Oleh: Alisyia Bilbina
“Hati siapa lagi yang kali ini kau patahkan?”
“Ey, kau bicara seolah aku tak punya hati,” sahut perempuan berambut pirang yang baru saja memasuki ruangan.
Dia meletakkan sepatu putihnya secara asal di atas lantai, kemudian beranjak menuju kasur dan membaringkan tubuh.
“Aku sudah katakan untuk jangan dengarkan rumor tentangku di luar sana, Lyra,”
Lyra mengendikkan bahu.
“Ada pemuda malang yang menunggumu beberapa jam yang lalu,” kata Lyra.
Bukan hal baru, tetapi rasanya tetap janggal ketika banyak pria yang datang ke mansion mewah itu demi menanyakan di mana sang kawan berada.
“Dia memaksaku memberi tahu lokasimu. Katanya ada urusan yang harus diselesaikan dengamu,”
“Apa dia membuatmu kesal atau semacamnya?” tanya si pirang sambil memainkan ponselnya, tampak tak ambil pusing dengan topik pembicaraan mereka.
“Kau yang membuatku kesal, Kana.” Lyra melangkah ke sisi ranjang, merebut ponsel Kana agar sang kawan menatapnya. Hidup bersama selama bertahun-tahun membuatnya paham bagaimana perangai Kana.
Dia tak pernah menanggapi masalah yang ada dengan serius, tak peduli seberapa besar probabilitas dari bahaya yang bisa saja menimpanya karena kecerobohannya sendiri.
“Sampai kapan kau akan hidup sembarangan seperti ini? Memacari banyak lelaki, lalu meninggalkan mereka begitu saja. Kau berganti pasangan secepat kau berganti pakaian, kau mempermainkan para pria seolah mereka boneka Ken milikmu,”
Kana memutar bola mata. “Ini namanya memanfaatkan kecantikanku dengan benar. Aku hanya bersenang-senang.”
“Caramu bersenang-senang mengkhawatirkan,” balas Lyra. Kana pernah nyaris celaka karena seorang pria menaruh dendam kepadanya. Kecantikan Kana memang sulit ditampik, ia bak boneka berjalan dengan wajah khas barat, mata kelabunya yang cantik mampu memikat siapapun yang melihatnya. Lyra berani bertaruh bahwa hanya dengan sebuah senyuman tipis, pria manapun akan jatuh hati pada sahabatnya.
“Aku baru saja bertemu seseorang, Lyra,” kata Kana, ia mendudukkan diri dan menatap sahabatnya serius.
“Mari lihat seberapa lama aku bisa bertahan dengan pria ini.”
“Kau hanya akan menyakitinya, seperti biasa.”
“Berhentilah bertingkah seolah aku adalah penyihir jahat, Lyra,” sahut Kana.
“Kau selalu begitu. Terus menghakimi tanpa mau bertanya apa yang sesungguhnya terjadi. Aku melakukannya tak semata-mata karena ingin bersenang-senang, tetapi untuk mengisi kekosongan dalam diri. Aku berusaha semampuku untuk bersikap baik kepada semua orang, tetapi tak semua orang pantas mendapat kebaikan. Berhentilah bertingkah seolah kau adalah juri dalam hidupku,” ucap Kana dingin, ia merebut ponselnya dari Lyra yang mati kutu. “Keluar dari kamarku, Lyra.”
Lyra membeku di tempatnya, tak mengira akan mendadak dicecar begitu. Sementara Kana mengatupkan bibir dan menahan geram dalam dadanya. Semua orang selalu seperti itu, memandang dari satu sisi tanpa mau melihat perspektif lainnya dan menghakimi tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang sesungguhnya terjadi.
Kana sudah muak menjadi pusat penghakiman, ia lelah mendengar opini-opini yang dilayangkan dari satu perspektif.
~Penulis merupakan salah satu siswi SMA Khadijah yang duduk di bangku kelas X MIPA 1
pict: parapuan.co