Opini

Usaha Dan Kuasa

Oleh: Zhafira Hanina

“Sudah kelas 12, mainnya dikurangi. Sebentar lagi kalian akan menjadi anak kuliah, siapkan untuk UTBK, jangan berharap untuk masuk lewat jalur undangan, walaupun kalian kebagian kuotanya.”
Berkali-kali saya mendengar nasihat ini. Entah hanya melalui layar laptop, tulisan yang berbicara, ataupun langsung dari ucapan guru di ruang kelas. Bosan? Iya. Takut? Tentu saja.

Sejak November 2021, aplikasi burung biru seakan-akan mewanti-wanti saya, bahwa jangan pernah berharap di SNMPTN, karena itu ghaib. Hanya Allah yang tahu. Walaupun saya sudah ikhlas sekali, karena memang tidak ingin dan menahan diri untuk berharap, saya sempat merasa kasian dengan diri sendiri, karena tak punya prestasi yang membanggakan. Hanya bermodal angka di rapor, juga sertifikat lomba kecil yang pernah saya ikuti juga karena gebrakan pembina Turcham Media (Terima kasih Pak Shodiq.). Sisanya, tidak ada yang spesial tentang diri saya. Kadang merasa seperti sampah berjalan. Tidak heran, saya tidak lolos melalui jalur SNMPTN.

Karena memang tak membiarkan diri sendiri berharap, saya cepat move on. Sejak bulan Januari, saya malu-malu bilang ke ibu bahwa saya ingin les online. Walaupun ibu saya paham pentingnya les, tetapi tetap saja saya sungkan, karena biaya les itu MAHAL. Apalagi saya bukan orang yang konsisten. Belajar kalau mood saja. 2 jam baca buku, punggung sudah teriak minta bertemu dengan kasur. Saya takutnya malah buang-buang uang.
Dan tentu saja pikiran saya menjadi kenyataan. 5 bulan menuju ujian saya masih santai sembari belajar sedikit-sedikit. Februari, saya sudah bosan dan kehilangan motivasi. Maret, saya malah disibukkan dengan hal lain yang masih tak kunjung usai sampai Bulan April mengusai pikiran saya.

Hingga Mei, bulan yang tak saya tunggu pun datang. Seminggu sebelum jadwal saya ujian, saya kalang kabut mengerjakan TryOut. Saya juga sibuk menyalahkan diri sendiri, kenapa saya tak belajar dari dulu ketika luang, sudah tahu saya memutuskan untuk lintas jurusan. Yang artinya, saya harus belajar ulang yang teman IPS pelajari selama 3 tahun dalam jangka waktu 2 bulan, dikurangi lagi dengan hari ketika rasa malas saya menang. Tapi waktu tak bisa dimuntahkan. (Saya benci kalimat ini, tetapi,) Siap tak siap, saya harus siap.

Singkat cerita, 3 hari sebelum hari H, saya gelisah sekali. Cemas. Khawatir. Takut. Pusing. Mules. Semuanya jadi satu. Saya sampai bingung harus belajar atau menenangkan diri agar lebih fokus saat mengerjakan ujian nanti. Saya pernah membaca, bahwa otak perlu istirahat untuk bisa lebih fokus. Masalahnya, otak saya tak ada isinya. Yang ada saya malah asik merenung.
Dini hari, langit masih pekat dengan gelap. Saya sudah bersiap-siap karena saya mendapat sesi pagi yang dimana saya harus tiba di lokasi jam 05:45. Pusat UTBK cukup jauh dari kos, ditambah tak ada kerabat yang bisa mengantar. Saya hanya mengandalkan ojek berjaket hijau yang selalu siap sedia mengantar saya. Jujur, kala itu saya tak terlalu memikirkan, tak ada waktu untuk sedih. Namun, kekuatan hati saya diuji kembali ketika sampai di tempat. Peserta ujian lain duduk menunggu ruangan dibuka bersama orang tua dan teman-teman mereka. Sementara saya, dengan diri sendiri. Sekali lagi, saya mantapkan niat untuk bertempur. Saya membuka aplikasi burung biru, bukan untuk sambat, melainkan untuk membaca materi kak fauzan, salah satu orang keren yang berbagi ilmu untuk membantu kesuksesan orang lain.

Saya tak mau berbagi proses bagaimana saya mengerjakan yang pasti sudah tertebak. Tak ada satupun soal yang mirip dengan soal yang pernah saya kerjakan di TryOut. Apalagi bagian Pengetahuan Kuantitatif yang aslinya saya zonk sekali. Dari 20 soal, hanya 3 soal yang saya kerjakan dengan sungguh-sungguh, itupun tak tahu betul atau salah. Sisanya saya berubah menjadi peramal dulu.

“Kerjakan, lupakan.”

Kalimat ini sangat cocok sekali dengan saya. Namun, sebelumnya saya sempatkan menulis review UTBK di akun twitter saya, sebagai archive ingatan. Agar suatu saat nanti, saya teringat kembali, betapa kosongnya otak saya ketika mengerjakan soal UTBK.

Orang-orang di sekitar saya terus bertanya. “Kapan pengumuman?.”

“Tanggal 23 Juni”, saya menjawab.

“Semoga lulus ya.” Mereka mendoakan.

Saya tersenyum sembari menjawab, “Aamiinn. Terima kasih.”

Lagi-lagi, mungkin sudah tertebak. Jujurly, keluar ruangan ujian saja saya sudah ada feeling tidak enak. Saya berpikir, “Apa mungkin saya lolos?.”

Intinya, saya bersiap untuk kemungkinan yang terburuk.

“Kalau kamu tidak lulus UTBK, mau kemana?.”

Pertanyaan yang jleb sekali. Saya sampai kebingungan mencari jawaban. Saya hanya menjawab dengan hal yang serealistis mungkin. Mandiri. Walaupun, saya tahu betul, bahwa ayah saya masih ragu untuk setuju. Saya bahkan sempat mempertimbangkan untuk semi-gap year. Saya bisa bekerja sekaligus belajar untuk mempersiapkan ujian di tahun depan.

Namun, semua perasaan buruk saya, kali ini salah.

23 juni.

Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya mendarat. Saya tak buru-buru membuka portal LTMPT, saya (berusaha) menjalani keseharian seperti biasa. Pura-pura tak ada apa-apa.

Jam 6 sore, saya iseng mencoba mencari halaman web LTMPT, “Pasti masih error.” pikir saya waktu itu. Tapi ternyata perjalanan lancar jaya. Saya yang tak siap akhirnya tak sengaja melihat kalimat

“SELAMAT ANDA LULUS BLABLA,”

Saya langsung berteriak “MAMA” dan lari ke kamar mama saya.

(Mari kita skip saja insert emot tangan dua lagi tos)
Yang pertama kali saya pikirkan, kok Allah bisa baik sekali dengan saya. Saya masih tak percaya.

Saya tahu betul, keberhasilan saya bukan dari belajar saya selama 2 bulan yang asal-asalan itu. Tapi dari baiknya orang-orang di sekitar saya yang selalu mendoakan, dan juga minta doakan dengan kerabat, bahkan orang yang mereka temui. Saya sangat bersyukur memiliki mereka.

Selesai tentang saya. Saya ingin mengeluarkan pendapat saya tentang UTBK dari sudut pandang saya pribadi.

Katanya, SBMPTN adalah jalur masuk paling adil, dibandingkan dengan SNMPTN dan Mandiri, yang memandang background darimana kamu berasal. SBMPTN murni dilihat dari hasil UTBK.

Tetapi apakah betul SBMPTN tak memandang background?

Sejujurnya, mungkin ini agak melenceng. Tetapi belajar juga perlu uang. Orang-orang kaya bisa memasukkan anaknya di les bergengsi, guru private, bahkan sampai jaminan lolos 100%. Belajar juga perlu biaya.

“Aku harus lolos di SNMPTN, kalau buat UTBK, aku gak ada uang buat bayar les.”

Terlontar dari mulut kawan-kawan saya. Saya turut sedih sekali ketika mendengarnya. Saya juga merasakannya. Saya juga berdoa untuk lolos agar tak membebankan orang tua.

Tetapi saya percaya, setiap orang punya tempat dan waktunya masing-masing. Rezeki tak akan tertukar, namun harus tetap dicari. Sekeras apapun kemauan kita, jika itu memang bukan untuk kita, maka tak mungkin ia sampai. Dan sebaliknya pula.

“Apa yang ditakdirkan menjadi milikmu, tidak mungkin menjadi orang lain.”

Karena itu jangan pernah lelah untuk mencari. Selalu ingat bahwa kamu tidak berjuang sendirian.

Tetapi jangan lupa, terlepas dari usaha kita, masih ada Allah yang berkuasa.

~Penulis merupakan alumnus SMA Khadijah Surabaya sekaligus siswi yang berhasil lulus SBMPTN 2022 di Fakultas Ilmu Komunikasi, UPN Veteran, Jatim.

2,181 total views, 3 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *