Opini

Tentang Ibu dan Setumpuk Rinduku

Oleh: Mutia Bahalwan

Entah kenapa tiga tahun terakhir kata “ibu” cukup sensitif bagiku. Terlalu sakral. Terkadang perih ketika didengar.

Aku lepas landas di dunia perantauan di usia 15 tahun. Orang-orang meragukanku. Apakah nantinya dia bisa bertahan hidup dengan kaki telanjang di sana? Apakah dia bisa menyerupai bunglon yang pandai berkamuflase? Saat itu, hanya Ibu yang menguatkan diri untuk tidak cemas. Semoga saja ini pura-pura. Ya, ini hanya pura-pura.

Ada orang yang bilang, ikatan batin seorang ibu dan anak itu terhubung. Jadi, bukti mana yang dapat menjelaskan seorang ibu baik-baik saja ditinggal anaknya, sedangkan anaknya sendiri merasakan rindu yang kelam?

Seisi rumahku memang bukan dihuni oleh orang-orang yang ekspresif. Sulit mengucapkan kata-kata yang berkaitan dengan perasaan. Inilah yang membuatku tidak bisa berekspresi berlebihan.

Jujur, hampir 18 tahun aku hidup, aku tidak pernah mengucapkan Selamat Hari Ibu. Aku sampai merenungkan perbuatan sepele ini. Tapi, sejauh mana aku merenung, selama itu juga aku tidak bisa mengucapkan kalimat yang sebenarnya sudah handal diucapkan oleh seorang anak. Semoga saja aku dikaruniai keberanian bak Singa Padang Pasir yang menumpas ke-gengsi-an tak berdasar ini.

Ada satu perkataan Ibu yang menghantui pikiranku hingga saat ini. Satu kalimat yang tidak hanya mengandung bawang, juga merica dan rempah-rempah yang cukup memerihkan mata dan meresahkan hati.

“Aku sudah membesarkan kalian sampai besar begini, tapi akhirnya kalian pergi juga.”

Sebuah kalimat yang meninju-ninju isi kepala. Aku bungkam berjuta bahasa. Ada dua sisi yang dilampirkan di sini, beliau sangat ingin aku melanjutkan pendidikanku di tanah orang, tapi beliau juga tidak seratus persen merelakan aku pergi begitu saja.

Dari harapan beliau itulah di tahun 2020 akhir, aku pulang kampung. Seperti bertemu pawang. Lidahku bertemu masakan yang tidak akan pernah bisa dikalahkan oleh koki andalan manapun. 6 bulan aku habisakan berfoya-foya dengan kesenangan. Bahkan, ketika jadwal zoom yang biasanya cukup meletihkan—padahal cuma duduk doang wkwk—aku sering disuguhkan makanan-makanan ringan. Kejadain yang sama sekali tidak aku temukan di tanah perantauan.

Hingga akhirnya, seminggu sebelum aku balik ke Surabaya pada awal Juli 2021, berbagai macam olahan ikan tersaji di atas meja. Kata Ibu, “Kasih dia makan banyak-banyak. Dia mau balik.” Entah aku harus makan atau meneteskan air mata. Hingga, air mata itu aku pendam dan jatuhkan di atas kapal Nggapulu yang membawaku entah ke dunia mana.

Cerita ini sebenarnya akan lebih mengena kalau kamu sama-sama sedang beradu nasib di tanah antah-berantah.

Akhir keresahan, dengan memotong gengsi di hari baik ini, aku mengucapkan, Selamat Hari Ibu kepada wanita-wanita hebat di luar sana dan tentunya untuk Ibuku yang tidak pernah kuucapkan ini secara langsung.
 
~Memetik kenangan Surabaya, 22 Desember 2021

*Penulis merupakan siswa SMA Khadijah asal Banda Neira

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *