Opini

Fasvenje Taubat?

Oleh: Keisya Zahra A. N.

Bingung. Kata yang bisa menggambarkan perasaanku ketika sebuah notifikasi dari nomor tak dikenal singgah di gawai yang sedang mengisi baterainya. Pesan tersebut berisi amanat untuk menyuruhku menuangkan kembali perjalanan yang telah usai beberapa hari lalu. Aduh, ini pasti ulah si penyair amatir.

Siapakah guru yang suka dadakan selain Pak Shodiq? Mungkin tidak ada. Guru dengan miliaran kreativitas di kepalanya itu sepertinya akan meriang jika tidak memberikan beban kepada muridnya. Contohnya ini. Saat liburan pun beliau tetap memberikan tugas mengetik. Baiklah, karena aku baik, maka akan ku sanggupi permintaan Pak Shod.

Kelas kematian—begitu aku menyebutnya—akhirnya menyelami diriku. Aku tenggelam, hendak meminta pertolongan pun sepertinya hanya Tuhan yang dapat membantu. Aku pasrah, melemaskan otot, membiarkan badan ini terapung sendiri. Namun ketika melihat jejeran angka di rapot yang dibagikan, aku kembali tenggelam. Mataku langsung berkunang, badanku lemas, energiku seperti diserap oleh buku berukuran besar itu. Aku ingin tenggelam lebih dalam.

Beruntungnya SMA tercintaku ini membuat aku kembali ingat pada Tuhan. Mereka memberikan fasilitas bertaubat selama 4 hari yang diberi nama Ziarah Wali Songo (9). Kegiatannya tentu berziarah. Melelahkan? Sedikit. Sisanya aku ambruk saat tiba di rumah. Tapi melalui walsong ini, aku berharap Tuhan dapat mendengar doa kami semua dan memberikan jalan yang terbaik. Aamiin.

Perjalanan ini dimulai tepat sehari setelah pembagian rapor. Kala itu hari Sabtu (21/12/24), waktu yang sangat pas untuk bermalas-malasan di rumah. Tapi kenyataan harus membuat aku bersiaga sedari subuh, atau aku akan ketinggalan bus. Beruntungnya Mama mengajak berangkat lebih rajin dari biasanya, sehingga aku masih bisa leluasa bersantai di sekolah tanpa takut tertinggal bus.

Bus berangkat pukul 6:12, mengaret setengah jam dari rundown yang telah dibagikan. Mama tak menghiraukan ketika aku berangkat, malahan mama langsung pulang tak lama setelah mengantar aku. Urusan dapur belum selesai digelutinya, bisa-bisa Papa mengomel saat siap bekerja tidak ada makanan yang terhidang.

Kami akan mengunjungi 9 makam para wali, ditambah beberapa makam lain yang masih berkerabat dengan para wali songo. Kegiatan ini dimulai dari Sunan Ampel dan berakhir di Masjid Raya Syekh Zayed. 3 Provinsi di Pulau Jawa tentu kami lalui selama 4 hari.

Perjalanan ini menyenangkan, melelahkan, membuat ngantuk, membosankan. Pilih satu yang menurut kalian pas.

Beberapa makam dapat diakses dengan berjalan kaki, sedang beberapa yang lain mengharuskan kami menaiki kendaraan untuk sampai ke sana. Seperti menaiki ojek saat di Sunan Giri dan Sunan Kudus, atau menaiki becak di Sunan Bonang. Sunan Muria tak kami datangi karena kata Pak Mumu jalanan sedang licin, hujan baru mengguyur kemarin malamnya.

Absen satu kali dari ziarah on the spot, tak membuat kami kehilangan minat untuk kembali berteman dengan bus. Meski sedikit kecewa, kami harus tetap melanjutkan perjalanan. Berbekal nasi kotak yang sudah tertelan di perut, insyaAllah kami siap mengkhatamkan 9 makam wali.

Kegiatan kami monoton. Bangun, makan, berziarah, tidur di bus, makan, berziarah, tidur lagi. 4 hari yang bisa dibilang membosankan.

Namun melalui ziarah ini, setidaknya aku bisa sedikit lebih memahami diriku.

Kelelahan raga nyatanya tak dapat menahan mata untuk tetap terjaga. Hal itu dibuktikan dengan kondisi teman-temanku yang langsung terbujur seperti ikan pindang di area losmen yang disediakan. Tanpa berganti baju, menata koper, atau menyikat gigi. Tekanan batin lebih dominan, mengurung rasa giat agar tertidur. Badan ini butuh waktu untuk memulihkan energi.

Aku sendiri lebih memilih untuk berjaga usai tiba di penginapan, menunggu pukul 2 pagi untuk mandi dan menyiapkan yang lain, baru setelahnya tidur. Aku enggan mengantre, rasanya membosankan, belum jika diserobot. Kebetulan selama 4 hari berziarah aku sedang datang bulan, jadi aku tak terlalu memikirkan akan kesiangan saat shalat subuh.

Menurutku, berziarah bukan sekedar duduk lalu membaca doa. Beristighfar saat menaiki ojek, mendengar pedagang bersahut-sahutan, berebut jalan masuk, sibuk membawa sandal. Itu adalah momen yang mungkin hanya terjadi saat berziarah wali. Konon kata temanku juga, becak milik Pak Amatir sempat menabrak orang jualan. Atau kata temanku yang lain, becaknya menyetel musik dengan keras dan membuatnya menjadi pusat perhatian.

Pagar betis yang ku ekspektasikan akan berhasil seperti angkatan REFTY (katanya) ternyata gagal di tengah barisan. Tak ada laki-laki yang bersiaga, padahal jejeran ‘penjaga kebersihan makam’ telah menyiapkan diri untuk menyantap kami. Aku terus berjalan sembari membawa payung, memegang erat tas selempang di depan, berkomat-kamit membaca basmallah, mengabaikan tangan-tangan nakal yang terhidang di hadapan.

Sunan Gunung Jati adalah wali 9 terakhir yang kami kunjungi, dan lokasinya paling jauh. Jawa Barat. Jika kalian alumni SD atau SMP Khadijah, mungkin kalian sudah pernah mengunjungi sunan-sunan yang lain kecuali SGUJA—singkatan dari Sunan Gunung Jati.

Menaiki makam Sunan Gunung Jati, Aulia Gunung Pring, dan Sunan Bayat seperti menembus awan. Banyak sekali anak tangga yang membuat kaki terkulai lemas. Entah makam apalagi yang menguras tenaga, aku lupa. Maaf, ya.

Dengan berakhirnya ziarah ini, aku benar-benar berharap ridho Tuhan dapat membasuh hidup kami. Semoga semua doa yang aku dan teman-teman panjatkan terwujud, serta kita semua dapat selalu dalam lindungan Allah. Sukses untuk SNBP, SNBT, dan semua jalur yang kalian tempuh!

– Penulis merupakan manusia yang masih berusaha menjadi anime

189 total views, 6 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *