Oleh: Adhipramana Bhumi V.
Sangat bersyukur sekali telah dilahirkan di negeri yang memiliki banyak keunikan ini, walaupun harus berulang kali untuk bangkit kembali dari perjalanan panjang penuh perjuangan. Sejak dahulu, anggapan tentang lelah seolah hal yang tabu. Maka sejak saat itu, bangkit 1 kali adalah pengecut, bangkit 2 kali pemula, bangkit 3 kali dan seterusnya pejuang, dan tak pernah bangkit tapi terus berjuang adalah gila.
Lari adalah kegiatan yang paling aku sukai, kalau kata orang-orang “lari adalah olahraga paling kalcer.” Masa bodo tentang ngikutin kata orang seperti itu, pokok kuncinya tidak fomo dan konsisten. Ya, seperti itulah kata-kataku berceramah di medsos tepat sebelum istirahat dari lari 2 minggu-an akibat cedera.
Aku hanyalah sebatas penikmatnya saja, untuk melepas penat dan stress akibat tugas sekolah, organisasi, ataupun les. Lari pokok sampai target sudah menjadi kebiasaan bagiku, tapi targetku biasanya 30 menit atau kalau sampai capek hitung-hitung sekitar 3-4 kilometer. Terkadang bertemu dengan orang yang itu-itu aja bisa membuat bosan atau jenuh atau dalam hal lain aku perlu ganti area lari biar gak ketemu orang yang sama melulu, seperti pepatah ikan dalam kolam.
Sepulang sekolah, aku bersama temanku memerlukan asupan fisik, lari sore, jawaban yang tepat dari segala permasalahan di sekolah. Yodi mengusul supaya lari di lapangan kota, aku mengiyakan, aku menyusul nanti setelah berganti outfit.
“Request yang ngalcer abis pas ganti bro.” Aku bertanya balik, “Maksudnya?”
“Yang keliatan ngejreng banget, night run biar kece abis!” Tepat sebelum aku meninggalkannya di parkiran motor, “Ogah, norak.”
Pakai yang biasa aja pokok nyaman. Aku mengenakan setelan biasaku, jersei dan celana gelap, lalu sepatu favoritku yang kadang agak terlihat kusam karena sering digunakan.
Waktu perjalanan rumah menuju lapangan memerlukan waktu 15 menit. Tiba di lapangan, membayar karcis masuk yang disulap menjadi iuran kebersihan, kemudian memarkirkan motor. Menuju tribun, aku langsung disambut oleh Yodi yang sudah menyimpan salah satu kursi tribun untukku, aku menaruh jaket, tas, dan botol air minumku. Kemudian aku pemanasan ringan dan jalan kaki 2 putaran.
“Lari ga melulu soal lari, perlu ada ketahanan yang lain biar kuat terutama dalam mencapai target. Seperti otot kaki, perut, pola nafas, dan postur.” Setidaknya sebelum Yodi berkata, “Lo kurang satu, jehh.”
“Hah apaan?”
“Outfit kalcer!” Kemudian ia bernyanyi, “panggil aku pelari kalcer~” aku hanya diam saja.
Sepuluh menit berlalu, jam HP menunjukkan pukul 18.00, langit mulai gelap, lampu sorot lapangan mulai dinyalakan, tapi aktivitas tidak semakin sepi, justru semakin ramai. Banyak yang jalan saja, jogging, ataupun program jasmani.
“Kencang kali ya larinya,” setidaknya ada obrolan biar tidak sepi “Motivasinya kuat sih itu,” Yodi melanjutkan. “Omong-omong motivasimu apa?”
Aku bertanya balik, “Motivasi apaan?”
“Motivasi kau buat lari lah.”
“Ya nurunin berat badan lah, berat badan hampir kayak umur Indonesia, gimana mau pace kecil?” Yodi hanya diam sambil tersenyum tipis-tipis sembari melanjutkan putaran pertama jalan kaki. “Kalo aku motivasinya biar kuat pas dia sama yang lain, hehe.” Yodi tersenyum miris.
Mendengar temanku patah hati, “aduh jangan gitulah, di, entar yang kena aku yang masih pace keong. Mentang-mentang sakit hati, kawannya langsung ditinggal sprint,” muak membahas asmara, aku mengganti topik menjadi 17an. Berhubung sekarang telah memasuki Agustus, topik yang seharusnya hangat untuk diperbincangkan. “Udah Agustus nih, entar di sekolah lomba apa ya?” Aku mulai mengganti topik, tetapi Yodi hanya diam.
Putaran pertama selesai, dilanjut putaran kedua, putaran kedua selesai, dilanjut jogging tipis. Putaran demi putaran kami selesaikan hingga tuntas pada saat adzan isya berkumandang. “Udah Yod, cukup, jangan digaspol lagi.”
Kami pun selesai, merapat ke tribun lalu beristirahat sejenak mengatur nafas dan detak jantung.
Lampu sorot lapangan masih menyala terang walau sekarang jam sudah menunjukkan pukul 19.45 dan lalu lintas lapangan masih cukup ramai. Aku dan Yodi melihat permainan sepak bola yang intens.
“Dingggg, dinggg” nada dering yang dilanjut dengan lagu boyband Korea dari HP milik Yodi berbunyi, “aku balik duluan, udah ditelpon ibuku.” Yodi pamit pulang lebih awal.
Sudut-sudut tribun mulai sepi ditinggal pengunjung pergi, aku sendirian melihat umpan lambung dari pemain sepak bola bernomor punggung 12 dan 8. Beberapa hari lagi menuju HUT ke-80 RI, aku hanya lari dan lari seolah tak peduli dengan masalah-masalah yang semakin lama semakin numpuk. Berapa banyak tugasku yang nunggak, seberapa lamakah aku sebenarnya tidak sadar akan realita?
Lampu sorot lapangan dimatikan, semua aktivitas tiba-tiba hening. Hanya tersisa aku seorang diri di dalam kegelapan yang tidak ada apa-apa. Aku memejamkan mataku… diam… namun… aku mendengar suara samar-samar memanggil namaku.
“Jon, bangun jon,” Suaranya samar tak jelas, ia melanjutkan. “Bangun, kan yang mimpiin ini semua kamu, kamu yang bilang ke kami semua gak boleh ada kata mundur, semua yang dilakukan harus pasti. Kalo maju ya maju.”
Aku yang memejamkan mata tidak dapat membuka mataku, aku hanya menggerakkan kepalaku saja secara acak. Namun, suara itu tidak berhenti, terus melanjutkan kata-katanya.
“Habis ini Agustusan, kita ada kegiatan seru banyak sekali, dari upacara, lomba, dan lainnya. Aku yakin kamu pasti suka, ayo jon, kumohon untuk bangkit untuk kali ini saja.”
Penggalan kalimat terakhir itu berhasil membuat mataku kembali terbuka lebar. Semua menjadi jelas, “Jon, kamu habis mengalami gegar otak 2 Minggu yang lalu akibat terbentur tiang listrik sesaat setelah terpeleset dari keramik trotoar yang licin.”
– Penulis merupakan anggota dari Scizone dan bercita-cita mengarungi samudera
Editor: Nirbita
58 total views, 9 views today