E-Pandemi

Pertaruhan

Oleh: Siti Suciati Citra Muslimah

Hanya delapan bulan saya bertemu teman-teman secara tatap maka. Februari 2020 pandemi menyerang. Awalnya sih dua minggu katanya. Eh ini udah mau setahun. Lebihhh banyakkk daringnyaaa.

Keseharian saya di SMA Khadijah berjalan cukup baik. Paginya selalu diantar bapak. Sorenya pulang naik gojek. Ohyaaa, banyak cerita yang berharga dengan pengalaman naik gojek. Ku cerita beberapa yang paling ya hehehe.

Ingat banget hari itu baru beberapa minggu sekolah. Hari itu ketemu bapak gojek yang cukup berumur. Gojek yang biasanya, pasti langsung nyebrang motong jalan, atau ga muter lewat Ketintang. Tapi bapak ini malah keterusan ke arah stasiun wonokrom, rute seharusnya putar di KBS. Dengan PD nya saya bilang, “Yaudah gapapa pak jalan aja terus, nanti bisa lewat Ngagel tembus juga kok.”

Seingat saya memang begitu, karena rasanya jalan ini ga begitu asing. Begitu sampai di Ngagel Selatan, ternyata ada sangat banyak perempatan. Dan saya lupa perempatan mana yang nantinya tembus ke Jemur Sari. Singkat cerita kami hilang arah.

Hp saya gaada paket internet. Ya karena di sekolah pake wifi kelas. Hp bapaknya kebetulan hp tua yang maps-nya tidak berfungsi dengan baik. Saya coba bilang ke bapaknya, “Pokoknya kita jalannya lurus aja Pak, ngikut orang-orang aja. Kalau udah agak jauhan jalan lurus, coba belok kiri kalau ada jalan besar. Yang pasti jangan belok kanan” mencoba menebak arah dengan penuh perkiraan.

Entah mengapa saat itu gaada rasa takut sama sekali. Saya sangat menikmati jalan tanpa arah. Rasanya bisa bebas berkelana menentukan arah sendiri. Membangun kepercayaan satu sama lain kalau semua akan baik-baik saja.

Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak. Mulai dari cerita pindahan saya, hingga pengalaman hidup bapak itu. Cerita kami membawa pada jalan pulang yang dapat saya kenali. Alhamdulillah sudah dekat rumah hehehe.

Juga karena gojek, saya menemukan sumber penenang dan pemberi damai. Hujan. Ya, saya selalu jatuh cinta dengan langit dan segala fenomenanya. Yang cantik maupun yang menakutkan. Yang paling saya cintai adalah, hujan dan guntur.

Hujan selalu bisa menjadi peluruh amarah dan kekesalan. Tiap kali ada guntur, rasanya semua amarah dan ke-muakan saya yang tak bisa tersampaikan keluar semua, lega deh jadinya hehehe. Sore hari disertai hujan deras, di atas gojek waktu pulang sekolah adalah masterpiece bagi saya.

Saya akui, ambisi tertinggi saya selama menempuh pendidikan adalah waktu kelas 11 ini. Sepertinya faktor tekanan ‘murid mutasi’ yang secara alami menghadirkan ambisi yang berkali lipat. Semua sesuai rencana. Alhamdulillah target dan tekanan yang saya beri pada diri sendiri bisa tercapai. Peringkat 1.

Saya pikir dengan mencapai target itu masalah saya akan selesai. Ternyata tidak. Justru muncul masalah dan tekanan baru. Menjadi ranking pertama di kelas ternyata tak seenak itu. Banyak juga tekanannya. Banyak ekspektasi orang yang harus dipenuhi di saat menenangkan diri sendiri ternyata juga butuh energi banyak. Tapi tentunya sangat bersyukur dengan rezeki yang telah Allah titipkan.

Masuk semester 2, konsentrasi dan ambisi saya mulai goyah. Rasa-rasanya terlalu cepat puas. Belum lagi saya memiliki peran yang cukup penting dalam fanbase salah finalis Indonesian Idol. Dan pada saat itu dia masuk tiga besar. Tentu kami harus bekerja lebih keras mencari dukungan. Dia sudah kukenal jauh sebelum ikut Indonesian Idol.

Lyodra, kami sudah berkawan sejak lama. Pembelajaranku mulai terganggu. Ambisiku mulai teralihkan, yang sebelumnya penuh ambisi dalam pelajaran, sekarang penuh ambisi untuk terus gencar mempromosikan Lyodra di media sosial. Ya Alhamdulillah usaha tim kami ga sia-sia. Lyodra berhasil keluar menjadi juara Indonesian Idol season X.

Semester genap kelas 11 saya gabisa berharap apa-apa. Karena saya tahu kualitas belajar saya seperti apa. Turun drastis. Hari-hari saya lebih sibuk dan fokus urus Lyodra. Jujur saja melelahkan.

Saya pikir begitu Indonesian Idol selesai semuanya akan lebih lengang. Ternyata tidak, makin hectic dengan mengejar musisi untuk buatin lagu maupun untuk diajak kolaborasi. Kali ini saya paham, bagaimana penggemar sangat berarti bagi seorang publik figur khususnya penyanyi.

Makin hari saya makin sadar, menjadi bagian dari perjuangan Lyly (Panggilanku pada Lyodra) jelas ada rasa bangga tersendiri. Tapi… masa depan saya taruhannya, gila aja rasanya. Pelajaran sekolah berhamburan. Saya coba menatanya, tapi hanya bertahan sehari saja, esoknya berhamburan lagi.

Saya sudah berencana untuk lepas fanbase Lyly yang kebetulan saya buat jauh sebelum dia terkenal. Saya bangun akun itu dari followersnya 0 hingga 30ribu. Bukan hal mudah meraih angka sebanyak itu.

Saya pikir fans dia sudah bertebaran dimana-mana, baik yang masuk dalam fanbase, yang menjadi pengagum rahasia, ataupun yang sekadar menjadi penikmat. Jadi ya pengunduran diri saya rasanya gaseberapa berpengaruh. Butuh waktu yang tidak singkat mempertimbangkan matang-matang rencana ini.

Setelah melewati titik jenuh itu, saya tersadar mengapa hal itu terasa lebih berat dari semestinya. Karena pandemi. Ya, karena pandemi semua kegiatan sekolah menjadi daring. Hal ini membuat makin banyak waktu bebas yang ada. Sesuai sudah dengan kegiatan perfanbase-an yang memang fulltime berada di media sosial. Saya yakin kalau tak ada sesuatu yang kekal, kapan pun waktunya pasti saya akan lepas dari perfanbase-an itu.

Tapi, kalau saja tidak ada pandemi, mungkin rasanya tidak akan seberat ini. Bersyukurnya, Allah masih tolong semester genap ini. Saya masih memegang peringkat pertama di kelas. Ya walaupun rasanya ga pantas, tapi setidaknya Allah masih tolong saya di hadapan mama dan bapak. Kalau saja turun, sudah jelas sekali penyebabnya apa hehehe.

Kursi ruang tamu, habis sarapan | 30 Januari 2021

  • Penulis merupakan alumnus SMA Khadijah angkatan Elfascto

422 total views, 1 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *