Oleh: Saka Ayattusyifa Hati P.S.
Kata “Yogyakarta” kembali mengingatkan ku tentang tiga tahun silam, pandemi covid-19 kala itu berhasil mengoyak suasana hati. Dimana study tour dibatalkan secara tiba-tiba karena datangnya virus yang entah darimana.
Rumor yang beredar tentang wisata proyek terus ku ikuti sampai akhirnya yang dibilang “rumor” berubah menjadi “hari itu“. Pagi itu aku datang terlambat tapi betapa beruntungnya aku tidak tertinggal bus.
Agenda ini disambut dengan kunjungan Bakpia Juwara Satoe. Disana kita diajari cara membuat bakpia secara non pabrik. Setelah itu, rombongan di perbolehkan berkunjung kedalam toko produksi.
Perjalanan terus berlanjut sampai kita tiba di Pantai Parangtritis. Kini langkahku berjalan lebih cepat dibandingkan langkah biasanya. Matahari terbenam dengan perpaduan deburan ombak kala itu membuatku sangat antusias untuk mengambil beberapa foto bersama nya.
Kini bulan naik sembari tersenyum memancarkan sinarnya diatas langit, waktunya istirahat. Hari berikutnya kita dibawa ke Studio Alam Gamplong. Cuaca terik pagi itu bukanlah alasan untuk tidak bergerak mencari spot foto. Aku dan beberapa temanku berkeliling hingga sudut-sudut Alam Gamplong.
Matahari sudah naik diatas rata-rata, kini kita sudah bertapak di Omah Oblong. Disana kita bisa melihat bagaimana terciptanya kaos yang biasa kita kenakan sehari-hari, ia juga menyediakan tempat berbelanja oleh-oleh khas Omah Oblong.
Sejauh ini, aku masih belum percaya perihal “Kota Istimewa Yogyakarta “, dimana letak istimewa nya? hari-hariku terasa seperti biasanya. Renungan itu menghilang saat aku melihat keluar jendela, mataku berbinar melihat jalan itu. Jalan yang mengingatkan ku tentang novel Malioboro at Midnight oleh Skyshpire.
Waktu bebas sore itu tidak membuatku merasa puas di Malioboro. Aku terpaksa meninggalkan Malioboro dengan berat hati dikarenakan batas waktu yang ditentukan.
Malam inagurasi kali ini di isi dengan penampilan para perwakilan siswa setiap kelasnya. Acara malam itu ditutup foto bersama seluruh panitia wisata proyek.
Hari terakhir di Yogyakarta masih membuatku bertanya-tanya tentang “Dimana letak istimewa kota ini?“, bahkan sampai detik ini aku belum mendapatkan jawabannya.
Tiba di HeHa Sky, aku benar-benar mengurung tekad ku untuk mengambil foto di beberapa tempat. Cuaca terik siang itu tak main-main panasnya. Temanku membeli ice cream beraneka varian, lalu memakannya di tengah terik itu. Mereka bilang ice cream bisa meredakan panas, tapi nyatanya tidak.
Tak hanya disini, perjalanan kita masih berlanjut. Tujuan akhir kita seharusnya berada di Tebing Breksi, tapi cuaca kala itu sangat tidak mendukung rombongan kita untuk pergi kesana. Alhasil, tujuan kita berubah menjadi Hutan Pinus. Disana kita diberi waktu sekitar ± satu jam rehat sebelum perjalanan pulang ke Surabaya.
Agenda ini ditutup dengan renungan yang terjawab. Istimewa Yogyakarta benar adanya, momen selama disini begitu istimewa. Momen yang tidak akan bisa terulang kembali. Kenangan yang membekas membuatku tak ingin cepat pulang. Kini aku benar-benar percaya tentang istilah itu Yogyakarta Kota Istimewa.
30/12/23 dua tangan sibuk mengetik di keriuhan musik dangdut
Penulis merupakan siswa X6 yang sedang berusaha menetralkan pikiran untuk menata kosa kata ditengah hiruk pikuknya kondangan
918 total views, 6 views today