Opini

Perbaiki Pendidikan Demi Masa Depan Bangsa!

Oleh: Naila Rahma Tsabita

Pada teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tepat di alinea keempat, tujuan bangsa Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tertera dengan terang-terangan. Teks yang biasa dibacakan keras-keras pada upacara-upacara sakral itu entah bagaimana telah terkikis pengaruhnya.

Teks yang sedemikian rupa dirumuskan oleh para pendiri dan pelopor bangsa Indonesia itu kini diucapkan sebagai tak lebih dari sekedar seremonial semata. Tak usah repot bilang aku melebih-lebihkan. Jika dengan murah hati kalian meluangkan waktu untuk menoleh ke kanan dan kiri, menengok nasib generasi putus sekolah, guru, dosen dan akademisi, aku pastikan ucapanku benar adanya.  

Pendidikan adalah keajaiban. Bangsa dengan sejarah yang begitu panjang seharusnya sudah tahu mengenai hal itu. Taman Siswa, surat-surat Kartini, pergerakan Dewi Sartika maupun berdirinya Budi Utomo seharusnya cukup menjadi bukti bahwa pendidikan bisa mengubah segalanya bagi sebuah bangsa. Tergeraknya para intelektual muda Indonesia menjadi titik awal bagi Indonesia untuk melawan tidak hanya dengan pertempuran melainkan juga dengan beradu fikir.  

Sayangnya, di masa kini, kisah-kisah pergerakan melalui pendidikan sudah seperti dongeng belaka. Sudah tujuh pemimpin yang silih berganti menempati singgasana di Istana Merdeka, tetapi tidak ada dari mereka yang benar-benar bisa mewujudkan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Entah karena pendidikan memang dianggap bukan prioritas pada masanya atau mungkin sengaja melanggengkan kebodohan di bumi pertiwi agar mereka bisa mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari bangsa yang tidak tahu?

Jika memang para pemimpin negara ini bersungguh-sungguh hendak mewujudkan bait mencerdaskan kehidupan bangsa tersebut, lantas mengapa kesejahteraan para pendidik belum terjamin?

Bukan hal yang rahasia jika gaji guru di Indonesia banyak yang tak layak. Penghasilan sedikit di atas UMR pun sudah bisa dianggap beruntung. Tak jarang ditemukan guru-guru honorer dengan gaji yang bahkan tak cukup untuk membeli susu formula untuk anaknya. Jangan bahas tenaga pendidik yang di pelosok, di kota-kota besar dengan biaya hidup yang mencekik pun tak sedikit ditemukan guru yang berpenghasilan rendah.

Belum lagi dengan bergonta-gantinya kurikulum yang membuat para guru dan dosen kerepotan untuk menyesuaikan. Pelatihan-pelatihan, aplikasi-aplikasi baru, sistem yang baru, cara penilaian yang baru, kapanpun Si Menteri merasa kurikulum sebelumnya tidak efektif (yang berarti bisa kapan saja) hal-hal di atas bertubi-tubi dibebankan kepada guru dan dosen.

Semua ini kuanggap sama sekali tidak setimpal dengan penghasilan mereka. Sadar mengenai prospek yang suram, sedikit sekali muda-mudi Indonesia yang lantas memilih jalan karir lain selain guru. Lalu jika begitu, bagaimana dengan nasib pendidikan di Indonesia selanjutnya?  

Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi murid perguruan tinggi merupakan suatu privilese. Perguruan tinggi-perguruan tinggi seolah sedang berlomba dalam kompetisi biaya pendidikan paling mahal. Uang pangkal, uang gedung, uang kuliah tunggal (UKT), sumbangan pengetahuan institut (SPI) dan berbagai macam sebutan lain yang diberikan oleh perguruan tinggi yang sama-sama bersumber dari satu hal;

Uang.

Tidak hanya uang pangkal yang gila-gilaan, kampus-kampus itu dengan tidak tahu malu membebankan UKT dengan tanpa pandang bulu. Kau punya satu mobil warisan Kakekmu? Atau punya rumah sederhana yang dibangun saat masa jaya orang tuamu? Atau gaji orang tuamu sedikit di atas UMR? Siap-siap saja dihantam tagihan UKT yang tidak masuk akal.

Lucunya, kebanyakan ‘’debt collector’’ di atas seringkali berwujud sebagai perguruan tinggi NEGERI (sekali lagi NEGERI) ternama. Permasalahan biaya pendidikan lagi-lagi bukan satu-satunya dalam daftar permasalahan di dunia pendidikan. Seolah tak mau kalah dengan kampus-kampus yang serakah, kapitalisasi pendidikan berkedok lembaga bimbingan belajar menjamur dimana-mana.

Dengan iming-iming cara cepat mengerjakan soal, testi alumnus yang berhasil lolos ke perguruan tinggi, program belajar yang ketat, mereka memikat siswa-siswi yang bertekad masuk perguruan tinggi impian mereka. Memanfaatkan ketakutan para murid akan momok bernama UTBK, berbagai program belajar pun ditawarkan dengan biaya yang fantastis.

Bisnis ini sangat menjanjikan karena sampai sistem pendidikan Indonesia dibenahi agar merata (yang mana hampir mustahil saat ini), akan ada murid-murid yang merasa apa yang didapatkannya melalui sekolah tidak cukup. Persaingan yang ketat untuk memperebutkan kursi perguruan tinggi juga mendukung keberlangsungan para kapitalis pendidikan ini.  

Bagaimanapun, rasa-rasanya jika membahas permasalahan pendidikan, buku setebal apapun tidak bisa menampung semuanya. Tidak akan ada yang berubah mengenai kualitas pendidikan di Indonesia jika bangsa ini tidak mulai berbenah.

Di mulai dari kebijakan pemerintah yang harus mulai bersungguh-sungguh memperhatikan pendidik, murid dan mahasiswa maupun akademisi. Bukan hanya menggonta-ganti kurikulum setiap reshuffle kabinet sebagai simbol ‘’kerja’’ menteri yang baru, bukan hanya dengan memberikan program makan siang gratis dengan anggaran tak lebih dari 15.000 rupiah per anak, melainkan dengan memberikan pendidikan yang terakses oleh siapa saja, seberapa tipis pun dompetnya, dengan mensejahterakan pendidik maupun dengan mempermudah akses anggaran penelitian untuk para akademisi. Dengan begitu, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa tak lagi hanya dongeng semata. 

penulis merupakan alumnus SMA Khadijah yang kini tengah menempuh studi HI – UPN Jatim.

Pict: Ambil di sini

118 total views, 2 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *