| Sebagai pengajar atau guru, bagaimana tanggapan terkait pembelajaran daring?
Saya terkejut membaca pesan itu. Biasanya pesan (sms) yang sering saya terima yakni kabar gembira yang sekaligus menjengkelkan.
| Selamat Anda menjadi pemenang blablabla
| Dapatkan pinjaman tanpa survei blablabla
Tentu beragam lainnya yang seperti itu. Yang kadang-kadang jika lagi gembira saya layani juga dengan tak kalah gila.
Pesan via sms yang dulu banget saya bahkan beli pulsa yang “khususon” buat sms, saat ini sudah hampir tidak saya gunakan. Sudah ada WA, line, Instagram, facebook, dan lainnya.
| Sebagai pengajar atau guru, bagaimana tanggapan terkait pembelajaran daring?
Pesan itu ditulis tanpa singkatan kata. Sebagai mantan aktivis “sms” saya pikir hanya lembaga yang niat mengetik pesan selengkap itu.
Saya tergoda untuk menelepon lalu menanyakan siapakah gerangan. Apa motif dia bertanya semacam itu. Tetapi setelah saya pikir, itu bukan cara yang arif dan bijaksana ala pancasilais. Ah, anjay betul.
Murid-murid saya, bahkan mungkin juga saya sendiri, sudah sangat merindukan suasana kelas. Begitupun sebagian orang tua, sudah jenuh melihat buah hatinya yang harus belajar dari rumah. Sebagian lagi, memang masih menganggap belajar di rumah suatu keharusan. Alasannya? Zona merah tentu saja.
Ketika rapat sosialisasi persiapan belajar tatap muka beberapa waktu lalu, kolom komentar ramai dengan pihak pro dan kontra. Pro tatap muka dengan beragam alasan mematikan. Kontra tatap muka dengan alasan sulit dibantah.
| Sebagai pengajar atau guru, bagaimana tanggapan terkait pembelajaran daring?
Pertanyaan yang mulanya untuk menjawabnya sederhana saja (menurut saya), tiba-tiba menjadi rumitnya minta ampun.
Beberapa teman saya mengirimi saya tautan video pembelajaran. Kira-kira begini pesannya.
| Selama pandemi ini, saya telah membuat video pembelajaran di youtube. Sudah ditonton puluhan ribu. Ayo jangan lupa like dan subscribe.
Tentu saya sempatkan untuk menontonnya. Saya beri “like”. Saya mendukungnya. Saya gembira, banyak guru di negara ini yang berlomba-lomba menuangkan aksinya di youtube. Mulai dari yang hanya memindahkan tulisan di buku ke PPT hingga segelintir yang menurut saya “sukses”. Karena saking banyaknya yang demikian itu, saya membulatkan tekad untuk tidak ikut-ikutan. Heuehu.
| Sebagai pengajar atau guru, bagaimana tanggapan terkait pembelajaran daring?
Beberapa teman-teman mengeluhkan (bisa jadi saya juga di dalamnya) pembelajaran daring. Seperti ada nilai yang hilang. Entah itu penanaman karakter, keakraban, improvisasi dan lainnya.
Tetapi yang pasti, selama pembelajaran daring masih dijadikan aturan di masa pandemi (yang entah sampai kapan), menurut saya ya harus dijalani. Tentu boleh mengeluh ini itu dan lain-lain. Tetapi harus selalu ada jalan lain untuk mengatasinya. Meskipun tidak efektif, tetapi setidaknya tidak bertambah buruk. Apalagi justru menjadi lebih baik dan produktif.
Akhirnya untuk sementara saya punya jawaban. (Yang bisa jadi, saya akan merevisi jawaban beberapa waktu ke depan). Bahwa pembelajaran daring ini bukan sesuatu yang normal. Saya tidak menuntut Anda untuk sepakat. Maka diperlukan suplemen yang tidak normal pula. Mustahil berdaring ria di tengah pandemi, dengan cara konvensional ala kelas tatap muka. Ambyar nantinya.
Setelah mendapat jawaban semacam itu tiba-tiba gawai saya bergetar. Sebuah panggilan dari nomor yang memberikan pertanyaan berbahaya itu.
“Halo teman. Mohon maaf. Tadi saya salah kirim pesan. Lebih tepatnya, anak saya salah. Dia dapat tugas dari sekolahnya. Ah, ada-ada saja guru saat ini. Hey, gmn kabarmu? Apakah sudah melahirkan? Dengar-dengar tengah mengandung ya?”
Saya mendengar dia mengoceh panjang lebar. Tanpa memberi saya kesempatan bicara. Bahwa saya laki-laki tulen. Tidak akan mungkin bisa mengandung. Apalagi melahirkan. Anjay betul.
Sda, 5 September 2020
Merendam pikiran
Penyair Amatir