Cerpen

Cerpen: Kamis Suci

Source: Google

Oleh: Mutia Bahalwan

Tepat hari Kamis di awal tahun. Tak ada yang berubah. Perempuan-perempuan berpakaian hitam itu kembali melakukan hal yang sama, tapi kali ini mereka sedang beruntung. Karena siaran media massa menyoroti mereka. Pemandangan ini terasa aneh bagiku. Tapi aku tertarik. 16 tahun aku hidup, baru kali ini media kembali mengungkapkan kesetiaan perempuan-perempuan itu pada keadilan. Maksudku, menuntut keadilan.

Hari itu siaran televisi terputus ketika salah satu wanita paruh baya sedang diwawancarai. Seperti yang lain, dia menggunakan pakaian hitam-hitam. Salah satu tangannya memeluk foto seorang pria, sedangkan tangan satunya lagi memegang payung. Sorot matanya tajam, tapi ada kesedihan yang mendalam dari bola mata hitam yang bergetar itu. Aku sedikit kesal. Sungguh. Baru kali ini aku tertarik dengan siaran berita. Mungkin rasa empati atau alur yang gantung membuatku benar-benar terus memikirkan kejadian ini semalaman.

Besoknya di jam yang sama, Kakek menyetel antena panjang yang diletakkan tepat di atas televisi. Gambarnya agak buram, tapi aku masih bisa melihat dengan baik. Beberapa kali aku mengganti stasiun televisi. Namun, perempuan-perempuan itu tidak terlihat sedikit pun.

Hari-hari berikutnya, aku melakukan hal yang sama. Seperti biasanya, mereka tak kunjung ditampilkan. Hingga selang satu minggu, tepat di hari Kamis. Ketika aku mulai tidak begitu memedulikan mereka, Kakek sengaja mengencangkan suara televisi hingga membuatku langsung berlari mendekatinya.

Kini antena tidak lagi diletakkan di atas televisi, tapi sudah ditempelkan di dinding. Gambar orang pun lebih cerah dari kemarin. Aku duduk bersandar di dinding, sedangkan Kakek duduk di kursi kayu di sampingku.

Pada teks di bagian bawah layar, terdapat tulisan, “436 Kamisan untuk Kemanusiaan dan Keadilan”. Ternyata aku salah. Bukan hanya kaum perempuan yang berada di situ. Ada beberapa lelaki muda yang memegang kain hitam. Dan dua orang pria lantang berbicara di depan mereka. Namun, suara disenyapkan. Aku tidak mendengar apapun, selain lagu klasik yang dimainkan.

Dua menit kemudian, tema berita berganti. Ada seorang politikus perawakan Tionghoa menjawab pertanyaan seorang wartawan. “Orang miskin tidak bisa melawan orang kaya. Orang kaya tidak bisa melawan pejabat. Bagaimana cara kita melawannya? Jadilah seperti mereka.”

Dari hari itu aku selalu menunggu hari Kamis. Namun, pada minggu ketiga bulan Januari, media sudah tidak menayangkan mereka lagi. Aku sedikit kecewa karena tidak bisa mengetahui dengan pasti kenapa mereka melakukan itu. Yang aku tahu hanyalah mereka selalu melakukan aksi setiap hari Kamis.

“Nak, kamu terlihat tertarik dengan aksi Kamisan itu,” kata Kakek ketika melihatku sudah tidak menonton televisi lagi.

“Iya, Kek,” jawabku singkat.

“Kamu tahu? Yang melakukan aksi itu adalah keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Ada dari mereka yang menuntut agar kejadian pelanggaran HAM di masa lalu bisa ditindaklanjuti oleh pemerintah. Tapi…” Kakek terdiam sejenak.

“Tapi apa, Kek?”

“Ada yang menganggap pelanggaran HAM masa lalu bukan termasuk pelanggaran HAM berat.”

“Maksud Kakek?” tanyaku tidak paham.

“Dengan kata lain, ada yang tidak menyetujui untuk tidak ditindaklanjuti perkara pelanggaran kodrat manusia itu.”

 “Kenapa bisa seperti itu, Kek?”

“Sejarah milik mereka yang menang. Aku juga tidak tahu apa maksud mereka. Yang jelas keluarga korban merasa ini adalah ketidakadilan. Makanya, dua minggu kemarin berita aksi Kamisan muncul di tv.”

 “Tapi, Kek. Apakah suara mereka didengar?”

“Bisa iya. Bisa tidak. Semua orang sedang memiliki kepentingan masing-masing. Makanya, pak Tionghoa bilang, ‘Jadilah seorang pejabat agar bisa melawan mereka’,” jawab Kakek.

 Kalau dipikir-pikir, yang Kakek katakan benar. Kenapa bertahun-tahun orang-orang yang meluncurkan aksi itu tidak mendapatkan kepastian?Karena derajat korban tidak setara dengan pelaku. Juga karena status masyarakat yang berbeda.

Penulis adalah seorang siswi kelas XI MIPA 1 SMA Khadijah Surabaya

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *