Cerpen

Menari dengan bayangan

Sore yang melelahkan bagi seluruh makhluk yang ingin beristirahat namun tidak dengan kedua gadis yang tengah berbicara di sebuah rumah. Salah satu dari mereka terdapat gadis yang masih belum menerima kenyataan bahwa kekasihnya tabatan hatinya sudah meninggal.

“Bagaimana kabar mu Ratna?”

Suara Dahlia memecahkan lamunanku. Aku tersenyum dan mengangguk menandakan aku baik-baik saja.

“Rat, jika memang ada yang menganggu pikiran mu, katakanlah kepada ku, siapa yang berani menganggu mu? Fredrerick lagi atau Peeter?”

Dahlia bertanya kepadaku.

Aku melirik ke arah lelaki dibelakang Dahlia yang tengah duduk di dapur. Ia menatapku dengan seulas senyum manisnya namun mataku kembali menaruh fokus kepada Dahlia.

“tidak Lia, tidak ada yang menganggu, pertemuan kemarin memang alot saja, tidak seperti biasanya dan aku tidak menyalahkan siapapun”

aku menjawab penasaran Dahlia.

Kemarin memang ayah dan orang-orang Belanda itu mengadakan rapat, namun tak berjalan dengan baik.

“yakin bukan karena londo-londo itu kan?”

Dahlia kembali menelisik

“bukan Lia, sekarang kau mau apa lagi?”

Aku menyandarkan punggung ke belakang untuk mencoba sedikit santai

“Ah…aku hanya mengantarkan beberapa dokumen dari ayahku yang diminta ayahmu”

Dahlia menjawab seperti biasanya, kali ini aku yang tersenyum ke arah lelaki yang setia duduk di dapur

“pulanglah Dahlia, aku tidak apa-apa, ada Segara yang menjagaku ”

Aku menyuruh Dahlia pulang bukan tanpa alasan, Ayah Dahlia cukup protektif jika menyangkut anak perempuan kesayangannya ini.

Dahlia menampilkan raut yang sulit diartikan namun kemudian ia mengangguk dan berjalan menuju pintu dan keluar dari rumahku. Aku dan Dahlia adalah anak perempuan dari pemimpin daerah yang bekerja dibawah VOC, sering sekali saat para orang Belanda berkunjung ke rumah kami mereka menatap dengan tatapan menggoda seakan-akan menelanjangi kami bulat-bulat. Kami sangat benci dengan tatapan penuh nafsu mereka.

Beruntung keluarga Dahlia telah menjodohkan sang dara dengan putra bupati Anyer. Sementara aku, masih dengan cinta pertama ku, Segara Mayundra, lelaki yang sedari tadi duduk di dapur memperhatikanku dengan senyuman teduhnya.

“Segara, aku sangat lelah dengan begundal-begundal bermuka dua itu, di depan gubernur mereka seperti kompeten dan menjalani pekerjaan dengan sungguh-sungguh, namun niat asli mereka hanya menginginkan para gadis muda itu”

Aku mengatakan apa yang ku dengar saat kemarin sore. Lantas aku menyandarkan kepala ku ke dada Segara dan lelaki ku hanya terkekeh.

“Puan, jangan terlalu keras bekerja membantu ayah puan, ingatlah istirahat”

Segara mengelus pelan rambut lurus panjang ku dan sesekali menciumi rambutku.

“Biarkan seperti ini saja Segara, aku lelah , aku ingin bersandar kepada mu ”

Aku menelusup ke dada bidang kekasih hati ku.

“Puan, adakah yang ingin puan lakukan untuk menghilangkan pikiran buruk, hamba siap melaksanakannya ”

Lelaki ku mencium takzim keningku, maka ku balas perlakuannya dengan menciumi jemari panjang itu.

“aku ingin berdansa bersama mu Segara”

Rambutnya yang ikal dan sedikit panjang, matanya yang tajam namun penuh akan kasih sayang, tingginya menjulang, serta senyuman khas miliknya membuat ku jatuh hati dengan teman masa kecilku ialah Segara Mayundra, lelaki yang tumbuh bersama ku.

Rasa aneh menjalar kala kami beranjak menjadi remaja tanggung dan terus berlanjut sampai kami dewasa, aku dan Segara satu, Kami abadi dan saling melengkapi.

Musik yang lembut mulai dimainkan dari alat pemutar musik, Segara mengulurkan tangan kepada ku dan segera terima. Kami menari yang disebut sebagai dansa oleh para orang-orang Belanda itu. Aku langsung menutup mataku seperti pertama kali berdansa dengan Segara, aku merasakan debaran cinta yang menggebu-gebu saat merasakan tangannya menyentuh tangan ku.

Kami seperti insan yang pertama kali menyicipi indahnya asmara, rasanya mungkin bisa berdansa semalaman dengan hati penuh cinta. Namun ditengah gerakan dansa yang lembut terdengar oleh rungu ku suara Segara bertanya

“Mengapa saat kita berdansa Puan selalu menutup mata dari hamba? ”

Segara tetap stabil menjaga gerakan dansa dan aku tetap menutup mata sambil berdansa.

“Karena , jika ku buka mataku, hilang sudah kesenangan ini”

aku menjawab

“Begitukah? relakan hamba puan, hamba mohon relakan hamba, hamba memohon , bukalah mata puan”

Gerakan dansa kami kurasa telah berhenti. Segara menangis sembari menenggelamkan wajahnya ke pundak ku.

“Aku sudah mencobanya, tak bisa, aku tak bisa karena kau akan lenyap jika kubuka mataku, aku tak ingin”

Setelah dua putaran dansa, ku buka mataku perlahan dan benar saja Segara hilang begitu saja namun tetap ku lanjutkan dansa ini, berdansa sendirian seperti orang gila, namun aku tak peduli karena aku bisa merasakannya. Bayangan Segara yang sedang berdansa denganku.

Namanya Segara Mayundra, usianya sangat muda, namun sayang ia ditemukan tewas karena kecelakaan sembari menggenggam bunga yang akan ia berikan ke kekasihnya. Ratnasari Malika Ayu.

Ratnasari tidak bisa menerima kenyataan bahwa kekasih hatinya telah pergi mendahuluinya. Sering terdengar ia berkata

“Segara , kau berjanji untuk membawakan magnolia mana janjimu”

Sering kali juga lampu depan rumah Ratnasari masih menyala, berharap Segara datang dan mendekapnya.

“Aku merindukan kekasih hati ku,dimana ia sekarang , dimana Segaraku? lelakiku, kapan ia akan kembali, apakah ia sangat marah sampai-sampai tak ingin mengajak ku juga?”.

Oleh : Salsabila Fatimah Azzahro

Gambar diambil dari sini

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *