Jelajah

Dari Tenangnya Showa Hingga Hiruk Pikuknya Shibuya

Oleh: Gauhar Haafiz Saifullah

Karena suhu di pagi hari yang sangat dingin, saya cenderung memilih untuk mandi pada saat malam hari sebelum tidur sehingga pada pagi hari ini saya tinggal berganti baju yang sudah saya siapkan dari malam. 

Pagi hari itu ramalan cuaca menunjukkan bahwa suhu di luar adalah sekitar 0ºC dan disertai dengan hujan dan angin kencang. Oia, hujan atau lebih tepatnya gerimis di sini sedikit berbeda dengan gerimis di Surabaya. Butiran hujannya sangat kecil (seperti butiran dari semprotan nano spray) sehingga hampir tak kasat mata. Mungkin bagi kita yang biasa di Surabaya, kita belum menganggapnya sebagai gerimis sehingga kami tidak menggunakan payung, namun orang-orang di sini pasti membawa dan menggunakan payung. Melihat ramalan cuaca sepertinya adalah sebuah kewajiban bagi orang Jepang sebelum memulai aktivitas, sehingga mereka selalu sudah menyesuaikan pakaian dan membawa perlengkapan yang sesuai dengan ramalan cuaca.

Seperti hari-hari sebelumnya, untuk sarapan kami selalu disediakan berbagai macam jenis onigiri oleh tour leader kami, Pak Adi. Makanan halal di Jepang masih agak sulit dicari, sehingga onigiri dengan berbagai macam jenis isian yang berasal dari ikan adalah pilihan halal yang mudah ditemukan di minimarket maupun supermarket terdekat.

Setelah sarapan kami keluar dari penginapan kami dan disambut dengan suhu yang sudah mulai hangat, 6º Celcius. Walau suhu mulai meningkat, namun tubuh kami tetap menggigil ketika kami berjalan menuju stasiun Kuramae. Hari ini jadwal kami cukup padat, diawali dengan kunjungan ke Showa Women’s University (SWU), lalu dilanjutkan ke Shibuya yang merupakan salah satu tempat paling ikonik di Jepang, khususnya penyebrangan jalannya.

Kondisi kereta di pagi itu sangat padat, sehingga kami harus berdiri dan berhimpitan dengan penumpang lainnya. Sesampainya di SWU, kami disambut oleh Ibu Uwi, seorang penerjemah Bahasa Jepang yang akan membantu kami selama di Showa. Beliau adalah seorang wanita asli Bandung yang menikah dengan orang Jepang dan akhirnya memutuskan untuk hidup di sana.

Perjalanan kaki kami dari stasiun ke Showa ditemani dengan gerimis kecil. Uniknya gerimis di sini sangat berbeda dengan gerimis di Iindonesia. Butiran airnya sangat lembut sekali, sehingga kami memutuskan untuk tidak menggunakan payung. Karena lokasinya berada di dalam perkampungan, kami sempat kebingungan (walau dengan menggunakan google maps), akhirnya ada warga lokal baik hati yang mengantarkan kami sampai ke depan pintu gerbang kampus.

Di sana kami disambut dengan sangat baik, mulai dari pengurus yayasan hingga kepala sekolah menyambut kami di perpustakaan mereka yang sangat rapi. Ada dua siswa yang dengan sangat fasih berbahasa Inggris menemani kami di sepanjang kunjungan.

Showa Women’s University adalah sekolah khusus perempuan dari Tingkat TK, SD, SMP, SMA, dan sampai tingat universitas. Kami diantarkan berkeliling sekolah yang tenang dan syahdu serta melihat berbagai macam aktivitas pembelajaran yang ada di sekolah tersebut. Pada dasarnya dalam hal pembelajaran tidak jauh berbeda dengan pembelajaran di SMA Khadijah, mereka juga menggunakan tab dalam pembelajaran.

Mungkin yang berbeda dan dapat ditiru adalah komitmen dan kedisiplinan mereka dalam belajar. HP selalu diletakkan dalam loker dan mereka memperhatikan pembelajaran dengan baik. Oia, ada salah satu kelas yang kita kunjungi sedang melakukan aktivitas yang sangat menarik. Mereka sedang belajar upacara minum teh di Jepang, gurunyapun mengajar dengan menggunakan kimono.

Saat sesi tanya jawab ada hal yang sangat menarik yang kami pelajari, di Jepang tidak ada hukuman untuk pelanggaran, karena tidak ada siswa yang melanggar. Bahkan pelanggaran sederhana seperti terlambatpun tidak ada, jikalau ada keterlambatan hal tersebut biasanya disebabkan karena kesalahan teknis pada transportasi umum yang digunakan oleh siswa (karena hampir semua siwa menggunakan transportasi umum), namun jika hal ini terjadi maka aka nada pengumuman resmi di berbagai media sehingga siswa atau guru yang terlambat tidak akan mendapatkan sanksi.

Keluarnya kami dari Showa, kami disambut lagi dengan gerimis kecil, akhirnya kamipun memutuskan untuk membeli payung di Family Mart, di sini hampir semua orang menggunakan payung transparan loh, kamipun akhirnya ikutan membeli payung serupa. Kemudian kami naik kereta menuju restoran India yang bernama Potohar, di Musashino-Kichijojihonco. Saya meminta rekomendasi Pak Adi, tour leader kami untuk memilih makanan, dan beliau menyarankan curry, ternyata curry di restoran ini sangat enak sekali. Rasanya sedikit berbeda dengan kari yang ada di Indonesia, persamaanya, sama-sama dimakan dengan nasi.

Setelah kenyang kamipun berpisah dengan Ibu Uwi, kami melanjutkan perjalanan ke masjid terdekat. Di sana ada kejadian lucu, saya dan Rifqi sudah mulai sholat (jama’), Ramzy baru selesai berwudlu dan tiba-tiba ada orang yang mengajak Ramzy untuk berjamaah, karena adanya penghalang Bahasa, Ramzy agak bersusah payah menjelaskan kepada beliau bahwa dia akan menunaikan sholat dengan di jama’, sampai akhirnya suasananya agak canggung, sampai akhirnya imam yang ada di masjid itu membantu menjelaskan bahwa Ramzy akan melaksanakan sholat secara jama’.

Hiruk-pikuk Shibuya

Setelah menunaikan ibadah sholat, kami bergegas menuju stasiun untuk menuju Shibuya. Sayangnya ada kejadian yang tidak diharapkan, saya terpisah dari grup ketika masuk ke dalam stasiun! Penyebabnya adalah karena ternyata saldo yang ada di kartu saya tidak cukup. Akhirnya dengan gugup saya menghubungi Pak Adi, tour leader kami. Beliau langsung sigap dan kembali mendatangi saya kemudian meng-tap kartu beliau untuk saya agar saya bisa masuk. Sejak saat itu, saya sedikit ngeri kalau mau naik kereta, dan sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa saya tidak terpisah dari grup saya agar saya tidak mengalami kejadian “horror” yang menimpa saya, yaitu hampir tersesat di hiruk pikuk stasiun Jepang.

Di Shibuya, kami menuntaskan salah satu bucket list hal yang harus dilakukan di Shibuya, yaitu menyebrang di Shibuya Scramble Crossing. Zebra Cross pada penyebrangan ini tidak hanya vertikal dan horizontal, namun juga diagonal di tengahnya. Uniknya ketika lampu merah menyala bersamaan di semua sisi, maka lautan manusia akan menyebrang dalam segala arah yang menyebabkan nama “scramble” berasal. Sensasi menyebrang di lautan manusia ini sangat unik, sampai kami mengulanginya beberapa kali! Budaya orang Jepang yang taat aturan menyebabkab kami merasa nyaman dan aman ketika menyebrang.

Di sekitar jalan juga banyak sekali orang-orang dengan menggunakan gocar bergambar Super Mario sedang mengadakan konvoi keliling kota. Selain itu gedung-gedung tinggi dari pertokoan yang menjulang seolah menghipnotis kami untuk mengunjunginya. Karena kami semua memiliki tujuan yang berbeda-beda, Pak Adi memberikan kita kebebasan unttuk berjalan-jalan sendiri di sekitar Shabuya

Karena suhu di Shibuya sangat dingin sore itu, saya yang kebetulan jalan berdua dengan Rifqy akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam mall, karena di dalam mall suhunya lebih hangat daripada di luar. Salah satu hal unik yang kemi temui di Jepang adalah ketika musim salju atau awal musim semi dimana hujan kadang mengguyur, tempat perbelanjaan biasanya menyediakan plastik khusus untuk membungkus payung agar sisa air hujan yang ada di payung tidak menetes di dalam ruangan.

Malam itu kami akhiri dengan makan malam nasi kebab di Taito – Ueno, kemudian kami kembali ke hotel dengan naik bus. Oia, karena kami mengikuti kebiasaan orang Jepang untuk kemana-mana menggunakan kendaraan umum dan berjalan, maka tiap harinya kami mengecek berapa kilometer yang telah kami tempuh dengan berjalan dan untuk hari ini, langkah yang sudah kita tempuh sepanjang hari adalah 10 km. (editor: med/pat)

*Penulis merupakan siswa SMA Khadijah klan Fasvenje sekaligus peserta Student Immersion 2024 (Jepang) yang dihelat 19-27 Februari.

127 total views, 1 views today

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *