Pulang

APA KABAR HARI RAYA?

Oleh: Penyair Amatir

Tenang saja, liburan tidak benar-benar pergi. Ia pasti kembali. Jadi tidak perlu ditangisi. Masih ada Juni, liburan akhir tahun sekolah telah menanti.

Saat saya menulis ini, tepat dengan hari Kartini. Seorang tokoh emansipasi perempuan yang pikiran-pikirannya di masa 1890-an telah melampui zamannya.

Melalui korespondensi kepada karib-karibnya di Belanda. Juga bacaannya yang luas telah membentuk kesadaran tentang posisi perempuan (kaumnya) yang timpang. Lewat tulisan (dalam surat-suratnya maupun opini di surat kabar), ia memiliki mimpi ideal bagaimana seharusnya perempuan berdaya.

Bagaimana? Salah satunya menurut saya ya berkarya (sesuai minatnya). Nah, di sini ada dua perempuan yang akan kita kunjungi tulisannya (puisi). Yakni: Gina Shofia dan Nailal Fariha.

Kabar hari raya

Empat puisi yang bertajuk Kabar Hari Raya (KHR) sejatinya lahir tepat di hari raya Idulfitri 1445 H. Namun saya mengambil jarak untuk mewartakannya di laman turcham supaya menjadi bahan refleksi “berjarak”. Sekaligus dapat membacanya sembari “merindukan” momen-momen tersebut. Kadang, jarak yang terlalu rapat membuat sesuatu tampak kabur. Sebaliknya, hal-hal yang jauh menjadi sedemikian berarti.

Momen lebaran tentu mengandung beberapa kata kunci. Kita akan dengan mudah menemukan tiga diantaranya di KHR: suci, mudik, dan silaturahim.

Kembali fitri, demikian biasanya kita menyebut momen hari raya. Setelah sebulan beribadah di bulan penuh keberkahan (Ramadan), maka lazimnya merayakannya dengan penuh harap bahwa semua ibadah Ramadannya diterima Sang Khaliq.

Bahkan, tidak saja mereka yang aktif beribadah Ramadan saja yang larut dalam sukacita. Puisi “Kembali fitri” menggambarkan dengan cukup satire: takbirmu menguar/ menggerakkan hati dan pikiran / tak hanya bagi manusia yang sedang berbaris dalam safmu / bagi seluruh alam yang turut menyambutmu / dalam banyak rupa caranya//

~Tak hanya bagi manusia yang berbaris dalam safmu. Baris ini mengajak kita untuk kembali melihat realitas yang ada di tengah kita. Bahwa hari raya dalam bingkai religiusitas bergeser ke wilayah seremonial belaka. Perayaan berkumpul dan bertemu saja.

Mudik dan silurahim

Pulang Nak, memotret kerinduan tanah kelahiran (baca: orang tua) pada anak-anaknya yang merantau ke segala penjuru. Tentu bahasa populernya kita bisa sebut: mudik.


Pulang, Nak
Sejauh apapun bagian dunia yang kau jadikan tempat singgah
Setajam apapun karir yang selama ini kau asah
Selalu ada rindu pada bilik-bilik rumah yang tak bisa dibantah

Larik tersebut sangat sentimental. Menyajikan betapa intimnya rindu itu. Juga didukung rima yang apik: singgah, asah, bantah.

Bagian dramatisnya tersedia di baris akhir puisi ini: Meski sekiranya tak ada lagi raga yang dapat kau peluk erat/ Masih ada ruh dalam tanah yang menunggu kau panjatkan doa

Silaturahim bisa kita baca dalam KHR dan “Menu Kehidupan”. Keduanya menyajikan sudut yang unik.

Kita bisa jumpa dengan “wartawan hari raya” yang senantiasa “meresahkan”. Umumnya pertanyaan privat: kapan menikah? punya anak berapa? Kurusan ya? Gemukan ya? dan seterusnya. Yang bagi sebagian lainnya itu menerbitkan risih.

_
Teruntuk semua wartawan hari raya, jika kali ini kita dapat kesempatan untuk bersua
Andai ada forum permintaan terkait apa saja yang diperbolehkan
Tolong tanyakan perasaan, kondisi kesehatan, atau layangkan saja candaan (Kabar Hari Raya)

Silaturahim juga menawarkan keintiman antarpribadi. Meja ruang tamu pasti jamak dengan toples yang berisi kue lebaran. Bermacam-macam bentuk dan jenisnya. Juga minumannya. Semua dirayakan dalam rangka hormat kepada tamu yang singgah. Singgah untuk melebur khilaf. Sekaligus peneguh status ekonomi di sisi lainnya.


kalau saja kue kue di toples itu bisa bicara, air minum di kardus itu meronta-ronta, isi di amplop kecil itu kembali pada tuannya, ia akan menjadi perantara, bukti bukti tersiarnya segala (Menu Kehidupan).

Membaca “Kabar Hari Raya” mengajak kita untuk jeda sejenak merenungi hal yang telah berlalu. Menyoalnya bila dirasa perlu. Tentu sembari mencatat hal-hal baiknya. Sebagai bekal untuk bertumbuh ke depannya. Menjadi pribadi yang senantiasa berkembang. Ingat, ada hari esok yang akan menunggu kita. Hari lusa dan seterusnya hingga lebaran berikutnya. 


Kehidupan sejatinya bukan ajang kompetisi
Atau adu ayam untuk judi
Tapi perihal bagaimana manusia hidup dengan segala mimpi (Kabar Hari Raya)

Prmbn, 21/4/2024
~ kopi tinggal ampasnya

*Penulis merupakan penyair yang mengisi waktu luangnya dengan menjadi guru bahasa Indonesia.

Source pict

366 total views, 9 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *