Oleh: Nur Syifa
September adalah bulan ke-9 dari 12 bulan yang ada di kalender Gregorian. Bulan yang entah bisa kubilang bulan terfavoritku atau tidak. Bulan itu penuh dengan memori indah, tetapi juga menyimpan memori buruk.
Bulan tersebut merupakan bulan di mana aku terlahir.
Pada awalnya, aku memang tidak mempermasalahkan perayaan kelahiranku. Aku merayakannya seperti bocah berusia 6 tahun pada umumnya. Namun, bocah itu belum mengetahui betapa mengerikannya dunia ketika ia beranjak dewasa. Bocah kecil itu masih bahagia meniup lilin, bahagia karena banyak orang yang memberinya hadiah.
Seiring bertambahnya usia, bocah—bukan, gadis itu—mulai mengetahui dunia yang sebenarnya. Ternyata dunia itu bukanlah seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Dunia itu menyenangkan, semua berjalan seperti yang aku inginkan, pikirnya ketika masih kecil. Yah, dunia memang tidak selalu berjalan mulus, kau tahu?
Tahun demi tahun berlalu, gadis itu—aku—menginjak usia 16 tahun di 2024. Masa remaja pertengahan, kata orang-orang. Sebelum menulis ini, aku sudah beberapa kali merenung tentang diriku sendiri.
“Hey, tahun ini kamu udah 16 tahun, loh? Tahun depan kamu sudah legal! Apa yang sudah kamu lakukan selama 16 tahun hidupmu?”
Kalimat itu terlintas di kepalaku berkali-kali di bulan September ini. Itu benar. Apa saja yang sudah kulakukan selama 16 tahun menjalani asam-manisnya kehidupan? 16 tahun bukanlah waktu yang sebentar, loh.
Pikiranku memutar kembali kenangan saat pandemi melanda. Masa-masa tersebut adalah kali pertama aku terkekang di rumah, tidak bisa keluar seenak hati. Apa saja yang kulakukan selama 3 tahun itu? Waktu selama itu tidak kugunakan dengan maksimal, bahkan sekolah daring pada masa itu hanya kuanggap sebagai selingan di tengah libur.
Rasanya ingin sekali aku menemui Doraemon dan memintanya mengantarku ke tahun 2020, agar aku bisa memberi nasihat pada diriku di tahun itu. Tapi ya, waktu tidak bisa kembali bagaimanapun caranya. Kita bukan tuhan yang bisa memanipulasi waktu. Mengendalikan diri saja kadang masih sulit, apalagi memanipulasi waktu.
Kadangkala juga aku menyesali beberapa hal. Contohnya saja menyesal tidak mengikuti banyak lomba ketika SMP. Aku hanya bergantung kepada guru-guru yang selalu memberi info tentang perlombaan.
Seharusnya bisa saja aku mencari sendiri, sayangnya terlalu terlambat untuk melakukannya dikarenakan aku menyadari itu ketika di kelas akhir SMP. Masa-masa dimana aku dikejar oleh ujian sekolah dan proyek akhir yang menjadi penentu kelulusanku.
Banyak hal yang terjadi selama 16 tahun aku hidup. Mungkin ada yang manis dan ada yang pahit. Ada juga yang menyenangkan dan menyakitkan. Aku menutup hasil refleksiku dengan menerima apa yang terjadi di masa lalu, dan menjadikannya sebagai pelajaran agar aku bisa menjadi lebih baik.
Karena, buat apa terjebak di masa lalu jika ada masa depan yang belum kita jelajahi?
Biarkan hal itu menjadi pengingat agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama ke depannya. Hidup tidak selalu tentang masa lalu, teman-teman. Meskipun aku yakin tidak semudah itu melepaskan masa lalu kita, tetapi seiring waktu kita harus melepasnya demi kehidupan di masa depan.
Kesimpulan yang juga bisa kuambil ialah mulai serius menjalani hidup. Beneran, mulai serius. Tahun depan usiaku sudah 17 tahun, usia legal. Persaingan semakin bertambah. Hidupku yang hanya kubuat bersantai harus mulai kutata demi menghadapi persaingan-persaingan di dunia.
Seperti yang kukatakan diatas, hidup gak selalu berjalan mulus. Pasti banyak ujian-ujian yang pasti akan kuhadapi kedepannya. Jika tidak serius mulai sekarang, bagaimana kita menghadapi ujian-ujian kehidupan kedepannya?
Aku menutup kisahku di usia 15 tahun dan membuka lembaran baru untuk kisah-kisah seruku ke depan di usia 16 tahun. Hal-hal baru dan menarik menungguku untuk dieksplorasi.
-Penulis merupakan siswi kelas 10 yang sedang dimabuk tugas
source pict