Dulu di bangku SD, aku tidak pernah absen memberikan ‘present’ di hari Ibu. Menggunakan tabungan dadakan dari awal bulan, lalu bersepeda di bawah terik matahari, mencari hadiah yang berbeda di setiap tanggal 22 Desember.
Walaupun ibu tahu hadiah yang aku berikan juga berasal dari uangnya, tak henti beliau memberi apresiasi.
Tradisi itu mulai luntur ketika aku memasuki bangku SMP. Di mana aku lebih memilih istirahat dari dunia sekolah yang sibuk. Karena tentu di tanggal 22 Desember merupakan hari libur panjang mendekati cuti tahun baru.
Bahkan pagi ini. Aku perlu ditegur adik keduaku mengenai hari spesial hari ini. Aku menjawab dengan tenang seakan aku tahu kalau hari ini hari ibu. Nyatanya aku memang baru tersadar karena adikku. Entah mengapa pikiranku sangat cepat menanggapi teguran itu. Aku hafal benar tanggal lahir keluargaku. Dan tidak ada dari kami yang lahir di bulan Desember. Berlagak detektif seperti film terakhir yang aku tonton, dengan cepat aku tau bahwa hari ini hari ibu.
Melihat ibu yang masih kelelahan karena sehabis dari luar kota, mengurung niatku untuk memberi ucapan. Pikiranku adalah memberikan waktu istirahat sambil memikirkan bagaimana untuk memberikan kesan untuk hari ini.
Nihil hasilnya. Yang ada dalam pikiranku malah bagaimana perlakuan ibu terhadapku. Bagaimana beliau menangis di luar gerbang pondok ketika meninggalkanku. Ketika beliau khawatir betul ketika aku mengatakan ada yang kurang. Bagaimana wajahnya terlihat serius ketika tau ada yang menyakitiku. Dadaku sesak rasanya.
Aku belum berbuat apa-apa. Ketika ibu disakiti orang lain, aku hanya mendukungnya dari rumah. Dan terus mengatakan semua akan baik-baik saja. Menurutku itu bukanlah hal sebanding dengan semua yang ibu lakukan untukku. Rasa ingin menjaga dan melindungi ibu dalam diriku sangat tinggi. Namun, aku belum memiliki power yang cukup.
Pernah suatu malam. Sampai aku berpikiran “Ya Allah, my mom too perfect for me. I do not deserve her”. Cepat-cepat aku menyingkirkan pikiran itu. Kuubah menjadi “Terimakasih ya Allah, my mom perfect for me. Mohon beri hamba kekuatan agar dapat membalas segala kebaikannya”
Aku harap doaku kali ini, diijabahkan olehNya. Menjadi penjaga ibuku merupakan salah satu harapan di bucket list-ku.
Aku berharap tulisan ini dapat dibaca oleh ibu. Sejak awal aku menulis novel sejarahku untuk kepentingan tugas. Ibu selalu membacanya dengan teliti. Dan terakhir kali aku menulis di bukunya, ia mengapresiasiku. Beliau bahkan memberi pin agar tulisan itu tidak tenggelam.
Ibu, kalau baca tulisan ini. Selamat Hari Ibu. Aku harap Ibu selalu sehat. Maafin anakmu ini kalau kelakuannya membuatmu kewalahan. Terimakasih selalu berjuang untuk anak-anak, dari kebutuhan sampai mental. Kalau hari-hari ibu tidak menyenangkan, ibu bisa berbagi dengan kami, anak-anak ibu. Rasa kesal dan cemas bisa berkurang ketika bercerita, bukan?. Dan juga, tunggu kami ketika kami siap menjaga ibu. Suatu hari nanti, aku dan kedua adikku yang akan menjaga ibu juga ayah.
Peluk sayang, Anak cengeng.
*Nabila Ahda | kelas XII IPA 3
Sumber gambar: pixabay.com