketika itu tidak dikenali lagi oleh mereka yang memegang kuasa.

Mereka bercengkrama tanpa makna/Tak menghiraukan kata yang terluka/

Pada akhirnya, kehidupan terus berlanjut. Tetapi tentu tidak lagi melahirkan harmoni. Dari sinilah kesenjangan lahir dengan suburnya.

Secara serampangan saya bisa meringkasnya begini.

Keluh kesah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari hidup kita. Bahwa kesenjangan dalam sebuah sistem bukan permasalahan yang terjadi begitu saja. Ada bahan bakarnya: ketaksepahaman tentang kesetiaan/komitmen. Yang jika dibiarkan akan semakin membesar dan membakar harmoni.

Mungkin begitu. Tapi tentu tidak melulu begitu kan?

Sidoarjo, 25/1 | Meringkuk dihajar sepi

Gambar: pixabay.com

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *